Baru minggu pertama di Januari 2024, asing mencatat net buy hingga Rp 1 T lebih dan IHSG sudah all time high baru di 7359.
Rencana pemangkasan suku bunga, kurs Rupiah menguat terhadap USD, turunnya harga minyak juga menjadi sentimen positif.

Apakah 2024 bisa menjadi tahunnya saham?

Secara angka, sebetulnya kinerja IHSG 3 tahun terakhir bisa dibilang bagus.

Secara akumulatif naik sekitar 21.6%, lebih baik dibandingkan deposito dan kupon obligasi negara yang terbit dalam 3 tahun belakangan ini.

Tapi….

Bagi anda yang berinvestasi di saham langsung ataupun melalui reksa dana, sebagian mungkin tidak merasakan persentase keuntungan tersebut.
Meski IHSG sudah all time high, kebanyakan NAB reksa dana belum, mungkin masih sekitar 5-10% lebih rendah, padahal investasinya sudah di blue chip.

Memang benar saham 4 bank besar sudah all time high, tapi lainnya belum, bahkan ada juga yang turun puluhan persen.
Hal ini juga tercermin dalam indeks yang digunakan secara umum seperti IDX30, LQ45, ISSI (syariah), dan Sri Kehati, perbandingan dengan rata-rata RD saham sebagai berikut:

2021 IHSG +10.08%

LQ45, IDX30, dan Sri Kehati malah negatif, hanya ISSI yang masih +6.5%, kok bisa?
2021 waktu rasionalitas jarang dipakai karena demam teknologi dan digital.
Start up dan emiten ga jelas, rugi, dan modal presentasi bisa dapat pendanaan asal ada embel2 “digital”.
Akibatnya saham yang mendominasi kenaikan adalah sektor teknologi (masuk ISSI).
Saham bluechip termasuk 4 bank besar waktu itu tidak dilirik dan harganya turun sehingga IDX30, LQ45 dan Sri Kehati negatif.
Memang GOTO & BUKA di IDX30 dan LQ45, tapi pas masuk sudah kebagian turunnya saja.
Pada 2021, sektor teknologi dengan valuasi tinggi dan masih rugi umumnya tidak menjadi bagian dari portofolio reksa dana saham yang dikelola secara aktif.
Akibatnya rata-rata reksa dana saham juga kalah dari IHSG dan kinerjanya tidak jauh2 dari LQ45 dan IDX30 dengan +1.03%.

2022 IHSG +4.09%

Yang naik banyak ISSI +15.19% dan Sri Kehati +14%, LQ45 hanya +0.62% dan IDX30 malah -1.8%, kenapa lagi?
2022 bisa dibilang tahun dimana rasionalitas kembali, saham digital “tidak jelas” dengan valuasi tinggi akhirnya berguguran dan saham bluechip kembali naik.
Namun di tengah, justru dikejutkan dengan perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan harga komoditas terbang all time high.
Di ISSI memang ada teknologi dan tidak ada bank, tapi sebagai gantinya komposisi energi seperti batu bara lebih besar, % kenaikan energi lebih besar dari yg lain.
Di LQ45 dan IDX30 masuk saham teknologi waktu harganya sedang tinggi dan kebagian turunnya saja di 2022.
Sri Kehati naik tinggi meski tidak ada batu bara, karena juga tidak ada sektor teknologi sama sekali.
Jika teknologi out dari IDX30 dan LQ45, maka kinerjanya = Sri Kehati.
Kinerja rd saham 2022 cukup unik karena meski rata2 negatif, tapi saham bluechip positif.
Pada tahun itu, harga saham bergerak sesuai teori, yang naik fundamental baik dan valuasi murah.
Rd saham yang di atas IHSG, stock pickingnya bagus, yang tidak, mungkin kena cuci piring tech.

2023 IHSG +6.16%

Kali ini, semua indeks baik LQ45, IDX30, Sri Kehati, ISSI di bawah bahkan rata2 reksa dana saham -5.21%, again ??
Kondisi tahun 2023 mirip dengan 2021, khususnya 3 bulan terakhir.
Dari Januari – September masih sesuai teori, fundamental baik dan harga murah.
Tapi sejak kalimat “higher for longer” di September 2023 menjadi game changer karena teori menjadi tidak berlaku Net buy jadi net sell tidak hanya di saham tapi juga obligasi, kenaikan harga saham selama 9 bulan, hilang dan bahkan negatif dalam 2 bulan di September – Oktober 23.
Di November – Desember market kembali pulih bahkan cepat, tapi terkonsentrasi pada saham grup Barito (CUAN, TPIA, BRPT, dan BREN), kondisi ini mirip dengan demam digital 2021 lalu.
Bedanya kalau tech masuk indeks via Fast Entry, BRPT (LQ45IDX30) dan TPIA (LQ45) sudah dari dulu.
Akibatnya yang pulih di 2 bulan terakhir kebanyakan reksa dana indeks yang mengacu ke LQ45 dan IDX30.
Sementara reksa dana aktif yang karena pertimbangan valuasi terlalu mahal sehingga alokasi di grup Barito kecil / tidak ada masih belum kembali ke all time highnya.

Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana dengan 2024?

Apakah bisa menjadi tahunnya saham? Jika bisa, apakah kinerja reksa dana saham akan tertinggal seperti 3 tahun belakangan ini?

Pendukungnya:
- Tingkat inflasi di Indonesia dan Amerika Serikat terkendali
- Memasuki era penurunan suku bungan
- Kampanye pilpres dan bansos akan meningkatkan konsumsi

Namun memang tidak ada tema “kuat” seperti harga komoditas tinggi di 2022 dan digital di 2021.
Sehingga kenaikannya akan terjadi di semua sektor dan emiten yang mampu memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi.

Jika kondisinya demikian, biasanya yang diuntungkan adalah sektor saham perbankan dan bluechip secara umum, namun faktor valuasi murah juga terkadang menentukan.

Apakah mungkin akan ada konsentrasi di sektor tertentu seperti yang sudah terjadi?

Bisa saja, tapi biasanya siklusi seperti ini tidak panjang dan ketika sudah masuk dalam indeks saham yang likuid seperti IDX30 dan LQ45 atau indeks internasional seperti MSCI, akan berhenti.
Mudah-mudahan era penurunan suku bunga di 2024 ini tidak hanya menjadi tahunnya Obligasi tapi juga tahunnya Saham.
Memang volatilitas akan selalu ada, untuk itu diperlukan diversifikasi dan strategi investasi secara berkala.

SEMOGA HARI ANDA MENYENANGKAN

Rudiyanto

Tinggalkan komentar

  1. avatar Tidak diketahui
  2. avatar Tidak diketahui
  3. avatar Tidak diketahui
  4. avatar Tidak diketahui
  5. avatar Tidak diketahui