Efek Penguatan Dolar Terhadap Emas, Properti dan Reksa Dana (2)

Melanjutkan tulisan beberapa minggu sebelumnya tentang membahas secara spesifik pengaruhnya terhadap emas, maka pada tulisan ini saya ingin membahas tentang pengaruh dari penguatan dolar terhadap properti. Harus diakui memang bahwa saya bukan ahli properti, dan dalam rentang waktu tulisan pertama dan tulisan kedua ini sudah banyak yang terjadi. Mulai dari Tapering yang jadi, IHSG yang naik tinggi setelahnya dan turun beberapa hari ini, dolar yang tadinya kuat, sekarang sudah agak melemah meskipun masih tidak bisa dibilang lemah.

Bagaimana efeknya terhadap harga properti? semoga sharing kali ini dapat bermanfaat bagi anda semua.

Rumah dan DollarMengenali Berbagai Jenis Properti

Sebelum membahas lebih lanjut tentang properti, perlu kita ketahui bahwa dunia properti itu luas. Ada Tanah dan Bangunan, ada Residential, ada pula Komersial. Kalau Residential mulai dari Rumah Dengan Tanah (Landed Residence), Rumah Susun, Apartement, Condominium, Condotel, Hotel, dan Serviced Apartment. Kalau komersial mulai dari Gudang, Pabrik, Ruko, Kantor, dan Mall. Sekarang sedang trend SoHo (Shop and Home), One Stop Service yang menggabungkan konsep Residensial dan Komersial dalam satu area.

Karena segmen properti yang sangat luas dan terus terang saya juga bukan orang yang terlalu ahli soal properti, maka sharing kali ini saya batasi hanya di segmen properti residensial saja khususnya Landed Residence. Hal ini karena saya kebetulan memiliki riset tentang segmen tersebut yang bisa mendukung opini saya.

Segmen Properti Residensial sendiri dibagi lagi menjadi 2 jenis. Jenis pertama yaitu Properti Residensial Primer yang dibangun oleh Properti, sehingga investor membeli dari developer. Jenis yang kedua yaitu Properti Residensial Sekunder, dimana pada jenis ini investor membeli dari satu pihak ke pihak lainnya.

Secara spesifik saya hanya membahas harga properti di Residensial Primer saja karena saya membahasnya berdasarkan hasil survey dari Bank Indonesia tentang properti residensial primer di Indonesia.

Indeks Properti Residensial Indonesia

Sumber : Bank Indonesia

Indeks Properti Residensial Indonesia adalah suatu indeks yang mencerminkan harga properti secara umum pada pasar primer (developer) di seluruh Indonesia. Gampangnya semacam IHSG untuk properti. Grafik batang menunjukkan nilainya misalnya 140, grafik warna kuning menunjukkan pertumbuhan dari kuartal ke kuartal (3 bulanan). Angka 3% artinya jika pada akhir Maret 2013 harga rumah dari developer ditawarkan di harga Rp 1 M, maka pada akhir Juni 2013, harga rumah dengan luas dan spesifikasi yang sama naik menjadi Rp 1,03 Milliar.

Grafik yang abu2 memiliki fungsi yang sama dengan grafik kuning, hanya saja periodenya Year On Year, artinya tahunan. Angka 10%, artinya dibandingkan tahun lalu dengan tahun sekarang telah naik 10%. Berdasarkan perkiraan dari Bank Indonesia, pada Kuartal III 2013, diperkirakan kenaikan harga rumah dari sebelumnya sekitar 12% year on year akan naik menjadi sekitar 15% year on year.

Hal ini berarti harga rumah dari developer diperkirakan akan naik lebih tinggi dari kenaikan pada triwulan sebelumnya. Apakah hal ini disebabkan karena penguatan USD? Properti residensial memiliki banyak unsur yang bisa berpengaruh dalam harganya. Pertama, rumah adalah kebutuhan. Meski harganya terus naik, kebutuhan akan terus ada apabila jumlah rumah yang tersedia lebih sedikit daripada jumlah permintaan rumah.

Kedua, karena survei ini berasal dari harga properti di tingkat developer, kita harus memahami bahwa jika terjadi kenaikan UMR dan biaya bahan baku, maka akan berpengaruh pada harga rumah. UMR jelas naik dibandingkan tahun sebelumnya karena ada kenaikan. Demikian juga dengan biaya bahan baku yang menggunakan bahan impor. Kenaikan bahan baku akan menyebabkan kenaikan harga rumah karena meningkatnya biaya pembuatan. Meski demikian, menurut saya kontribusi dari penguatan dolar seharusnya tidak terlalu signifikan mengingat rumah tidak dibangun hari ini dan langsung jadi.

Rumah dibangun secara periodik begitu pula terhadap kebutuhan bahan bakunya. Jika sumber pendanaan untuk properti terbatas, tentu tidak semua bahan baku disiapkan sekaligus di muka. Jadi meskipun saat ini harga bahan baku tinggi karena jika dibuat estimasi dengan USD yang menguat, jika dalam proses pembangunannya memakan waktu beberapa tahun dan terjadi penguatan Rupiah maka biaya pendirian rumah bisa turun.

Kenaikan harga properti menurut saya lebih dipengaruhi karena era bunga murah karena penurunan BI Rate yang agresif dalam beberapa tahun terakhir. Bunga KPR yang semakin murah dan syarat kepemilikan yang lebih mudah karena masa cicilan diperpanjang telah meningkatkan permintaan secara signifikan. Namun hal tersebut sebenarnya baru banyak terjadi 2 tahun terakhir ini. Sebelum tahun 2012, jika anda memperhatikan grafik warna abu2, kenaikan harga properti pada tahun 2011 dan sebelumnya berkisar antara 3-6% Baru pada tahun 2012 dan 2013 kenaikannya mencapai belasan persen.

BI Rate yang murah menjadikan cicilan KPR lebih terjangkau. Oleh sebagian pihak hal ini dimanfaatkan untuk menspekulasikan harga properti. Belum lagi dengan sistem KPR, seseorang dengan modal Rp 300 juta sudah bisa memiliki rumah Rp 1 M. Jika harga rumah tersebut naik 15% saja menjadi Rp 1,15 M dalam 1 tahun. Maka keuntungan orang tersebut adalah Rp 150 juta. Sementara modal yang dikeluarkan hanya Rp 300 juta

Hal inilah yang menurut saya menjadi faktor utama yang menyebabkan kenaikan harga properti. Faktor penguatan USD hanya salah satu faktor kecil saja. Jika KPR bisa diatur sedemikian rupa sehingga tidak bisa dijadikan sebagai alat spekulasi (misalnya seperti yang saat ini dilakukan dimana KPR untuk rumah kedua bobot DPnya diperbesar, KPR untuk rumah yang belum dibangun tidak diperbolehkan), maka harga properti akan lebih terkendali.

Pengalaman pribadi saya ketika memperhatikan beberapa properti di sekitar tempat tinggal, banyak ruko dengan kelas harga tidak masuk akal, yang “katanya” mencapai Rp 4 atau 5 milliar atau bahkan lebih, ternyata tidak ada yang menempati atau kosong. Kosongnya juga cukup lama. Hal ini menunjukkan harga properti memang boleh mahal / naik, tapi jika tidak ada yang beli apakah harganya tidak akan turun? Mari kita lihat saja. Tapi tentu hal ini tidak bisa disamaratakan di seluruh Indonesia karena hanya di area tertentu saja.

Demikian sharing kali ini, pada kesempatan berikutnya saya akan membahas efek penguatan dolar terhadap reksa dana. Semoga bermanfaat.

Penyebutan produk investasi  (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.

Sumber data dan Foto : Bank Indonesia dan Istockphoto

6 thoughts on “Efek Penguatan Dolar Terhadap Emas, Properti dan Reksa Dana (2)

  1. di daerah saya juga ada beberapa ruko yang harganya begitu tinggi.
    misalnya sebuah ruko di daerah komplek perumahan kelas menengah disewakan seharga 80jt per tahun, maka dapat diasumsikan BEP untuk biaya sewanya saja sekitar 220rb per hari, belum ditambah biaya lainnya.
    klo di jalanan pusat kotanya, harga sewa ruko sudah mencapai 275jt per tahun atau BEP sewa saja 725rb per hari.

    Like

  2. Apakah menurut pak Rudi properti sudah “bubble” ???

    Menurut saya menguat nya usdollar kecil pengaruhnya thd naik nya harga properti di jkt.
    bahkan tahun2 2010-2012 harga properti terus naik biarpun kurs usdollar rendah.

    kenaikan harga properti lebih didorong oleh faktor spekulasi … bahkan ketika DP krp naik jadi minimum 30% juga ga ada efek nya … skarang peraturan baru DP kpr untuk rumah ke 2 dst minimum 50% (itu info yg saya dapat dari marketing kpr saya terakhir september 2013) … moga2 aja bisa meredam spekulasi …

    Saya sendiri juga ada beberapa rumah untuk di disewakan , memang betul harga rumah naik luar biasa minimal 30%-40% tiap tahun… tapi harga sewa / kontrak rumah tidak setinggi naiknya harga jual properti … pengalaman saya sendiri untuk menaikkan 10% uang sewa aja cukup sulit bahkan ada yg “rela” pindah ke kontrakan lain biarpun dgn luas rumah yg lebih kecil …

    Saya sendiri lagi “hunting” apartemen 2nd hand di tanjung duren tapi ya itu yg sperti pak Rudi bilang harganya tidak masuk akal … untuk apartemen 2 kamar ukuran 42 m2 sudah 700 jutaan padahal harga perdana /pertama dari developer cuma di bawah 200 juta

    kalo di luar jakarta seperti cibubur masih agak murah … naik nya belum gila …

    Like

  3. @kurniawan
    Salam lagi Pak Kurniawan,

    Kalau 200 juta menjadi 700 juta dalam 10 tahun (setahu saya Apartemen Mediterania di Tanjung Duren Jakarta Barat itu berdiri sekitar 2002 – 3 an, maka itu setara dengan naik 250% 10 tahun atau 13.35% per tahun compounding.

    Tinggi? relatif lebih baik dibandingkan deposito, tapi tidak gila, karena kenaikan harga saham selama periode yang sama masih lebih tinggi. Kenaikan harga IHSG 10 tahun terakhir sekitar 600% atau compounding 21.4% per tahun.

    Kebetulan saya juga tinggal di dekat daerah itu pak. Demikian, semoga bermanfaat.

    Like

  4. @Rudiyanto
    Pak Rudi berarti investasi di reksadana saham bisa mengatasi kenaikan harga properti dong ya …

    Saya merasa pemerintah indonesia ketakutan kalo bubble properti pecah …

    awal nya DP KPR 20% kemudian naik DP KPR 30% dan kemudian peraturan baru oktober 2013 untuk KPR rumah ke 3 dst DP minimal 50% dan kemudian ada rencana untuk melarang KPR indent maksudnya KPR untuk rumah / apartemen nya belum selesai masih gambar aja …

    Apakah menurut pak Rudi properti di indonesia sudah rawan bubble ? dan kalo meletus apakah harga properti akan anjlok seperti di amerika ?

    Sekarang ini angapan masyarakat bahwa harga properti naik terus tidak mungkin turun …

    Like

  5. @kurniawan
    Salam Pak Kurniawan,

    Secara historis kenaikan harga IHSG lebih tinggi dari properti. Apakah ke depannya demikian, ya tidak tahu. Tapi mudah2an.

    Kemudian terkait bubble, menurut saya pasar properti Indonesia berbeda dengan pasar properti di US. di US, orang2 yang penghasilannya pas-pasan, besar pasak daripada tiang, biaya hidup tinggi, tidak bisa menabung dan tidak memiliki tabungan diberikan KPR sepanjang punya gaji. Akibatnya ketika bunga KPR naik atau ada resesi ekonomi sehingga gaji berkurang atau pekerjaan hilang, langsung pada gagal bayar.

    Sementara properti di Indonesia menurut saya sama seperti di Singapura dan Hong Kong. Permintaan dari kelas atas begitu besarnya sehingga meskipun bunga naik atau terjadi perlambatan ekonomi mereka tetap baik2 saja. Berkat kerja keras dari BI, untuk bisa punya rumah dengan cara KPR wajib punya DP minimal 30%. Untuk jangka waktu juga tidak selama di Singapore yang mungkin bisa 20 – 30 tahun. Akibatnya nilai cicilan tidak ringan dan memang dimiliki oleh orang yang punya saja.

    Kebijakan yang terakhir2 ini dilakukan menurut saya mencegah agar harga properti tidak naik gila-gilaan lagi tapi bukan untuk menurunkkannya. Akibatnya harga properti mungkin akan stabil atau naik sedikit saja setiap tahun. Jadi properti Indonesia menurut saya bukan bubble pecah, tapi hanya penyesuaian sehingga orang-orang bisa punya kesempatan membeli rumah.

    Demikian semoga bermanfaat.

    Like

Leave a comment