Window Dressing Saham dan Reksa Dana

Window DressingSumber : Koran Kontan Harian Edisi 30 November 2015

Window Dressing adalah salah satu fenomena di pasar modal, dimana menjelang akhir tahun atau tepatnya pada bulan Desember harga saham cenderung naik. Penyebab kenaikan saham ini bisa dari emiten (perusahaan) yang menggenjot target penjualan agar pelaporan akhir tahun terlihat bagus. Window Dressing bisa juga berasal aksi manajer investasi yang memborong saham dengan harapan harga bisa naik. Karena aksi memborong saham ini dilakukan juga oleh banyak manajer investasi lainnya, maka permintaan meningkat dan harga saham naik.

Window Dressing sendiri adalah anomali, karena harga saham yang benar adalah yang mencerminkan kinerja fundamental perusahaan. Tidak ada ketentuan harus naik atau turun di bulan apa, tapi karena terjadi secara terus menerus makanya disebut anomali (keanehan).

Apakah Window Dressing terjadi pada saham di Indonesia? Berapakah besaran returnnya? Apakah hal yang sama juga terjadi pada reksa dana? Berikut statistiknya Continue reading “Window Dressing Saham dan Reksa Dana”

Advertisement

Kapan Sebaiknya Investor Melakukan Rebalancing ?

Weigh

 

Bagi investor yang melakukan investasi dengan strategi asset allocation, beberapa periode sekali disarankan untuk menata ulang portofolionya. Hal ini disebabkan karena seiring dengan berjalannya waktu, nilai investasi mengalami perubahan bisa naik bisa juga turun. Akibatnya bobot yang sudah ditetapkan sejak awal bisa berubah. Ketika nilai bobot tersebut menyimpang dari rencana, investor perlu melakukan penyesuaian pada portofolio investasi agar portofolio investasi bisa sama dengan rencana awalnya, tindakan ini disebut dengan Rebalancing. Yang menjadi pertanyaan, kapan sebaiknya investor melakukan rebalancing ?

Periode kapan yang saya maksud tidak sama dengan market timing, artinya periode rebalancing tidak berdasarkan prediksi apakah IHSG akan naik atau turun pada masa mendatang. Rebalancing yang saya maksud adalah berapa lama sekali dilakukan penataan ulang terhadap portofolio investasi, apakah 3 bulan sekali, 6 bulan sekali, tahunan atau tidak perlu ada rebalancing sama sekali. Yang paling baik tentunya adalah periode rebalancing dengan hasil investasi paling maksimal dan risiko paling minimal.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya melakukan simulasi dan riset terhadap data historis reksa dana saham, campuran, pendapatan tetap dan deposito dari tahun 2001 – 2015. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut Continue reading “Kapan Sebaiknya Investor Melakukan Rebalancing ?”

Sell In May and Go Away – Update 2015

Sell in May and Go Away

Pada tahun 2012 yang lalu, saya pernah menulis tentang salah satu strategy market timing yang dikenal dengan sebutan Sell in May and Go Away. Sesuai dengan namanya, strategi investasi ini menganjurkan investor untuk membeli berinvestasi saham pada bulan November – April kemudian mengalihkan semuanya ke obligasi selama periode Mei – Oktober. Kini 3 tahun sudah berlalu, apakah strategi ini masih efektif ?

Sell in May and Go Away menggunakan asumsi bahwa periode November hingga April merupakan periode terbaik bagi saham karena pada bulan tersebut ada Window Dressing pada akhir tahun dan publikasi laporan keuangan tahunan pada awal tahun berikutnya.

Dalam kondisi ekonomi normal, umumnya perusahaan membukukan kenaikan penjualan dan laba sehingga harga saham cenderung positif pada saat laporan keuangan dipublikasikan. Sebaliknya pada periode Mei – Oktober, dianggap sebagai periode yang kurang baik bagi saham karena berita positif lebih minim dan inflasi cenderung tinggi. Pada periode ini, investasi ditempatkan pada obligasi.

Untuk membuktikan apakah strategi tersebut benar efektif atau tidak, langkah yang paling sederhana adalah melakukan pengujian berdasarkan data historis. Sebagai referensi, ditambahkan juga perbandingannya dengan strategy Buy and Hold di IHSG dan Panin Dana Maksima. Hasilnya adalah sebagai berikut. Continue reading “Sell In May and Go Away – Update 2015”

Strategi Investasi Reksa Dana : Asset Allocation

Pie Chart

Dalam investasi dikenal strategi yang disebut dengan Asset Allocation, atau secara sederhana membagi investasi ke beberapa jenis investasi agar memperoleh portofolio investasi yang sesuai dengan profil risikonya. Sebagai contoh, investor dengan profil risiko yang agresif akan memiliki alokasi yang lebih besar pada saham atau reksa dana saham, sebaliknya investor yang memiliki profil risiko konservatif akan mengalokasikan uangnya lebih banyak pada obligasi atau reksa dana pendapatan tetap.

Terus terang, menurut saya strategi di atas bukanlah strategi investasi yang relevan untuk semua orang. Argumennya, dalam investasi setiap orang memiliki tujuan. Katakanlah tujuannya untuk pensiun dan waktunya masih sangat lama lagi, apakah perlu kita menyisihkan sekian puluh persen dari dana kelolaan ke instrumen yang konservatif seperti deposito dan reksa dana pendapatan tetap? Sebaliknya ketika tujuan keuangannya sudah sangat dekat waktu dana dibutuhkan yaitu tahun depan, apakah karena agresif kita harus menempatkan dana di reksa dana saham?

Menurut saya tidak, sebaiknya memang investasi reksa dana disesuaikan dengan tujuan keuangan. Reksa dana jangka pendek untuk tujuan jangka pendek, reksa dana jangka panjang untuk tujuan jangka panjang. Bagaimana dengan risiko? Semakin lama periode investasi, maka risiko fluktuasi pada reksa dana saham akan semakin dapat diminimalkan. Tidak menjamin pasti untung memang, tapi kemungkinan untuk mengalami kerugian semakin kecil. Jadi, cara untuk mengurangi risiko adalah dengan berinvestasi jangka panjang.

Konsep dan strategi ini cocok jika anda masih berada dalam tahapan Wealth Accumulation. Dalam bahasa perencanaan keuangan, tahapan ini adalah untuk orang-orang yang masih dalam tahap awal karir / usaha sehingga belum memiliki penghasilan yang mapan. Pada tahap ini, investasi dilakukan dengan berusaha menyisihkan sebagian dari penghasilannya setiap bulan. Ada juga yang dilakukan dengan cara mengurangi gaya hidup konsumtif.

Apakah strategi asset allocation tersebut memang tidak aplikatif ? Tentu tidak, strategi ini tetap bisa diterapkan bahkan jika anda membaca buku-buku berkaitan dengan investasi di luar negeri ataupun menggunakan aplikasi finansialnya, semuanya adalah tentang bagaimana mengalokasikan investasi dengan baik. Dengan catatan, bahwa cara ini baru cocok untuk anda berada dalam tahapan Wealth Preservation.

Dalam bahasa perencanaan keuangan, Wealth Preservation adalah tahapan bagaimana investor mempertahankan dan mengembangkan nilai aset yang dimilikinya. Tujuan keuangan seperti liburan ke luar negeri, pendidikan anak, dan bahkan pensiun mungkin sudah bukan menjadi persoalan bagi orang-orang yang berada dalam tahapan ini karena sudah memiliki sejumlah aset atau pendapatan yang nilainya signifikan. Sebagian dari anda mengenalnya dengan istilah High Net Worth Individual (HNWI).

Pertanyaannya, bagaimana cara melakukan investasi reksa dana dengan strategi Asset Allocation ? Continue reading “Strategi Investasi Reksa Dana : Asset Allocation”

Mana Yang Lebih Baik : Lump Sum atau Cost Averaging ?

Perbandingan Lump Sum dan Cost Averaging

 

Dalam suatu gathering nasabah di Bandung yang saya lakukan minggu lalu, ada satu diskusi dengan nasabah yang sangat menarik. Pertanyaannya kurang lebih sebagai berikut “Mana yang lebih baik, investasi secara sekaligus di depan atau investasi secara berkala?”

Dalam dunia pasar modal, investasi secara sekaligus di depan dikenal dengan nama investasi Lump Sum (LS). Sementara investasi secara berkala, dikenal juga dengan nama (Dollar atau Rupiah) Cost Averaging (CA) atau autodebet. Ketentuan di masing-masing perusahaan bisa berbeda, namun kalau di Panin Asset Management periodenya bulanan dengan minimal 1 tahun.

Secara matematika, dengan asumsi reksa dana saham mampu memberikan tingkat return 20% per tahun, maka sudah pasti metode LS lebih baik daripada CA. Sebab dengan metode LS, semua dana yang dimasukkan sejak pertama kali langsung mendapat keuntungan 20%. Jika dengan metode CA, hanya setoran pertama yang mendapat return 20%, sisanya karena dimasukkan belakangan mendapat tingkat keuntungan yang lebih rendah.

Untuk lebih detailnya, misalkan anda memiliki Rp 12 juta. Jika diinvestasikan dengan metode LS, asumsi return 20%, dan periode 1 tahun, maka di akhir tahun pertama nilai uang akan berkembang menjadi Rp 14.400.000 (12 juta x 20% + 12 juta). Sementara dengan metode CA secara bulanan, dengan menggunakan kalkulator finansial Panin AM diperoleh hasil Rp 13.382.856.

Screen Shot 2015-03-23 at 1.30.45 AM

Namun investor tersebut tidak puas. Menurutnya, memang benar jawaban di atas jika dihitung secara matematika. Namun bukankah dalam dunia nyata return investasi tidak linear 20% ? Ada periode dimana IHSG mengalami kenaikan, ada pula periode IHSG mengalami penurunan. Dengan menggunakan metode CA, bukankah investor bisa mengambil keuntungan untuk membeli ketika harganya sedang turun.

Argumentasinya tidak salah. Memang benar bahwa pada kenyataannya return investasi tidak linear. Bukan saja naik dan turun, tapi ada kalanya juga tidak mencapai 20% seperti yang diharapkan investor. Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut, saya artikel ini saya buat. Tujuan saya adalah untuk mencari tahu, apakah keunggulan CA seperti yang dikemukakan oleh investor tersebut benar-benar efektif dalam dunia nyata yang sangat dinamis ini. Continue reading “Mana Yang Lebih Baik : Lump Sum atau Cost Averaging ?”