Kadang-kadang saya mendapat pertanyaan seperti ini:
- Menurut anda, kalau usia saya sudah memasuki masa pensiun, sebaiknya berapa persen dari dana saya yang diinvestasikan?
- Kalau profil risiko saya moderat apakah sebaiknya saya memiliki 50% (reksa dana) saham dan 50% obligasi?
- Dengan kondisi market yang demikian volatil, apakah sebaiknya alokasi aset investor disesuaikan dengan memperbanyak porsi reksa dana pasar uang?
Yang saya simpulkan dari pertanyaan di atas adalah bahwa ternyata Aset Alokasi masih menjadi perhatian daripada investor sebelum melakukan investasi. Dan untuk membuat aset alokasi tersebut, investor sering menghubungkannya dengan tahapan kehidupan yang dia alami (life cycle), profil risiko, atau terkadang situasi ekonomi yang sedang berlaku. Menjelang awal tahun, sering dipublikasikan juga di media massa, aset alokasi yang direkomendasikan untuk investor dengan berbagai profil risiko tertentu. Yang menjadi pertanyaan saya, bagaimanakah menerapkan aset alokasi tersebut jika kita juga melakukan investasi secara cost averaging atau lump sum?
Sebagai contoh, saat ini seorang investor sedang membuat perencanaan pensiun melalui investasi reksa dana. Berdasarkan asumsi-asumsi yang digunakan, dia harus menginvestasikan kurang lebih sekitar Rp 2 juta setiap bulan agar gaya hidupnya dapat dipertahankan pada masa pensiun nanti. Namun karena profil risikonya moderat, maka idealnya harus berinvestasi di reksa dana campuran atau memiliki aset alokasi yang berimbang antara reksa dana saham dan reksa dana pendapatan tetap.
Namun berdasarkan asumsi return yang moderat, maka setiap bulan setidaknya investor harus menyisihkan Rp 3 juta di reksa dana campuran atau gabungan antara Rp 1,5 juta pada masing-masing reksa dana saham dan reksa dana pendapatan tetap. Permasalahannya kemampuan dia hanya sebesar Rp 2 juta setiap bulan. Dalam konteks seperti ini apakah aset alokasi masih relavan?
Apakah sebaiknya investor berinvestasi sesuai dengan profil risikonya akan tetapi mengalami risiko tidak mencapai tujuan keuangan atau berinvestasi pada instrumen yang diluar profilnya, namun tujuan dia kemungkinan besar akan lebih bisa tercapai?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mendefinisikan terlebih dahulu apa itu aset alokasi. Aset Alokasi menurut Wikipedia didefinisikan sebagai berikut:
Asset allocation is an investment strategy that attempts to balance risk versus reward by adjusting the percentage of each asset in an investment portfolio according to the investor’s risk tolerance, goals and investment time frame
Berdasarkan definisi di atas, jelas bahwa Asset Allocation sendiri merupakan suatu strategi investasi. Artinya Asset Allocation, merupakan variasi lain dari strategi investasi yang kita kenal selama ini sebagaimana Strategi Investasi Lump Sum (Sekaligus di depan) dan Cost Averaging (Berkala / autodebet). Dan karena merupakan suatu strategi, maka ada kondisi yang cocok untuk menerapkan strategi tersebut, ada pula yang tidak. Seperti apakah kondisi yang cocok untuk penerapan strategi investasi di atas. Saya akan membahasnya satu per satu.
Strategi Cost Averaging dan Strategi Lump Sum
Strategi Cost Averaging dan Lump Sum adalah strategi investasi yang sangat dikenal oleh investor di Indonesia karena prakteknya sangat mudah. Untuk investor yang punya dana idle (menganggur) dan punya jangka waktu investasi yang masih panjang, daripada pusing2, langsung saja diinvestasikan sekaligus (lump sum) sambil berharap akan menghasilkan di masa mendatang. Bagi yang dana idlenya tidak banyak atau tidak ada sama sekali, namun setiap bulan mampu menyisihkan persentase dari gaji, maka setiap bulan secara rutin melakukan investasi (cost averaging).
Meski demikian, ada juga investor yang punya pandangan lain. Misalnya walaupun punya dana idle dalam jumlah besar, namun karena rajin (atau terlalu banyak) membaca koran dan mengetahui kondisi makro ekonomi, maka investasinya tidak dilakukan secara sekaligus tapi bertahap sambil mengawasi situasi pasar. Tidak jarang, akhirnya investasi tidak jadi dilakukan karena terlalu banyak berita kurang baik dan baru ikut ketika harga sudah naik tinggi.
Ada juga investor yang sumber utama dana investasi adalah gaji, namun memilih untuk memasukkan dananya sekaligus setelah dikumpulkan dalam jangka waktu tertentu. Alasannya kurang lebih sama, mencari timing yang tepat untuk berinvestasi. Tidak jarang juga, akhirnya timing yang dipilih kurang tepat, dan mengalami kerugian cukup besar dalam jangka waktu pendek pada saat harga turun.
Di sini, saya tidak ingin membahas tentang market timing, sebab saya sendiri juga tidak yakin bisa memprediksi pasar dengan tepat. Namun yang ingin saya tekankan adalah perilaku investornya. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang investasi memang merupakan hal yang baik. Sesuai dengan prinsip dasar investasi reksa dana yaitu Pahami, Nikmati. Pahami risikonya, kemudian baru menikmati hasil keuntungannya.
Namun jangan dilupakan juga bahwa prinsip investasi reksa dana adalah mempercayakan kepada profesional yang dianggap lebih mampu daripada melakukan pengelolaan sendiri. Jika kita terlalu banyak mengintervensi pengelolaan dengan cara keluar masuk terlalu sering atau menunda pembelian sambil mencari timing yang tepat yang akhirnya ga jadi berinvestasi, menurut saya juga sudah agak keluar dari prinsip dasar reksa dana. Dengan mentalitas dan perilaku tersebut, investor lebih cocok berinvestasi pada saham langsung dan bukannya reksa dana.
Dengan perilaku seperti di atas, investor juga terkena pada risiko baru yaitu tidak tercapai tujuan keuangan karena menunda investasi. Namun sebagai seorang investor, saya sendiri juga memahami bahwa Buy Low Sell High tidak hanya merupakan suatu strategi investasi, tapi juga kepuasan pribadi apabila kita mampu benar-benar melakukannya. Apalagi di zaman media sosial seperti sekarang, apabila kita berhasil beli pada level terendah dan jual pada titik tertinggi sebelum crash, hal tersebut bisa dibanggakan di twitter atau facebook. Lebih kreatif lagi, orang mendokumentasikan caranya tersebut kemudian menjualnya dalam bentuk seminar / konsultasi dengan profit jauh lebih besar daripada hasil investasinya sendiri.
Bagi investor yang tipenya seperti saya, saking banyaknya pekerjaan sampai2 tidak sempat update blog, meeting kesana kemari, keluar kota dan sebagian besar hari kerja dihabiskan di pesawat bandara, kendaraan dan ruang rapat, bisa tetap setia dengan salah satu strategi. Entah itu lump sum atau cost averaging sesuai karakternya. Kalau saya, karena karyawan, maka yang pilihannya adalah cost averaging. Pokoknya kalau sudah yakin dengan reksa dana pilihan, tinggal buat kontrak autodebet. Fokusnya cukup bagaimana saldo bulan depan cukup sebelum jatuh tempo pembayaran saja.
Tapi bagaimana dengan orang yang tidak seperti saya, dimana sebagai karyawan ternyata jam kerja tidak terlalu padat sehingga sempat melakukan analisa pasar di waktu senggang, atau pengusaha yang usahanya sudah berkembang baik sehingga punya waktu luang untuk melakukan analisa? Menurut saya, anda tetap dapat melakukan strategi lump sum atau averaging tapi tetap memenuhi hasrat untuk buy low sell high. Caranya:
1. Buat tujuan keunangan dengan prinsip SMART. Sebagai contoh: ingin memiliki uang untuk membayar DP Rumah senilai Rp 500 juta 10 tahun yang akan datang.
2. Dengan asumsi return 20% maka kebutuhan akan besaran investasi yang dibutuhkan untuk melakukan strategi lump sum atau cost averaging bisa dihitung melalui fasilita kalkulator finansial contohnya yang tersedia di website www.panin-am.co.id ini.
Dengan asumsi reksa dana bisa menghasilkan 20% per tahun dan dana yang anda butuhkan adalah Rp 500 juta tanpa adanya inflasi, maka dengan strategi lump sum, dana investasi yang dibutuhkan adalah sekitar Rp 81 juta. Sementara dengan cost averaging adalah sebesar Rp 1,45 juta per bulan atau Rp 16 juta per tahun.
3. Melakukan eksekusi. Apabila dana anda mencukupi, anda bisa melakukan investasi lump sum secara berkala. Syaratnya, meski dibagi menjadi beberapa kali investasi, dana tersebut sudah harus full invested di akhir tahun pertama dan return di tahun pertama karena aksi market timing tersebut harus lebih tinggi dari 20% untuk memastikan agar tingkat returnnya tercapai. Atau dengan tetap melakukan investasi sekaligus di depan, tapi ketika keuntungan sudah mencapai 20%, maka keuntungan tersebut ditarik dan disimpan di deposito yang aman.
Bagi yang melakukan cost averaging karena keterbatasan dana dan tidak mau menggunakan fasilitas autodebet, maka bisa melakukannya dengan cara melakukan pembelian secara berdasarkan timing. Namun apapun pertimbangan timing yang dilakukan, perlu diingat bahwa setiap tahun setidaknya di harus berinvestasi Rp 16 juta. Artinya Rp 16 juta tersebut bisa dibagi dalam beberapa termin atau sekaligus sesuai timing investasi, tapi total investasi dalam 1 tahun harus minimal Rp 16 juta.
Jadi, Inti daripada strategi Lump Sum dan Cost Averaging adalah KONSISTENSI untuk mencapai tujuan keuangan. Strategi ini cocok untuk investor yang sudah ingin mencapai sesuatu tapi dananya tidak mencukupi. Jika anda bingung dengan tujuan investasi apa saja, maka mulailah dengan membuat beberapa perencanaan seperti Pensiun, Pendidikan Anak, Perumahan, dan Liburan.
Strategi Asset Allocation
Bagaimana kasusnya jika anda adalah investor yang sebagian besar tujuan keuangannya kurang lebih sudah tercapai? Sehingga yang dibutuhkan itu adalah KENYAMANAN dibandingkan konsistensi? Untuk investor tipe seperti ini, menurut saya Asset Allocation adalah strategi yang cocok. Sesuai dengan definisi wikipedia di atas, Strategi Aset Alokasi adalah strategi mengatur return dan risiko portofolio investasi dengan cara mengubah persentase investasi pada setiap instrumen yang disesuaikan dengan tujuan, profil risiko dan jangka waktu investasi.
Pada prakteknya, penjualan reksa dana di negara maju sudah dilakukan dengan cara ini. Para penjual reksa dana, baik itu agen dari perbankan, financial planner dan lain-lain dalam memasarkan reksa dana, biasanya yang ditonjolkan sudah bukan fitur dari suatu produk, apakah dia bintang 5, bintang 7, terbaik dari sisi risk and return, tapi dengan menganalisa portofolio anda terlebih dahulu kemudian mencari apakah aset alokasi anda terdiversifikasi dengan cukup baik baru kemudian menawarkan produk yang bisa membuat aset alokasi anda lebih baik atau lebih sesuai untuk profil risiko anda.
Ada beberapa konsep yang dipakai, seperti alokasi pada saham seharusnya 110 – usia anda. Misalkan usia anda 40, maka alokasi anda di saham seharusnya 70%. Ada juga berdasarkan profil risiko, dimana jika profilnya moderat, maka komposisi saham dan obligasi adalah 50 : 50. Yang lebih canggih, umumnya investasi saham juga dibagi lagi ke saham negara maju, saham negara berkembang, saham sektor tertentu. Demikian pula dengan obligasi.
Secara naluriah, manusia memang akan merasa lebih nyaman jika membagi asetnya ke dalam beberapa jenis tertentu. Logikanya jika yang satu hilang atau rugi maka yang lainnya masih ada. Naluri seperti ini kurang relevan apabila dengan membagi beberapa aset justru membuat anda tidak bisa mencapai tujuan keuangan apabila kemampuan finansial terbatas seperti deskripsi saya pada awal artikel.
Oleh karena itu, strategi asset allocation ini relatif lebih cocok jika diterapkan pada investor yang sudah masuk kategori relatif mapan. Jika anda masih sedang berjuang untuk menuju kemapanan, strategi investasi Asset Allocation memang sesuai dengan teori perencanaan keuangan tapi tidak praktis dan kurang realistis dalam kehidupan sehari-hari. Dan sudah jelas akan semakin menjauhkan anda dari tujuan keuangan yang ingin kita capai. Akan tetapi jika investor sudah berada dalam kategori mapan, sehingga tujuannya lebih kepada “Rasa Nyaman” dalam berinvestasi, maka Asset Alokasi adalah strategi yang bisa menjawab kebutuhan kita.
Definisi Mapan, menurut saya adalah sudah memiliki dana darurat, rumah lunas, pensiun aman, dan mengutip Financial Planner Eko Endarto minimal aset senilai 1 tahun gaji x 10% x usia. Ketika berada dalam tahapan ini, barulah kita bicara tentang aset alokasi. Jika tidak, bisa fokus pada Cost Averaging atau Lump sum dulu.
Demikian artikel ini semoga bermanfaat untuk anda semua.
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.
Sumber Data dan Gambar
- Istockphoto.com
- http://www.panin-am.co.id


Tinggalkan Balasan ke Rudiyanto Batalkan balasan