Mana Yang Lebih Mahal? Saham atau Obligasi?

Masih tentang mahal dan murah, kali ini saya akan membahas tentang konsep Mahal Murah pada Saham dan Obligasi. Dalam teori investasi, umumnya dipelajari berbagai cara untuk menentukan suatu instrumen investasi, apakah suatu saham atau obligasi, terlalu mahal (overvalued) atau terlalu murah (undervalued). Meski demikian, membandingkan antara Obligasi dan Saham yang sejak awal memiliki karakteristik yang berbeda serta menentukan mana yang lebih mahal itu ibarat membandingkan “Apel Malang” dengan “Apel Washington“. Sama-sama rasanya apel, tapi yang satu belinya pakai Rupiah, satunya lagi menggunakan Dollar. Tentu anda bisa bilang, kalau gitu, tinggal dikalikan kurs saja pak? Benar sekali, namun bagaimana membuat obligasi dan saham memiliki “kurs” yang sama sehingga bisa dibandingkan satu sama lain?

Salah satu cara yang sering digunakan untuk menilai mahal murah obligasi adalah dengan cara membandingkan antara Yield to Maturity (YTM) dengan tingkat keuntungan yang diharapkan investor (Expected Return). Apabila YTM lebih besar dari Expected Return maka dikatakan obligasi murah dan sebaliknya jika YTM lebih kecil dari Expected Return maka dikatakan obligasi mahal. Untuk saham, salah satu cara yang dipergunakan adalah menggunakan PER (Price Earning Ratio). Jika PER di atas rata-rata (katakan) 5 tahun terakhir maka dikatakan secara valuasi harga saham sudah mahal dan sebaliknya murah jika di bawah. Ada 2 referensi artikel tentang PE Ratio yang sudah pernah saya tulis, anda bisa baca-baca kembali sebagai referensi:

Jika anda pelajari lebih lanjut, sebetulnya konsep tentang YTM dan PE Ratio masih dapat dikembangkan lebih lanjut sehingga kita bisa membandingkan Saham dan Obligasi secara apple to apple. Konsep yang ingin saya perkenalkan disini disebut Earning Yield. Earning Yield secara teoritis adalah persentase keuntungan dari investasi saham yang berasal dari keuntungan perusahaan. Earning Yield (EY) dihitung dengan cara 1 / PER. Misalnya suatu saham memiliki PER = 10, maka EYnya adalah 1/10 = 10%. Untuk lebih jelasnya saya berikan ilustrasi sebagai berikut:

  • Suatu perusahaan memiliki keuntungan bersih sebesar Rp 100 juta per tahun
  • Harga pasar dari saham tersebut adalah Rp 1 Milliar.
  • Harga Pasar / Keuntungan Bersih menghasilkan PE Ratio sebesar 10 x (10 kali~ cara baca PE Ratio)
  • Bagi anda yang berkecimpung di kewirausahaan disebut 10 x ini sama dengan tahun yang dibutuhkan agar balik modal
  • Bagi dunia investasi, sebetulnya cukup sederhana, kalau investasi Rp 1 Milliar menghasilkan Rp 100 juta per tahun maka sama dengan untung 10% per tahun dan 10% tersebut disebut Earning Yield. EY bisa dihitung dengan 1/PER atau Keuntungan Bersih / Harga Pasar.

Selanjutnya setelah kita mendapatkan Earning Yield saham dan Yield to Maturity obligasi, maka langkah selanjutnya adalah membandingkan kedua angka tersebut.

  • Apabila Earning Yield Saham > Yield to Maturity Obligasi, maka dikatakan Saham lebih MURAH dibandingkan Obligasi
  • Apabila Earning Yield Saham < Yield to Maturity Obligasi, maka dikatakan Saham lebih MAHAL dibandingkan Obligasi

Earning Yield pada prakteknya juga digunakan sebagai salah satu pertimbangan oleh Manajer Investasi untuk menentukan aset alokasi, apakah saat ini harus lebih banyak ke saham atau ke obligasi.

Praktek Penggunaan EY dan YTM

Pada saat dipraktekkan, tentu pertanyaannya EY dari saham mana yang dipergunakan. Ada lebih dari 500 emiten di bursa saat ini. Ada saham yang aktif ada pula yang tidak. Ada saham yang perusahaannya untung dan ada pula yang rugi. Umumnya untuk penggunaan saham digunakan indeks saham secara keseluruhan atau indeks yang dianggap mencerminkan kondisi secara keseluruhan seperti LQ-45 atau Kompas-100. Bagaimana dengan obligasi? Obligasi juga tidak kalah komplit, selain ada obligasi negara dan obligasi korporasi, jatuh tempo juga berbeda-beda pula. Dari 1 tahun hingga 30 tahun. Secara rule of thumb, obligasi yang dianggap mencerminkan acuan suatu negara adalah Yield Obligasi Negara (dengan jatuh tempo) 10 Tahun.

Jadi dengan membandingkan Earning Yield dari (misalnya LQ-45) dan Yield Obligasi Indonesia 10 tahun, kita bisa menentukan apakah sekarang kondisi saham lebih mahal atau lebih murah dibandingkan dengan harga obligasi. Dengan menggunakan data yang bersumber dari www.infovesta.com, perbandingannya adalah sebagai berikut:

Sumber : www.infovesta.com, diolah

Perbandingan di atas menunjukkan selama 1 minggu terakhir, Saham sudah lebih Murah dibandingkan Obligasi. Secara teoritis, saat ini membeli saham lebih baik dibandingkan obligasi karena secara valuasi lebih murah. Namun hal ini bukan berarti harga saham akan naik dan harga obligasi akan turun atau sebaliknya. Meski valuasi merupakan faktor yang memiliki peran cukup penting dalam menentukan naik turunnya harga, namun faktor pengaruh dari luar seperti potensi kenaikan inflasi dan faktor permintaan & penawaran asing (karena krisis minyak Iran, krisis Eropa, kondisi AS) juga terkadang memberikan pengaruh yang signifikan.

Kepada anda yang memiliki portofolio berimbang antara saham dan obligasi atau reksa dana saham dan pendapatan tetap, ada baiknya faktor valuasi menjadi salah satu tambahan pertimbangan anda dalam mengambil keputusan. Semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semua.

Penyebutan produk investasi  (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Seluruh tulisan di atas merupakan opini pribadi.

13 thoughts on “Mana Yang Lebih Mahal? Saham atau Obligasi?

  1. Trima kasih atas tulisannya pak rudi. Kebetulan saya baru masuk RDPT (yg kinerjanya lumayan bagus) secara lumpsum sekitar pertengahan februari lalu, dan udah langsung nyungsep sekarang ini 🙂 Dan Kebetulan perbandingan investasi saya sekarang di RDS 20% dan RDPT 80%. Apakah menurut pak rudi saat sekarang ini perbandingan tersebut cukup baik. Dan bagaimana prospek RDPT kedepan dihubungkan dengan kenaikan BBM dan kenaikan listrik? Trima Kasih

    Like

  2. @Mabar
    Salam Pak Mabar,

    Untuk bisa menjawab apakah aset alokasi anda sudah tepat atau tidak, maka saya perlu mengenal karakteristik dan kondisi keuangan anda dengan lebih baik. Sebab tepat menurut satu orang belum tentu tepat menurut orang yang lain. Secara teoritis, sekali lagi, ketika valuasi obligasi sudah lebih mahal dibandingkan valuasi saham, maka bobot obligasi bisa dikurangi dan selanjutnya bobot saham bisa ditambah. Meski demikian, tindakan ini tidak bisa menjamin hasil yang diperoleh lebih baik daripada alokasi yang sekarang karena kedua instrumen tersebut juga memiliki tren untuk bergerak searah. Artinya ketika harga obligasi turun, harga saham juga ikutan turun. Mau investasi yang manapun sama saja.

    Kalau yang namanya harga obligasi tentu akan terpengaruh kalau terjadi kenaikan Inflasi yang disebabkan oleh BBM dan TDL, namun perlu diingat terkadang efek tersebut kejadiannya hanya sesaat atau sangat kecil apabila tingkat inflasi masih berada dalam tingkat ekspektasi. Sebaliknya ketika kenaikan inflasi terjadi di luar ekspektasi, maka efeknya baru akan dalam. Namun yang namanya dalam investasi tentu ada naik dan turun. Kalau hari ini bisa karena inflasi, besok bisa karena faktor lainnya. Jadi saran saya fokus dengan tujuan investasi saja pak.

    Demikian semoga bermanfaat, terima kasih.

    Like

  3. Thanks, Pak Rudi, tulisan Bapak sangat bermanfaat buat newbie seperti saya,
    Saya masih awam dengan obligasi, apalagi RDPT,
    Yang ada dibenak saya, daripada invest di obligasi yang imbal hasil sekitar 6% (diluar capital gain), mendingan di saham/RDS (capital gain jauh lebih besar),
    namun saya jadi tambah heran, ketika imbal hasil RDPT tahun kemarin rata-rata lebih tinggi di bandi RDS (mungkin karena capital gain di obligasi?).
    yang ingin saya tanyakan,
    bagaimana strategi investasi di obligasi/RDPT?
    dan bagaimana jika dibandingkan dengan invest di emiten saham yg rutin bagi deviden (misal grup Astra)?
    terima kasih sebelumnya

    Like

  4. @Prayudi
    Salam Pak Prayudi,

    Kalau menurut saya, investasi di obligasi / RDPT sebaiknya disesuaikan dengan tujuan dan karakteristik. Investor yang cocok untuk membeli instrumen ini antara lain:
    – Karakter risiko konservatif
    – Memiliki kebutuhan dana dalam kurun waktu 1 – 3 tahun dan atau
    – Ingin memiliki portofolio yang terdiversifikasi

    Jika anda ingin membeli saham yang rutin membagikan dividen, saya rasa ide ini boleh juga. Dibandingkan reksa dana pendapatan tetap yang biasa (tidak membagikan dividen), saham pembagi dividen bisa memberikan pendapatan rutin. Namun perlu diingat, biasanya dividen dibagikan hanya 2 kali dalam 1 tahun, jumlahnya bisa tetap, naik, turun atau tidak ada dividen sama sekali. Keuntungan dari dividen secara persentase juga variatif, bisa rendah sekali jika kebetulan anda beli saham di harga yang tinggi atau tinggi sekali jika kebetulan anda mendapat harga yang murah.

    Demikian, semoga bermanfaat.

    Like

  5. Dear Bapak Rudiyanto,

    Ulasan anda tentang mana yang lebih murah (saham atau obligasi) sangat menarik. Perhitungan ini saya butuhkan dalam salah satu komponen analisis saya. Apakah formulasi tersebut masih relevan dalam kondisi pasar saat ini yang lebih dipengaruhi oleh kondisi politik, baik dalam dan luar negeri? Terima kasih 🙂

    Like

  6. @Stephani
    Salam Stephani,

    Kalau formula, sepanjang komponen yang dibutuhkan untuk melakukan perhitungan tersebut ada. Maka bisa berlaku dalam kondisi apa saja. Yang lebih penting adalah apakah hasil akhir yang ingin disampaikan dalam formula tersebut?

    Semoga bermanfaat.

    Like

  7. Selamat siang pak, artikel yang sangat menarik. Namun yang ingin saya tanyakan adalah kenapa yield SUN tenor 10-thn dianggap sebagai “rule of thumb” alias yang paling baik menjadi acuan? lalu apakah terdapat dasar teori yang menyatakan rule of thumb untuk obligasi yang dianggap mencerminkan acuan suatu negara adalah yield SUN tenor 10-thn ? Terimakasih pak bantuannya.

    Like

  8. @kristian
    Selamat siang pak Kristian,

    Namanya Rule of Thumb, itu karena sudah biasa dipakai sehingga dijadikan acuan.

    Kalau mengapa dan dasar teorinya, terus terang saya tidak tahu. Anda bisa coba mencarinya dari buku referensi investasi yang ada.

    Semoga bermanfaat

    Like

  9. Selamat siang pak,
    Saya ingin bertanya, bagaimana cara menghitung expected return investor terhadap sebuah obligasi?

    Trimakasih

    Like

    1. Selamat pagi bu Zahra,

      Pertanyaan tersebut bisa didiskusikan dengan dosen pembimbing atau mencari referensi buku2 ttg manajemen keuangan dan investasi.

      Terima kasih

      Like

Leave a comment