Setelah mengecek arsip artikel yang pernah dibuat, ternyata saya menemukan ada satu artikel yang menarik untuk disharing bersama rekan2 disini. Sebagai informasi, riset ini dibuat oleh saya dan anggota riset yang lain yaitu bapak Wawan Hendrayana dan data yang dipergunakan adalah berdasarkan data reksa dana saham dari Januari 2004 hingga Juni 2010. Semoga bermanfaat..
Selama ini, Investor dan Manajer Investasi beranggapan bahwa semakin besar jumlah dana kelolaan reksa dana, maka kinerja reksa dana juga akan cenderung semakin “kurang lincah”. Alasannya, karena dengan jumlah dana kelolaan semakin besar, kegiatan pengelolaan menjadi semakin pasif sehingga sulit untuk membukukan kinerja return yang tinggi. Apakah benar demikian?
Dalam mengelola dana, umumnya Manajer Investasi menggunakan 2 strategi, yaitu Strategi Investasi Aktif dan Strategi Investasi Pasif. Strategi investasi pasif adalah strategi buy and hold dimana pengelola berinvestasi pada sekelompok saham dengan bobot tertentu yang dianggap paling optimal dan berusaha mempertahankan komposisi tersebut dengan transaksi jual beli yang tidak terlalu aktif.
Strategi investasi aktif adalah strategi dimana pengelola secara aktif melakukan transaksi jual beli saham atau dikenal juga dengan istilah Market Timing. Market Timing bagaikan pisau bermata dua. Jika diterapkan dengan benar, akan menghasilkan return yang tinggi, namun jika salah bisa membuat pengelola dana gigit jari.
Pengelolaan reksa dana merupakan gabungan dari strategi Buy and Hold dan Market Timing. Bobot penggunaan strategi di atas sangat tergantung kepada besarnya jumlah dana kelolaan. Umumnya semakin besar jumlah dana kelolaan, Manajer Investasi akan lebih menyukai strategi Buy and Hold dibandingkan Market Timing. Meski demikian, tidak jarang pula Manajer Investasi menggabungkan kedua konsep tersebut dengan komposisi menurut pertimbangan keahlian masing-masing.
Hal ini disebabkan karena jika AUMnya besar, saham yang bisa ditransaksikan juga semakin terbatas. Umumnya saham yang dipilih adalah saham perusahaan besar (blue chip) dan likuid (ditransaksikan dalam volume yang besar). Saham yang tidak likuid, meskipun bagus, harganya bisa anjlok tajam jika terjadi penjualan dalam jumlah besar, oleh karena itu dihindari oleh Manajer Investasi yang memiliki jumlah dana kelolaan yang besar.
Sampai disini, pernyataan bahwa reksa dana yang dana kelolaannya besar akan “kurang lincah” masih masuk akal. Bagaimana dengan prakteknya? Apakah reksa dana yang dana kelolaanya besar pasti akan kalah dengan reksa dana yang dana kelolaannya tidak terlalu besar? berapa dana kelolaan suatu reksa dana baru dikatakan besar? Bagaimana pula mendefinisikan “Lincah” atau “Tidak Lincah” itu sendiri?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami melakukan riset pada reksa dana saham di Indonesia. Data yang kami kumpulkan adalah data return bulanan reksa dana saham, return bulanan IHSG, dan data Jumlah Dana Kelolaan reksa dana per akhir bulan dari periode Januari 2004 – Juni 2010 yang diperoleh melalui www.infovesta.com.
Selanjutnya riset dilakukan dengan proses data sebagai berikut:
- Selisih return bulanan antara reksa dana saham dengan IHSG selama periode Januari 2004 – Juni 2010. Jika selisih returnnya positif, berarti pada bulan tersebut kinerja reksa dana saham lebih baik dibandingkan IHSG, sebaliknya juga ketika terjadi selisih return negatif, maka berarti kinerja reksa dana saham lebih jelek dibandingkan IHSG. Angka positif bukan berarti reksa dana untung, bisa saja terjadi skenario dimana return reksa dana -10% sementara return IHSG -15% sehingga selisih return bulanan adalah positif 5%.
- Mengumpulkan data jumlah dana kelolaan reksa dana per akhir bulan dan meletakkannya pada sumbu X (Horizontal) serta Selisih return bulanan sebagai sumbu Y (Vertikal)
- Dari data tersebut kemudian diproses lebih lanjut dengan menghitung range (selisih return maksimum dengan selisih return minimum) berdasarkan kelompok jumlah dana kelolaannya.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel Perbandingan Jumlah Dana Kelolaan dan Selisih Return Bulanan Reksa Dana Saham
Periode Januari 2004 – Juni 2010
Berdasarkan grafik dan tabel di atas, diperoleh 2 penemuan sebagai berikut :
- Semakin besar jumlah dana kelolaan, selisih return baik yang positif ataupun negatif semakin kecil. Artinya jika jumlah dana kelolaan semakin besar, berarti kinerjanya akan semakin mendekati IHSG. Sementara jika jumlah dana kelolaannya kecil, kinerja reksa dana saham bisa jauh lebih baik atau jauh lebih buruk dibandingkan IHSG
- Besarnya range (Selisih Return Positif – Selisih Return Negatif) semakin mengecil ketika jumlah dana kelolaan bertambah besar dan menjadi bawah 10% ketika jumlah dana kelolaan sudah berada di atas Rp 2 triliun.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, jika angka range (selisih antara return maksimum dengan minimum) adalah 10% dianggap sebagai cut off point yang membedakan antara reksa dana yang lincah dengan tidak lincah, maka bisa disimpulkan bahwa reksa dana yang memiliki dana kelolaan besar sehingga bisa didefinisikan sebagai reksa dana saham yang kurang lincah adalah reksa dana yang memiliki jumlah dana kelolaan di atas Rp 2 triliun. Di bawah angka tersebut, maka reksa dana saham masih dapat dikategorikan sebagai reksa dana yang lincah dengan memberikan kejutan return tinggi kepada investor strategi market timingnya. Meski demikian, dalam 1 – 2 kali kesempatan bisa dilihat pula setelah jumlah dana kelolaan reksa dana berada di atas Rp 2 triliun, masih bisa memberikan tingkat return yang signifikan meskipun jarang.
Jika hasil ini dipergunakan sebagai referensi bagi investor, maka bisa disimpulkan bahwa bagi investor yang menginginkan reksa dana saham yang stabil dalam arti memberikan kinerja yang kurang lebih sama atau sedikit lebih baik dibandingkan IHSG, dapat memilih reksa dana saham yang jumlah dana kelolaannya di atas Rp 2 triliun. Sementara bagi investor agresif yang menginginkan reksa dana saham yang mampu memberikan return jauh di atas IHSG maka disarankan untuk memilih reksa dana saham yang jumlah dana kelolaannya di bawah Rp 2 triliun. Perlu diingat, semakin tinggi potensi return, maka semakin besar pula potensi risikonya.
Angka di atas masih dapat berubah sesuai dengan perkembangan bursa saham. Dengan semakin banyaknya saham-saham perusahaan besar dan BUMN yang IPO, angka Rp 2 triliun tentu dapat meningkat lagi karena instrumen yang tersedia bagi Manajer Investasi juga semakin banyak. Dibandingkan dengan reksa dana di luar negeri yang dana kelolaannya mencapai miliaran dollar, angka Rp 2 triliun atau 200 juta dalam mata uang dollar masih dianggap sebagai reksa dana kelas menengah. Selamat berinvestasi.
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang.

Tinggalkan Balasan ke Fauzan Batalkan balasan