Dalam investasi dikenal strategi yang disebut dengan Asset Allocation, atau secara sederhana membagi investasi ke beberapa jenis investasi agar memperoleh portofolio investasi yang sesuai dengan profil risikonya. Sebagai contoh, investor dengan profil risiko yang agresif akan memiliki alokasi yang lebih besar pada saham atau reksa dana saham, sebaliknya investor yang memiliki profil risiko konservatif akan mengalokasikan uangnya lebih banyak pada obligasi atau reksa dana pendapatan tetap.
Terus terang, menurut saya strategi di atas bukanlah strategi investasi yang relevan untuk semua orang. Argumennya, dalam investasi setiap orang memiliki tujuan. Katakanlah tujuannya untuk pensiun dan waktunya masih sangat lama lagi, apakah perlu kita menyisihkan sekian puluh persen dari dana kelolaan ke instrumen yang konservatif seperti deposito dan reksa dana pendapatan tetap? Sebaliknya ketika tujuan keuangannya sudah sangat dekat waktu dana dibutuhkan yaitu tahun depan, apakah karena agresif kita harus menempatkan dana di reksa dana saham?
Menurut saya tidak, sebaiknya memang investasi reksa dana disesuaikan dengan tujuan keuangan. Reksa dana jangka pendek untuk tujuan jangka pendek, reksa dana jangka panjang untuk tujuan jangka panjang. Bagaimana dengan risiko? Semakin lama periode investasi, maka risiko fluktuasi pada reksa dana saham akan semakin dapat diminimalkan. Tidak menjamin pasti untung memang, tapi kemungkinan untuk mengalami kerugian semakin kecil. Jadi, cara untuk mengurangi risiko adalah dengan berinvestasi jangka panjang.
Konsep dan strategi ini cocok jika anda masih berada dalam tahapan Wealth Accumulation. Dalam bahasa perencanaan keuangan, tahapan ini adalah untuk orang-orang yang masih dalam tahap awal karir / usaha sehingga belum memiliki penghasilan yang mapan. Pada tahap ini, investasi dilakukan dengan berusaha menyisihkan sebagian dari penghasilannya setiap bulan. Ada juga yang dilakukan dengan cara mengurangi gaya hidup konsumtif.
Apakah strategi asset allocation tersebut memang tidak aplikatif ? Tentu tidak, strategi ini tetap bisa diterapkan bahkan jika anda membaca buku-buku berkaitan dengan investasi di luar negeri ataupun menggunakan aplikasi finansialnya, semuanya adalah tentang bagaimana mengalokasikan investasi dengan baik. Dengan catatan, bahwa cara ini baru cocok untuk anda berada dalam tahapan Wealth Preservation.
Dalam bahasa perencanaan keuangan, Wealth Preservation adalah tahapan bagaimana investor mempertahankan dan mengembangkan nilai aset yang dimilikinya. Tujuan keuangan seperti liburan ke luar negeri, pendidikan anak, dan bahkan pensiun mungkin sudah bukan menjadi persoalan bagi orang-orang yang berada dalam tahapan ini karena sudah memiliki sejumlah aset atau pendapatan yang nilainya signifikan. Sebagian dari anda mengenalnya dengan istilah High Net Worth Individual (HNWI).
Pertanyaannya, bagaimana cara melakukan investasi reksa dana dengan strategi Asset Allocation ?
Definisi High Net Worth Individual (HNWI)
Sebelum membahas lebih lanjut, sekali lagi saya ingin mempertegas bahwa strategi ini tidak cocok untuk semua orang meskipun semua orang dapat melakukan dalam skala yang lebih kecil. Strategi ini baru cocok jika dilakukan oleh investor yang sudah masuk dalam kalangan Asset Preservation atau untuk mudahnya saya sebut High Net Worth Individual (HNWI). Nah, pertanyaannya bagaimana mengetahui seorang investor sudah masuk kategori ini atau belum?
HNWI dalam perbankan juga punya nama sendiri. Ada yang menyebutnya Nasabah Prioritas, Soliter, Emerald, Signature, dan lain-lain. Ketentuannya juga beda-beda, ada yang menyatakan minimum punya saldo Rp 500 juta, ada yang Rp 1 M, ada juga yang lebih. Dalam peraturan pasar modal, ada juga istilah Investor Profesional, dimana definisinya adalah investor yang punya kemampuan memahami risiko dan punya investasi setidaknya Rp 5 M.
Di Singapore misalnya, ada juga istilah Accredited Investor dimana untuk bisa menjadi investor dalam kategori ini adalah memiliki penghasilan setidaknya SGD 300.000 (sekitar Rp 3 M) per tahun dalam 1 tahun terakhir atau memiliki aset (di luar properti tempat tinggal) di atas SGD 2 juta (sekitar Rp 20 M).
Di Amerika Serikat, juga ada kriteria tersendiri. Beberapa di antaranya adalah memiliki penghasilan pribadi minimal USD 200.000 (sekitar Rp 2,6 M) atau penghasilan gabungan suami istri USD 300.000 (sekitar Rp 3,9 M) dalam 2 tahun terakhir atau memiliki aset (di luar properti tempat tinggal) di atas USD 1 juta (sekitar Rp 13 M).
Kalau menurut saya, kategori HNWI adalah orang yang semua pengeluaran sudah terpenuhi dari imbal hasil instrumen yang paling konservatif yaitu deposito. Sebagai contoh, katakanlah seorang HWNI memiliki gaya hidup Rp 25 juta per bulan atau Rp 300 juta per tahun. Dengan asumsi bunga deposito net 5% per tahun, maka dengan menempatkan dana Rp 6 M maka semua kebutuhannya sudah terpenuhi dari bunga deposito saja. Jika bunga deposito yang diperoleh lebih tinggi maka Rp 5 M saja sudah cukup.
Buat anda yang memiliki bisnis dengan penghasilan tetap minimal Rp 25 juta per bulan tanpa perlu keterlibatan yang terlalu aktif dalam manajemen bisnis atau terlibat tapi cukup minimal saja menurut saya juga bisa dikategorikan sebagai HNWI. Prinsipnya, anda sudah financial freedom dengan kondisi yang sudah ada sekarang, tinggal bagaimana kelebihan dana yang ada dikembangkan.
Investable Asset
Investable Asset adalah nilai aset yang bisa diinvestasikan. Sebagai contoh, dengan asumsi HWNI adalah Rp 5 M, ketika seseorang memiliki dana kas sebesar Rp 8 M, maka sebaiknya hanya Rp 3 M yang diinvestasikan. Sisanya bisa ditempatkan pada deposito atau bisnis yang hasilnya bisa menutupi semua kebutuhan bulanannya. Dana Rp 3 M ini saya sebut dengan istilah Investable Asset. Dalam konteks strategi aset alokasi, berarti total dana yang saya hitung adalah Rp 3 M saja. Jadi misalkan ada rekomendasi sebanyak 50% ditempatkan pada reksa dana saham, maka yang ditempatkan adalah Rp 1,5 M (Rp 3 M x 50%, bukan dari Rp 8 M).
Jika konteksnya anda memiliki bisnis, maka dana yang digunakan adalah dana di luar operasional dan rencana ekspansi bisnis. Benar-benar dana yang berasal dari keuntungan ditahan dan belum ada peruntukkannya untuk operasional perusahaan.
Strategi Investasi Aset Alokasi
Dalam melakukan strategi aset alokasi, ada 3 hal yang harus dipahami oleh investor
Pertama : Tujuan
Investor perlu memahami bahwa tujuan dari strategi Aset Alokasi untuk mengurangi risiko. Memaksimalkan return bukanlah tujuan utama dari strategi ini. Mengurangi risiko bukan berarti tidak akan rugi, hanya saja jika terjadi kerugian maka nilainya akan lebih kecil dibandingkan pasar. Tujuan lain dari strategi ini adalah untuk mencocokan antara jenis portofolio reksa dana dengan profil risiko.
Kedua : Asset Class dan Historical Return
Aset alokasi berarti kita membagi dana investasi ke dalam beberapa jenis aset sekaligus. Untuk itu, kita perlu mengetahui jenis aset yang ada dan kinerja historisnya. Dengan demikian kita bisa mengetahui bagaimana kinerja aset tersebut ketika kondisi pasar sedang baik dan sebaliknya. Jika anda membaca buku-buku literatur di luar negeri, yang namanya kelas aset sangat beragam. Mulai dari Saham Value, Saham Growth, Saham International, Saham Big Cap, Saham Small Cap, Saham Medium Cap, Emas, Komoditas, Obligasi Korporasi, Obligasi Pemerintah, Obligasi Sampah (Junk Bond), Barang Antik, Properti, REITS, hingga Valas dan produk derivatif.
Asset Class yang beragam ini dimungkinkan karena di luar negeri, terutama di Amerika Serikat produk ETF dan reksa dana indeks sangat berkembang. Berbeda dengan ETF dan reksa dana indeks di Indonesia yang mengikuti indeks saham dan obligasi saja, ETF di AS sangat beragam mencakup komoditas, properti, dan derivatif. Likuiditasnya juga tinggi sehingga produk ini amat berkembang.
Untuk Indonesia sendiri, menurut saya tidak bisa terlalu banyak seperti di luar negeri. Sebab jika dipaksakan, hasilnya akan menjadi tidak praktis. Artinya mau diterapkan juga tidak bisa karena produknya tidak ada. Untuk itu, saya hanya akan menggunakan produk yang bisa diperoleh dengan mudah orang kebanyakan investor di Indonesia. Ada 4 Asset Class yang saya gunakan yaitu :
- Deposito / Reksa Dana Pasar Uang
- Reksa Dana Pendapatan Tetap
- Reksa Dana Campuran
- Reksa Dana Saham
Penggunaan data reksa dana menurut saya sudah cukup untuk merepresentasikan saham dan obligasi. Sementara untuk reksa dana pasar uang saya menggunakan data deposito karena data indeks reksa dana pasar uang baru tersedia 2 tahun terakhir. Berbeda dengan indeks reksa dana lainnya yang sudah tersedia sejak tahun 2001. Data kinerja historis dan perbandingannya dengan IHSG sejak tahun 2001 – 2014 adalah sebagai berikut :
Sumber : Infovesta.com dan Bank Indonesia, diolah dari data Indeks Reksa Dana yang dihitung dari rata-rata reksa dana sejenis. Data deposito diolah dari rata-rata Suku Bunga BI Rate setelah pajak
Dari tabel di atas, bisa dilihat bahwa Asset Class dengan jenis Deposito adalah jenis yang tidak pernah rugi dalam 14 tahun terakhir. Sementara frekuensi kerugian untuk Reksa Dana Pendapatan tetap 2 kali, Campuran 2 kali dan saham 3 kali dalam periode yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa jenis reksa dana pendapatan tetap dengan investasi di obligasi sekalipun tetap berpotensi rugi. Bahkan pada tahun 2005 kerugian di reksa dana pendapatan tetap terjadi ketika harga saham sedang naik. Pada tahun 2013 juga, ternyata penurunan di reksa dana pendapatan tetap lebih besar dibandingkan reksa dana saham.
Hal di atas menunjukkan bahwa reksa dana pendapatan tetap juga memiliki risiko dan bahkan untuk periode tertentu bisa lebih besar dibandingkan jenis saham. Selain itu, tabel di atas juga menunjukakn fakta bahwa pergerakan harga saham dan obligasi adalah tidak berlawanan. Tidak selalu harga obligasi naik ketika harga saham turun dan sebaliknya. Jadi ketika berinvestasi pada kedua Asset Class tersebut, investor harus sadar bahwa kedua investasinya tetap bisa turun pada saat yang bersamaan.
Ketiga : Komposisi Aset
Yang dimaksud dengan komposisi aset adalah sekian % ke deposito, sekian % ke reksa dana pendapatan tetap, campuran dan saham sehingga totalnya 100%. Untuk menentukan berapa %, secara akademis bukan perkara mudah. Karena sudah ada teori Efficient Frontier, Single Index Model dan berbagai teori lainnya untuk menentukan komposisi yang paling optimal. Yang dimaksud dengan optimal adalah pada saat yang sama memaksimalkan return dan sekaligus juga meminimalkan risiko.
Sepanjang karier, pada waktu masih menjadi analis saya telah sering melakukan simulasi terhadap teori-teori tersebut. Menurut saya ada beberapa kelemahan mendasar dari teori di atas antara lain seperti data historis yang tidak tersedia dalam jangka panjang, alokasi akan semakin besar pada reksa dana yang kinerja historisnya bagus padahal tidak ada jaminan kinerja tersebut bisa dipertahankan, dan tidak bisa dikombinasikan antara jenis asset class yang berbeda karena akan membuat sebagian besar atau hampir semua alokasi beralih ke jenis yang konservatif.
Untuk itu, saya membuat jenis alokasi yang lebih sederhana yaitu berdasarkan profil risiko. Misalkan profil risiko anda adalah agresif, maka 70% investable asset anda ditempatkan di reksa dana saham, sisanya dibagi rata di deposito / reksa dana pasar uang, reksa dana campuran dan reksa dana pendapatan tetap yaitu masing-masing 10%. Demikian pula jika profil ada konservatif, maka sebanyak 70% di reksa dana pendapatan tetap dan sisanya dibagi rata. Dari 4 profil risiko, komposisi asetnya adalah sebagai berikut :
Jadi strategi Asset Allocation ini sebenarnya cukup sederhana, tempatkan 70% pada jenis aset sesuai profil risiko kemudian sisanya dibagi rata di 3 jenis asset class lainnya. Apabila anda merasa 70% terlalu besar, maka menurut saya antara 50 – 70% merupakan variasi yang wajar. Tidak ada dasar teori ataupun studi empiris yang mendasari ketentuan ini, hanya berdasarkan kepraktisan dan insting saja.
Dalam buku Intelligent Investor yang baru saya baca beberapa minggu ini (dan masih belum selesai), Benjamin Graham guru dari Warren Buffett juga menyarankan bahwa investable asset sebaiknya bisa dibagi 50% di saham dan 50% lagi di obligasi pemerintah atau obligasi korporasi yang kualitas hutangnya bagus. Meski dalam buku tersebut sangat banyak angka-angka historis yang menunjukkan mengapa investor harus melakukan asset alokasi, tapi sepengetahuan saya tidak ada studi empiris yang menunjukkan komposisi tersebut merupakan yang terbaik.
Asumsi yang digunakan adalah dengan melakukan hal tersebut, investor terhindar dari risiko ketika pasar saham sedang turun dan memiliki tambahan uang dari kupon obligasi untuk membeli saham ketika harganya sedang turun. Selain itu, dengan adanya pendapatan dari kupon obligasi, investor dapat menggunakan uang tersebut membeli di harga rendah ketika harga saham sedang turun.
Simulasi Kinerja Historis Strategi Asset Alokasi
Sebagaimana dibahas pada bagian awal, dimana tujuan untuk dari strategi aset alokasi adalah untuk meminimalkan tingkat risiko, pertanyaannya seberapa efektif risiko investasi dapat diminimalkan? Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut, saya melakukan simulasi kinerja historis dari periode 2001 – 2014. Hasilnya adalah sebagai berikut :
Cara membaca tabel di atas adalah sebagai berikut : Misalkan anda adalah investor dengan profil risiko sangat konservatif, maka pada tahun 2001 anda akan berinvestasi dengan komposisi 70% pada deposito / reksa dana pasar uang dan masing-masing sebanyak 10% pada reksa dana pendapatan tetap, campuran dan saham. Pada tahun tersebut, tingkat return yang anda peroleh adalah 7.54%. Pada saat yang sama, pasar atau IHSG mengalami kerugian -5.83%. Pada akhir tahun, tentunya komposisi akan berubah dimana tadinya deposito yang porsinya 70% akan meningkat karena mendapatkan return 10.60% (lihat data return historis asset class) sedangkan reksa dana saham yang porsinya 10% akan berkurang karena mengalami kerugian.
Kemudian pada tahun 2002, investor melakukan rebalancing dengan mengatur ulang portofolionya sedemikian rupa sehingga komposisinya kembali ke 70 – 10 – 10 -10 untuk deposito, reksa dana pendapatan tetap, campuran dan saham. Dengan komposisi tersebut return pada akhir tahun adalah 12.30%. Demikian dan seterusnya hingga 2014. Hal ini berlaku juga untuk strategi aset alokasi dengan profil risiko konservatif (70% RD Pendapatan Tetap), moderat (70% RD Campuran) dan agresif (70% RD Saham). Rebalancing dilakukan setiap akhir tahun. Perhitungan di atas juga mengasumsikan biaya transaksi tidak ada dan pengalihan (switching) dapat dilakukan pada hari yang sama.
Dari data di atas, sekali lagi membuktikan bahwa tidak ada strategi yang ada jaminan untuk tidak mengalami kerugian. Portofolio dengan profil sangat konservatif sekalipun meski sudah menempatkan 70% dana di deposito tetap rugi di tahun 2008. Hanya saja frekuensi kerugian dibandingkan IHSG (Pasar) berkurang dari 3 kali menjadi 2 kali, begitu pula dengan persentase kerugiannya. Untuk melihat efektivitas strategi aset alokasi dalam mengurangi tingkat risiko mari kita lihat tabel di bawah ini
Secara persentase, kerugian terbesar yang pernah dialami oleh pasar adalah -50.64% dalam 1 tahun, sementara dengan strategi aset alokasi kerugian terbesar yang pernah dialami berkisar dari -4% hingga -40% dalam 1 tahun. Namun seiring dengan turunnya risiko, begitu pula dengan tingkat return. Return tertinggi pasar dalam 1 tahun yang pernah terjadi adalah 86%. Sementara return tertinggi untuk strategi aset alokasi berkisar antara 19% – 74%.
Secara compounding, historical return untuk profil sangat konservatif adalah 8.6% per tahun, konservatif 9.8%, moderat 12.9% dan agresif 15.5%. Return pasar (IHSG) sendiri adalah 19.8% untuk periode yang sama. Meski kinerja masa lalu bukan merupakan jaminan akan terulang pada masa yang akan datang, paling tidak angka ini secara bisa memberikan indikasi kira-kira berapa return investasi yang wajar untuk diharapkan dalam jangka panjang.
Jika return compounding tersebut diterjemahkan dalam bahasa yang lebih sederhana, maka jika anda melakukan investasi sebesar Rp 1 juta pada 31 Desember 2000 dan menjualnya pada 31 Desember 2014 sesuai dengan strategi di atas, maka hasilnya adalah sebagai berikut :
Return pasar yang lebih tinggi, bahkan jika dibandingkan portofolio yang agresif sekalipun tidak semata disebabkan karena potensi return yang turun karena dana ditempatkan pada deposito, reksa dana pendapatan tetap dan reksa dana campuran yang returnnya lebih rendah. Akan tetapi juga karena rata-rata reksa dana saham yang diambil dari Infovesta Equity Fund Index secara historis memang kalah dibandingkan IHSG.
Sama seperti reksa dana saham, baik untuk reksa dana pendapatan dan reksa dana campuran juga menggunakan angka rata-rata dari semua reksa dana sejenis yang ada di pasaran. “Rata-rata” berarti ada reksa dana yang di bawah rata-rata dan ada yang di atasnya. Apabila investor bisa menemukan reksa dana yang secara konsisten membukukan kinerja di atas rata-rata maka berpotensi bisa mendapatkan hasil yang lebih baik.
Untuk deposito juga sama, angka yang digunakan adalah rata-rata BI Rate setelah dipotong pajak 20%. Apabila anda bisa menemukan bank yang bersedia menawarkan tingkat bunga di atas itu, maka hasil yang anda peroleh juga lebih baik.
Kesimpulan
Untuk strategi aset alokasi, kesimpulannya sebagai berikut :
- Strategi ini hanya cocok untuk investor yang dikategorikan sebagai High Net Worth Individual (HNWI)
- Definisi HNWI menurut saya adalah minimal punya dana Rp 5 M yang ditempatkan di deposito atau memiliki bisnis yang dikelola secara pasif dan hasil keuntungan bersihnya dapat memenuhi kebutuhan setiap bulan.
- Investable Asset adalah Dana di luar Rp 5 M atau dana lain yang tidak mengganggu operasional bisnis.
- Tujuan dari strategi aset alokasi adalah untuk mengurangi risiko
- Asset Class yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan strategi aset alokasi adalah Deposito / reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap, reksa dana campuran dan reksa dana saham
- Strategi aset alokasi didasarkan pada profil risiko yang terdiri dari 4 yaitu : Sangat Konservatif, Konservatif, Moderat dan Agresif
- Sebanyak 50% – 70% ditempatkan pada instrumen investasi yang sesuai pada profil risiko, sisanya dibagi rata-rata ke Asset Class lainnya. Contoh untuk profil Moderat sebanyak 70% di reksa dana campuran dan sisanya 10% pada Deposito, Pendapatan Tetap dan Saham
- Berdasarkan simulasi historis, kinerja jangka panjang untuk strategi aset alokasi adalah berkisar dari 8.6% hingga 15.5%. Angka ini bisa dijadikan sebagai ekspektasi return yang wajar dalam jangka panjang dengan menerapkan strategi tersebut.
Demikian artikel kali ini, semoga bermanfaat bagi anda.
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Semua data dan hasil pengolahan data diambil dari sumber yang dianggap terpercaya dan diolah dengan usaha terbaik. Meski demikian, penulis tidak menjamin kebenaran sumber data. Data dan hasil pengolahan data dapat berubah sewaktu-waktu tanpa adanya pemberitahuan. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.
Facebook : https://www.facebook.com/rudiyanto.blog
Twitter : https://twitter.com/Rudiyanto_zh
Sumber Gambar : Istockphoto
ini para hadirin puasa komentar atau emang tulisan pak judiyanto menunjukkan penurunan/elevasi yang signifikansinya nyata?
kok saya lihat zonder pertanyaan atau komentar dari para punggawa kontan.
LikeLike
Investor dalam tahap Wealth Accumulation yang memiliki tujuan keuangan beragam, harus memprioritaskan tujuan keangan nya ? Agar dapat membeli sebuah instrumen investasi yang disesuaikan dengan tujuan keuangan ?
LikeLike
halo pak, saya erni sedang mngerjakan tugas akhir saya mngenai reksa dana, saya sedang mencari data mngenai portofolio efek yang dikelola olhe reksa dana, saya sudah mencari di fund fact setiap reksa dana. Namun hanya beberapa yang memberikan informasi mengenai porofolio efek nya…
saya mau tanya pak, selain di fund fact dan propektus kita tahu portofolio efek reksa dana darimana lagi ya pak ?
LikeLike
@erni
Selamat Malam Ibu Erni,
Sumbernya memang hanya ada disana saja.
Semoga bermanfaat.
LikeLike
Salam pak Rudi,,
Ada beberapa pertanyaan dari saya, mohon kalau berkenan bisa dibantu jawab:
1. Apakah MI untuk produk RD saham harus selalu dalam posisi memegang saham 100% (tidak boleh dalam posisi cash in hand)?
2. Apakah portofolio RD saham dari MI memang tidak bisa kita ketahui secara detail sebagai customer? Karena setahu saya di prospektus hanya ada 5 saham terbesar itupun tidak disebutkan detail berapa persentase nya, dan juga sangat jarang di update
Jika tidak dibuka untuk umum bagaimana kita bisa mengetahui kinerja MI tersebut apakah jujur atau tidak
Terimakasih atas jawabannya
Regards,
LikeLike
@erwin s
Salam Pak Erwin,
Terkait pertanyaan anda :
1. Untuk posisi saham sesuai dengan prospektus adalah minimum 80% atau cash maksimal 20%. Apakah bisa lebih dari 20%? Bisa jadi, misalkan ada pembelian dalam jumlah besar sehingga ada cash dalam jumlah besar yang masuk. Biasanya dalam beberapa hari, manajer investasi akan melakukan pembelian supaya sesuai dengan ketentuan. Sebab jika tidak, berarti melanggar kebijakan investasi dari prospektus. Bank kustodian akan mengirimkan peringatan kepada manajer investasi yang jika tidak ditanggapi maka akan diteruskan ke OJK.
2. Untuk portofolio investasi memang bukan hak nasabah. Tapi manajer investasi biasanya mencantumkan informasi mengenai portofolio dalam fund fact sheet yang diterbitkan secara bulanan. Tidak ada ketentuan baku sehingga tidak harus tercantum berapa persentasenya, semuanya kembali kebijakan dan keterbukaan masing-masing perusahaan. Saya tidak tahu anda berinvestasi di mana, tapi untuk reksa dana saham Panin Asset Management biasanya diinformasikan hingga 10 saham terbesar.
Tapi sekali lagi, informasi ini tidak bersifat wajib dan bukan hak investor. Untuk kinerja, dipublikasikan atau tidak perhitungan NAB/Up dilakukan oleh bank kustodian sehingga tidak mungkin bagi manajer investasi untuk memalsukan kinerjanya.
Semoga bermanfaat.
LikeLike
@erwin s
@erwin s
Salam,
Izinkan saya sedikit membantu menjawab pertanyaan nomor 2.
Sejauh yang saya ketahui, pencantuman daftar 5 saham dengan komposisi terbesar pada reksa dana saham ada di Fund Fact Sheet yang dipublikasikan tiap bulan oleh MI. Karena memang fungsinya sebagai ringkasan kinerja terkini reksa dana, wajar jika hanya ditampilkan 5 saham saja.
Jika Anda ingin mengetahui secara lebih detail komposisi portofolionya ditempatkan di saham perusahaan mana saja, berapa persen penempatan pada masing-masing perusahaan, berapa nilai nominal transaksinya, bahkan berapa banyak lembar saham yang diperoleh, Anda dapat menemukan informasi tersebut dalam prospektus reksa dana saham yang bersangkutan di bagian laporan keuangan.
Semoga membantu.
LikeLike