Antara Inflasi, Suku Bunga dan Harga Reksa Dana

Artikel ini merupakan salah satu koleksi artikel Infovesta yang menjelaskan tentang cara kerja Makro Ekonomi terhadap investasi sekaligus mencoba menjawab pertanyaan pak Adrianus (komentar 7) mengenai hubungan antara inflasi dan reksa dana saham http://rudiyanto.blog.kontan.co.id/2011/06/14/apakah-ada-reksa-dana-yang-tidak-pernah-rugi/#comments

Dalam melakukan analisis terhadap pengambilan keputusan investasi, dikenal suatu metode yang disebut dengan Top Down Analysis. Secara umum, pengambilan keputusan menurut metode ini dilakukan dengan melihat kondisi perekonomian secara makro (umum), kemudian lebih lanjut ke sektor-sektor industri secara spesifik untuk melihat sektor mana yang diuntungkan dengan kondisi ekonomi makro yang ada, baru kemudian melihat ke salah saham secara individual untuk melihat saham mana yang paling bagus dalam industri tersebut. Metode ini merupakan metode yang umumnya digunakan oleh para Manajer Investasi dalam mengelola reksa dananya. Dan Kondisi perkembangan Inflasi merupakan salah satu faktor yang menjadi perhatian Manajer Investasi dalam pertimbangannya.

Pernahkah anda bertanya, apa sebenarnya hubungan antara membaiknya peringkat surat hutang indonesia, naik turunnya tingkat inflasi dan suku bunga, perubahan rasio hutang terhadap GDP, besar kecilnya cadangan devisa, harga minyak, panas dinginnya suhu politik, serta berita-berita makro ekonomi lainnya dengan perkembangan nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana?

Berita-berita dengan topik di atas tentu sudah tidak asing bagi investor sekalian yang senantiasa mengikuti perkembangan melalui berbagai media massa di Indonesia. Berita tersebut kadang positif, kadang negatif, terkadang juga datar-datar saja. Tidak jarang sisi positif dan negatif dari berita baik yang berasal dari dalam negeri ataupun luar negeri dan dikaitkan dengan perkembangan investasi di Indonesia.

Berita baik dan berita buruk datang silih berganti. Terkadang berita tersebut datang begitu cepatnya sehingga situasi bisa berubah dengan cepat hanya dalam hitungan hari. Yang dibutuhkan untuk menjadi seorang investor yang baik adalah suatu pemahaman, mana berita yang memiliki dampak signifikan dan mana yang tidak? Kemudian, apakah dampak dari berita tersebut hanya sementara atau berdampak terhadap investasi jangka panjang?

Untuk memahami secara sederhana, bagaimana dampak makro ekonomi dalam mempengaruhi harga instrumen investasi di Indonesia, mari kita lihat bagan sebagai berikut:

1. Inflasi dan BI Rate

Inflasi berarti kenaikan harga barang secara umum. Lembaga yang menghitung besar kecilnya tingkat inflasi di Indonesia adalah BPS (Biro Pusat Statistik). Sementara BI Rate (Bank Indonesia Rate) adalah tingkat suku bunga yang dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menetapkan besar kecilnya tingkat deposito dan persentase bunga pinjaman. Lembaga yang berwenang dalam menetapkan besar kecilnya BI rate adalah Bank Indonesia (BI).


Pada saat tingkat inflasi terlalu tinggi, Bank Indonesia akan menaikkan BI Rate. Secara teoritis, kenaikan BI rate akan menyebabkan bunga pinjaman bank menjadi meningkat. Akibatnya kegiatan produksi akan berkurang karena semakin mahal dan terjadi permintaan terhadap barang. Karena permintaan semakin kecil, maka harga barang akan turun. Hal yang sebaliknya berlaku ketika inflasi terlalu rendah dan suku bunga diturunkan. Biaya produksi akan semakin murah menyebabkan kegiatan produk semakin bertambah. Kenaikan produksi akan memicu kenaikan permintaan barang dan pada akhirnya menyebabkan harga barang menjadi naik (terjadi inflasi).


Dalam kaitannya dengan investasi, pada saat suku bunga dinaikkan, orang akan memilih alternatif deposito yang memberikan bunga lebih tinggi. Akibatnya instrumen saham dan obligasi dijual sehingga menyebabkan harga saham, obligasi dan reksa dana turun. Sebaliknya pada saat suku bunga diturunkan, investor akan mencari alternatif yang memberikan hasil investasi lebih tinggi dibandingkan deposito yaitu saham dan obligasi. Akibatnya terjadi permintaan yang besar pada saham dan obligasi yang menyebabkan harga saham, obligasi dan reksa dana naik.

 

2. Pertimbangan dalam memutuskan tingkat BI Rate

Perlu diketahui bahwa BI rate bukan satu-satunya alat bagi Bank Indonesia dalam mengendalikan tingkat inflasi. Selain itu, pertimbangan besar kecilnya BI rate juga bukan hanya didasarkan pada tingkat inflasi semata. Ada faktor-faktor lain yang menentukan seperti:

  • Kestabilan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Tingkat BI rate yang tinggi akan menyebabkan dana asing mengalir ke Indonesia dan sebaliknya tingkat BI rate yang rendah akan menyebabkan dana asing keluar dari Indonesia.
  • Selisih dengan suku bunga AS antara tingkat suku bunga di Indonesia dengan tingkat suku bunga (Fed Fund Rate) di Amerika. Semakin besar selisihnya, maka semakin menarik pula negara Indonesia menjadi negara tujuan investasi. Dengan kata lain, apabila pemerintah AS menaikkan tingkat suku bunga sementara suku bunga Indonesia masih tetap, maka hal tersebut akan mengurangi daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi.
  • Peringkat Surat Hutang Indonesia. Peringkat surat hutang menyatakan kualitas kemampuan suatu perusahaan / negara dalam melunasi kewajibannya. Negara yang memiliki peringkat hutang yang lebih baik dapat memberikan tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan negara dengan peringkat hutang yang lebih rendah. Oleh karena itu, penurunan spread dengan fed fund rate belum tentu berdampak negatif asal diikuti dengan peningkatan peringkat surat hutang Indonesia.
  • Kondisi perekonomian negara yang ditentukan oleh indikator seperti GDP (Gross Domestic Product) dan Cadangan Devisa. Kedua indikator tersebut bisa diibaratkan sebagai penghasilan dan tabungan bagi suatu negara. Idealnya suatu negara yang sehat memiliki penghasilan yang terus bertambah (pertumbuhan GDP positif), hutang yang tidak terlalu banyak (rasio hutang terhadap GDP yang kecil), dan punya simpanan untuk kondisi ketidakpastian di masa mendatang (cadangan devisa yang banyak). Hal di atas akan menjadi pertimbangan positif saat penilaian terhadap peringkat surat hutang Indonesia dilakukan.
  • Faktor tidak tetap adalah faktor yang dapat mempengaruhi keputusan Bank Indonesia dalam penetapan BI rate namun sifatnya tidak permanen dan berubah sewaktu-waktu. Contoh, lonjakan harga minyak yang signifikan, kondisi ekonomi global, atau yang sekarang sedang menjadi perhatian seperti perkembangan hutang Eropa, Perkembangan China dan kondisi US, dan faktor2 lainnya yang bisa muncul sewaktu-waktu. Faktor inilah yang paling tricky, selain tidak jelas apa hubungannya terhadap keputusan BI Rate, efeknya juga bisa langsung ke harga saham, obligasi dan reksa dana. Terkadang logika dan hubungan antara kejadian tersebut dengan Indonesia hampir tidak ada, namun seolah-olah hal tersebut menjadi faktor utama yang menggerakan harga di pasar. Umumnya faktor ini yang menjadi perhatian investor dan analisa dalam meramalkan pergerakan harga dalam jangka waktu dekat.

Berdasarkan bagan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa data makro ekonomi yang menjadi pertimbangan utama dalam berinvestasi adalah BI Rate dan Inflasi. Dalam proses perjalanannya, penetapan besar kecilnya BI rate juga akan mendapat pengaruh-pengaruh baik dari faktor eksternal maupun internal. Hal yang harus dipahami oleh investor adalah bahwa Kenaikan BI rate dan Inflasi akan berdampak negatif bagi investasi dan sebaliknya penurunan BI rate dan inflasi akan berdampak positif terhadap investasi.


Meski demikian, efek Inflasi dan BI Rate terhadap inflasi menurut penelitian kami lebih memiliki pengaruh ketika bergerak sedang naik atau sedang turun. Jika kondisinya flat, kondisi cenderung lebih sulit untuk dianalisis karena perhatian investor terpaku pada faktor-faktor tidak tetap (seperti yang dijelaskan di atas) yang berubah setiap hari. Meski demikan, dalam prakteknya sangat mungkin sekali investor dalam jangka pendek akan menemui kondisi investasi yang bertolak belakang dengan kondisi BI rate dan Inflasi. Jadi memang faktor ini bukan satu-satunya hal yang menyebabkan naik turunnya harga instrumen investasi namun dalam pandangan kami merupakan faktor penting yang menjadi penggerak harga instrumen investasi.


Demikian artikel ini, semoga bermanfaat dan bisa menjawab pertanyaan anda. Atas perhatiannya saya mengucapkan banyak terima kasih.

Pak Rudiyanto, saya ingin bertanya tentang Reksa Dana Saham. Ada yang bertanya pada saya , apa kelebihan RD saham dibandingkan RD pndptan tetap , pasar uang dan campuran? Kemudian saya ingin bertanya , apakah efek dari inflasi terhadap Reksadana Saham ini ?

Terimakasih pak.

33 thoughts on “Antara Inflasi, Suku Bunga dan Harga Reksa Dana

  1. dear pak rudy,..

    inilah ulasan yg saya tunggu,.. mengenai hub makro ekonomi dengan saham/RDS.
    Jadi untuk diversifikasi, deposito bisa berkebalikan dengan Saham/RDS, saat inflasi naik/SBI naik.
    apakah ini artinya untuk diversifikasi, kombinasi RDS dgn RDPU lebih bagus daripada RDS dengan RDPT ?

    Yg agak mengganjal di saya pak :
    “Kenaikan produksi akan memicu kenaikan permintaan barang dan pada akhirnya menyebabkan harga barang menjadi naik (terjadi inflasi).”
    hubungannya bagaimana yah, pak,..
    bukannya kalo produksi meningkat harga barang akan turun karena jual>beli (hukum permintaan-penawaran).

    Like

  2. Yth Pak Prayudi,

    Definisi diversifikasi ada banyak pak, tergantung investornya. Ada yang pokoknya taroh di beberapa instrumen disebut diversifikasi, ada juga yang kalau satunya naik satunya turun baru disebut diversifikasi. Jika anda adalah tipe yang kedua, maka kombinasi RDS dengan RDPU adalah yang cocok bagi anda.

    Logika saya sederhana pak, kalau produksi naik karena permintaan barang yang tinggi (kondisi ekonomi sedang ekspansi), maka harga barang akan tinggi. Kenaikan harga barang akan menyebabkan inflasi. Disini asumsi saya produksi naik bukan karena dinaikkan akan tetapi memang karena permintaannya yang banyak.

    Logika bapak juga tidak salah, mungkin asumsinya saja yang berbeda dengan saya.

    Like

  3. Pak Rudi, tulisannya bermanfaat sekali.
    Saya mau nanya. Kalau JIBOR itu apa termasuk salah satu instrument yang turut berkontribusi dalam GDP riil? Saya ada tugas penelitian meneliti pengaruh JIBOR terhadap GDP riill, cuman secara teori, saya masih bingung bagaimana hubungannya.
    Mohon penjelasannya pak. Terima kasih.

    Like

  4. @dyah
    Salam Dyah,

    Kalau pertanyaan anda lebih tepatnya saya tidak tahu. Mungkin mesti anda tanyakan sama ahli ekonomi. Sebab kalau hubungan atau pengaruh secara angka selalu bisa dihitung dengan statistik namun yang sulit adalah menarik hubungan secara logika.

    Like

  5. Pak Rudi, menarik sekali artikelnya,,
    saya mau tanya,, dengan keadaan sekarang (BI rate & Inflasi) apakah cocok untuk mulai berinvestasi. coz saya orang awam yg kurang tau historis BI rate & Inflasi.
    Mohon penjelasannya, terimakasih.

    Like

  6. @rizki
    Salam Rizki,

    Kalau secara teori, ketika kondisi BI Rate rendah dan suku bunga terkendali, seharusnya dampaknya akan positif terhadap harga saham dan obligasi. Namun ada 2 hal yang perlu diingat, faktor yang mempengaruhi kinerja saham bukan hanya kedua faktor tersebut. Masih banyak hal lain yang berpengaruh seperti kondisi fundamental dan aliran dana asing. Kedua, seiring dengan krisis global dan semakin banyak pemain asing ke Indonesia, faktor yang mempengaruhi harga saham dan obligasi menjadi semakin kompleks karena juga memperhitungkan faktor2 yang berasal dari Luar Indonesia.

    Semoga bermanfaat.

    Like

  7. Pak, saya ingin bertanya. Apabila suku bunga BI naik maka investor akan cenderung memilih instrumen saham atau obligasi (pilih salah satu), alasannya mengapa?

    Like

  8. @Yusuf
    Salam Pak Yusuf,

    Pemilihan akan saham dan obligasi tidak hanya dipengaruhi BI rate. Masih terdapat sejumlah faktor fundamental dan teknikal lainnya. Belum lagi karakteristik dari investornya. Jadi tidak bisa dibuat semacam generalisasi bahwa investor akan memilih salah satu jenis dan sebaliknya.

    Like

  9. pak, maaf penjelasan yang diatas sangat berkaitan dengan skripsi yang saya susun,, boleh saya minta referensi bukunya pak untuk saya jadikan landasan teori.. mkasih pak… 🙂

    Like

  10. @irma
    Salam Irma, sayang sekali. Referensi untuk menulis artikel di atas adalah hasil saya membaca koran dan berbagai buku selama bertahun-tahun. Hasil dari itu, saya intisarikan dalam artikel di atas sehingga belum ada bukunya. Atau kalaupun ada, saya tidak tahu.
    Semoga bermanfaat.

    Like

  11. pak, saya mau tanya, penjelasan di atas kan cenderung dari sisi investor , nah jika dari sisi perusahaan bagaimana ? ketika suku bunga BI naik, alternatif pendanaan apa yg sebaiknya dipilih perusahaan (saham atau obligasi) ? terima kasih.

    Like

  12. @orryn
    Salam Orryn,

    Pendanaan dari perusahaan itu sumbernya bisa banyak, dari Obligasi, Saham dan Pinjaman Bank. Dan hal tersebut sangat tergantung kepada kemampuan perusahaan (Fundamental, prospek bisnis) dan keahlian underwritter. Kalau memang dua2nya hebat, tidak terlalu pengaruh suku bunga terhadap alternatif pendanaan perusahaan. Selain itu, dalam setiap perusahaan selalu ada faktor GCG dan aturan / budaya yang harus dipenuhi. Bisa saja, hutang atau modal merupakan alternatif terbaik, namun karena aturan / budaya perusahaan, alternatif tersebut tidak dipilih.

    Semoga bermanfaat.

    Like

  13. Pak Rudiyanto,

    Ketika saya memperhatikan grafik kinerja salah satu RDPT , saya melihat adanya “inflection point” di pertengahan 2013, dimana NAB yang awalnya cenderung naik berubah menjadi cenderung turun.

    Setelah membaca artikel diatas, saya menyimpulkan bahwa “root cause”-nya ialah kenaikan harga premium (waktu itu dari 4500 menjadi 6500/liter), yang diresponi oleh BI dengan cara menaikkan BI rate. Benarkah kesimpulan saya ini? Jika salah, mohon dikoreksi.

    Terima kasih untuk artikel dan jawabannya.

    Like

  14. @James Handaja
    Selamat Malam James,

    Memang yang namanya efek kenaikan harga premium terhadap harga Saham dan Obligasi itu terkadang agak berbeda. Harga saham dalam jangka pendek, bisa saja malah naik apalagi jika kenaikan BBM adalah pengalihan subsidi ke tempat yang lebih bermanfaat. Sebab saham tidak memiliki jatuh tempo, sehingga jika tidak ada fundamental yang berubah maka yang menggerakkannya adalah sentimen.

    Untuk harga obligasi, memang pengalihan subsidi BBm memang berefek positif terhadap inflasi dalam jangka panjang. Namun dalam jangka pendek, inflasi pasti akan meningkat. Dan karena obligasi memiliki jatuh tempo, maka pergerakan harganya amat dipengaruhi oleh suku bunga dan inflasi. Faktor sentimen memang berpengaruh, namun efek dari suku bunga dan inflasi lebih kuat.

    Terkait dengan respon terhadap BI Rate, perlu diketahui bahwa pelaku pasar umumnya sangat pintar. Kebijakan BI Rate yang akan diumumkan beberapa bulan ke depan umumnya sudah diprediksi dari jauh-jauh hari. Jadi kadang2 begitu diumumkan dan hasilnya sama dengan prediksi kebanyakan orang, malah tidak ada dampak signifikan sama sekali.

    Semoga bermanfaat.

    Like

  15. Pak rudy maaf mau tanya kalau BI rate turun (misal dari 7,75% ke 7,5 %), apakah funding rate dan financing rate langsung ikut turun keesokan harinya?
    Trima kasih untuk jawabannya

    Like

  16. @Hanum
    Salam Ibu Hanum,

    Pertanyaan ini hanya bankir yang bisa menjawabnya. Kalau iseng, anda bisa coba cek di saldo tabungan anda, apakah akan langsung naik. Sebaliknya bagi yang punya KPR, mungkin boleh sharing apakah bunganya juga ikut turun?

    Semoga bermanfaat.

    Like

  17. Pak rudy izin bertanya, apa hubungan JIBOR dan BI Rate? Berbanding lurus atau terbalik? Saya hitung secara statistik hubungan yang dihasilkan adalah berbanding terbalik. Beberapa kajian yang saya baca pun menunjukkan bahwa ketika kondisi distress di pasar keuangan maka nilai tukar rupiah akan terdepresiasi yang kemudian menyebabkan penurunan BI Rate oleh pemerintah. Di sisi lain ketika kondisi distress di pasar keuangan maka JIBOR akan terus meningkat. Mohon penjelasanannya Pak rudy.

    Like

  18. @fikar
    Salam Fikar,

    Saya tidak tahu apa hubungan antara JIBOR dengan BI Rate. Kalau perhitungan statistik anda tidak salah, berarti memang sesuai dengan perhitungan yang kamu lakukan.

    Saya tidak tahu darimana kajian yang menunjukkan ketika nilai tukar rupiah terdepresiasi suku bunga akan diturunkan. Sebab yang benar supaya mata uang tidak semakin terdepresiasi, maka bunga akan dinaikkan.

    Saran saya anda bisa baca secara mendalam tentang JIBOR di website BI dan melakukan perhitungan dengan lebih berhati-hati lagi.

    Terima kasih

    Like

  19. Selamat pagi Pak Rudy, saya izin bertanya terkait tugas akhir saya yang meneliti pengaruh Inflasi, perubahan Kurs tengab Rupiah-Dollar AS, Tingkat Suku Bunga SBI, perubahan Harga emas dan Return IHSG pada NAB RDS periode 2012-2014.. namun hasil statistik saya menunjukkan hanya return IHSG yang berpengaruh.. Kira2 kenapa ya Pak? Apakah hal ini berarti dalam periode penelitian, investor hanya terpaku pada pergerakan IHSG, sedangkan pada tahun2 tersebut terdapat perubahan tajam dari kurs rupiah(melemahnya rupiah) dan inflasi (kenaikan BBM)?

    Like

  20. @Rudiyanto
    Selamat Sore Pak Rudiyanto,

    Tolong dikoreksi ya Pak kalau saya salah. Jadi besarnya BI Rate dan SBI pada waktu yang sama itu berbeda ya pak? Dan untuk data historis SBI setiap tahunnya dapat dilihat dimana ya pak?

    Terima kasih

    Like

  21. @surya
    Salam Surya,

    Untuk mencari tahu apakah sama atau berbeda, kamu lihat langsung. Dan sesuai namanya bisa coba kamu cari ke website Bank Indonesia.

    Semoga bermanfaat

    Like

  22. selamat sore pak,
    saya mau menanyakan tentang pengaruh BI rate dan kurs mata uang , dari hasil penelitian saya, BI rate memiliki hubungan positif terhadap return reksadana saham, dan kurs mata uang memiliki hubungan negatif terhadap return reksadana saham, kenapa hal tersebut bisa terjadi pak? trus secara teorinya pakah ada hubungan antara NAB dengan return reksada saham pak?
    terima kasih

    Like

  23. @fitri
    Salam Bu Fitri,

    Mengenai hubungan positif negatif tersebut, dengan asumsi anda tidak salah hitung, berarti berkebalikan dengan tulisan yang saya buat di atas. Bukan berarti tulisan saya sepenuhnya benar, tapi bisa jadi data yang anda gunakan, cara perhitungan dan periode yang anda gunakan belum sepenuhnya tepat. Untuk itu, jika anda yakin dengan cara perhitungan anda, maka saran saya anda bisa berdiskusi dengan dosen pembimbing anda.

    Mengenai hubungan antara NAB dengan return reksa dana, pernah saya bahas di http://rudiyanto.blog.kontan.co.id/2011/05/09/apakah-besarnya-jumlah-dana-kelolaan-berpengaruh-terhadap-kinerja-reksa-dana-saham/

    Semoga bermanfaat

    Like

  24. selamat malam pak, dalam penelitian saya ternyata inflasi, IHSG dan NAB tidak signifikan mempengaruhi return reksadana saham, apakah bisa diasumsikan bahwa masyarakat sudah kebal dengan inflasi yang fluktuatif tiap tahunnya, sehingga tidak mempengaruhi minat mereka dalam berinvestasi, begitu juga trend IHSG yang naik turun. dan untuk NAB, kinerja reksadana saham lebih dinilai dari keprofesionalan manajer investasinya dalam mengelola dana investor, sehingga meskipun dana kelolaannya besar namun dengan keputusan yang tidak tepat maka return bisa saja turun atau sebaliknya.
    mohon bantuannya pak, terima kasih

    Like

  25. @fitri
    Malam Ibu Fitri,

    Sehubungan dengan pertanyaan anda
    apakah bisa diasumsikan bahwa masyarakat sudah kebal dengan inflasi yang fluktuatif tiap tahunnya, sehingga tidak mempengaruhi minat mereka dalam berinvestasi –> kan minat investasi juga belum tentu mempengaruhi IHSG dan kinerja reksa dana saham ?

    NAB, kinerja reksadana saham lebih dinilai dari keprofesionalan manajer investasinya dalam mengelola dana investor, sehingga meskipun dana kelolaannya besar namun dengan keputusan yang tidak tepat maka return bisa saja turun atau sebaliknya –> keputusan tepat sekalipun kalau IHSG turun kan reksa dana saham juga turun ?

    Semoga bermanfaat

    Like

Leave a comment