Selama ini metode Sharpe Ratio merupakan metode utama yang digunakan sebagai analisa kinerja reksa dana. Dari rating Infovesta untuk reksa dana di Indonesia, Penghargaan Reksa Dana Terbaik Tahunan yang versi Majalah Investor – Infovesta, Indonesia Mutual Fund Award versi Bloomberg, Reksa Dana Jagoan versi Kontan – Infovesta, hingga rating Morningstar untuk reksa dana di seluruh dunia. Ada yang hanya menggunakan metode Sharpe Ratio saja, ada juga yang mengkombinasikan dengan beberapa indikator lainnya.
Metode dan interprestasi Sharpe Ratio ini juga cukup sederhana, Sharpe Ratio = (Return Reksa Dana – Risk Free) / Standar Deviasi Reksa Dana. Jika nilai Sharpe Ratio adalah 1.5, hal ini berarti untuk setiap 1% risiko yang ditanggung, maka reksa dana tersebut memberikan excess return sebesar 1.5%. Penggunaan Sharpe Ratio biasanya adalah pada perbandingan antar kinerja reksa dana. Misalkan Reksa Dana A memiliki Sharpe Ratio 1.5 dan Reksa Dana B 2, maka Reksa Dana B dikatakan lebih baik daripada reksa dana A karena memberikan excess return yang lebih tinggi untuk tingkat risiko yang sama.
Jika berdiri sendiri, Sharpe Ratio umumnya tidak begitu berguna karena tidak memberikan informasi apa-apa. Sebab tidak ada standar Sharpe Ratio yang bagus itu harus berapa. Sharpe ratio baru bisa dikatakan bagus atau tidak jika bisa dibandingkan dengan reksa dana lain atau benchmark yang sesuai.
Sharpe Ratio memang merupakan suatu indikator yang baik dalam mengukur dan membandingkan kinerja reksa dana. Namun ketika pasar menunjukkan kinerja negatif seperti halnya pada tahun 2015 yang lalu, penggunaan metode ini berpotensi memunculkan kesalahan interprestasi. Sebagai contoh ada 2 skenario perbandingan 2 reksa dana sebagai berikut :
| No | Return Reksa Dana (Rrd) | Risk Free (Rf) | Risk (StDev) | Rrd – Rf | Sharpe Ratio* | Interprestasi |
| A | -10% | 5% | 10% | -15% | -1.5 | Return kedua reksa dana sama, logikanya yang lebih baik adalah reksa dana dengan risiko yang lebih kecil yaitu reksa dana A. Tapi angka Sharpe Ratio menunjukkan reksa dana B lebih baik daripada reksa dana A |
| B | -10% | 5% | 20% | -15% | -0.75 | |
| C | -10% | 5% | 10% | -15% | -1.5 | Reksa dana C memiliki return yang lebih baik dan risiko yang lebih kecil, namun secara Sharpe Ratio kedua reksa dana tersebut sama sehingga peringkatnya sama. |
| D | -25% | 5% | 20% | -30% | -1.5 |
*Dalam kasus Sharpe Ratio negatif, maka yang lebih baik adalah yang negatifnya paling kecil
Untuk itu diperlukan penyesuaian terhadap metode Sharpe Ratio. Seperti apa penyesuaian yang diperlukan ?
Sharpe Ratio yang dimodifikasi atau Modified Sharpe Ratio ternyata sudah menjadi perhatian banyak akademisi. Ketikkan kata tersebut di Google anda akan mendapatkan berbagai referensi mengenai perhitungan Sharpe Ratio Modifikasi tersebut. Dalam pemeringkatan reksa dana yang sudah-sudah dan yang diselenggarakan tahun inipun saya yakin pihak penyelenggara akan melakukan hal tersebut. Jika tidak, dikhawatirkan hasil dari pemeringkatan reksa dana menjadi tidak valid karena kinerja kebanyakan reksa dana yang negatif.
Setelah mempelajari beberapa referensi yang ada, ternyata modifikasi terhadap Sharpe Ratio tidak hanya karena kinerja yang negatif, tapi juga karena asumsi fat tail pada standar deviasi. Secara sederhana, standar deviasi adalah penyimpangan dari rata-rata return. Misalkan suatu reksa dana memiliki rata-rata return 10% dan standar deviasi 15%, maka kinerja reksa dana akan berkisar antara 10% – (1 x 15%) hingga 10% + (1 x 15%) atau -5% hingga 25%.
Angka pengali bisa 1, 2 atau 3 tergantung tingkat kepercayaan yang digunakan. Biasanya jika 68% = 1, 95% = 2 dan 99% = 3. Semakin tinggi tingkat kepercayaan yang digunakan, semakin akurat pula perkiraan kisaran return tersebut. Angka terendah tersebut disebut dengan risiko dan jika dikalikan dengan nominal investasi disebut juga Value At Risk. Misalkan seorang investor berminat menanamkan investasi senilai Rp 100 juta, dan angka terendah sesuai perhitungan di atas adalah -5%, maka Value At Risknya adalah Rp 100 juta x -5% = -Rp 5 juta.
Yang dimaksud dengan fat tail adalah perhitungan standar deviasi yang berasumsi return akan berada pada kisaran +/- dari rata-ratanya terkadang dianggap tidak akurat. Sebab antara reksa dana yang naik 10% tiap tahun dan turun 10% tiap tahun secara matematika memiliki standar deviasi yang sama. Tentu tidak adil jika standar deviasi yang dihitung dari kenaikan dianggap sama dengan standar deviasi yang dihitung dari penurunan. Dalam bahasa ilmiah, fat tail juga disebut dengan istilah data return yang tidak terdistribusi dengan normal.
Dengan adanya perbedaan latar belakang tersebut perlunya Sharpe Ratio Modifikasi, metode perhitungannya bisa bervariasi. Ada yang cukup sederhana dengan mengganti rumusnya seperti yang dilakukan oleh Bloomberg untuk pemeringkatan reksa dana terbaik :
Sharpe Ratio (SR) = (Rrd – Rf) / Std Rd menjadi Modified Sharpe Ratio = (Rrd – Rf) x Std Rd
Ada pula yang agak ribet karena memperhitungkan ketidaknormalan distrusi data dengan memasukkan statistik seperti Skewness, Kurtosis, dll. Untuk itu rumusnya menjadi
Modified Sharpe Ratio = (Rrd – Rf) / MVar
MVar adalah Modified Value At Risk yang memperhitungkan distribusi data. Detailnya bisa anda baca di sini Modified Sharpe Ratio.
Menurut saya, Modified Sharpe Ratio yang digunakan oleh Bloomberg agak kurang tepat karena mengganti rumus dari bagi menjadi kali. Meski demikian, bukan berarti perhitungan tersebut salah. Hanya saja, jika mengganti rumus menurut saya sudah kurang tepat. Sementara untuk metode yang memperhitungkan distribusi data, menurut saya terlalu sulit untuk dipahami oleh orang awam. Penemu metode tersebut menurut saya perlu memberikan pengujian bahwa perhitungan menggunakan MVAR sebagai pengganti Standar Deviasi menghasilkan peringkat yang berbeda dan hasil menggunakan MVAR lebih masuk akal. Sayangnya, saya belum menemukan pengujian tersebut.
Upaya memodifikasi Sharpe Ratio sebelumnya memang sudah pernah dilakukan. Seperti yang dilakukan Sortino dengan mengganti Standar Deviasi dengan Downside Deviation – Standar Deviasi yang hanya menghitung pada saat return negatif saja dan yang dilakukan oleh Roy dengan mengganti Risk Free menjadi Minimum Acceptable Return (MAR). Maksudnya Risk Free dianggap terlalu kecil sehingga digunakan target return investor pada reksa dana saham. Sesuai dengan nama pemodifikasinya, dikenalnya Sortino Ratio dan Roy Safety First Ratio. Anda bisa mencari lebih banyak tentang kedua ratio tersebut di Google.
Sortino Ratio = (Rrd – Rf) / Downside Deviation Rd
Roy Safety First Ratio (SF Ratio) = (Rrd – Minimum Acceptable Return) / Standar Deviasi
Pada saat bekerja di Infovesta dulu, saya sempat meneliti kedua cara tersebut. Dari perbandingan antara Sharpe Ratio dan Sortino Ratio, ternyata peringkat reksa dana yang dihasilkan tidak berbeda secara signifikan untuk jenis reksa dana saham. Dengan demikian, mau menggunakan standar deviasi atau Downside Deviation sebetulnya sama saja. Secara prinsip kelihatan lebih benar, tapi hasilnya sama. Saya tidak tahu kalau sekarang apakah hasilnya masih sama, tapi jika anda peneliti menurut saya bisa meneliti topik tersebut.
Untuk Roy Safety First Ratio pada dasarnya pasti akan sama dengan Sharpe Ratio karena mengganti Rf dengan MAR. Namun ketika diterapkan pada pasar negatif terjadi cukup efektif untuk mengatasi kelemahan Sharpe Ratio. Caranya adalah dengan menetapkan MAR pada angka return negatif sehingga pengurangan dari Rrd – MAR akan menghasilkan angka positif. Logikanya misalkan pada tahun 2015 kinerja IHSG minus sekitar -12%, maka MAR bisa ditetapkan sebesar -20%. Angka -20% tersebut relatif, yang penting lebih kecil daripada pengurangan antara Rrd – MAR menghasilkan angka positif.
Penggunaan Roy Safety First Ratio dengan menggunakan MAR -30% pada contoh kasus yang disebutkan di awal adalah sbb :
| No | Rrd | Rf | Std Dev | Rrd – Rf | SR | MAR | Rrd – MAR | SF | Keterangan |
| A | -10% | 5% | 10% | -15% | -1.5 | -30% | +20% | 2 | Jika berdasarkan Sharpe Ratio, maka peringkat B lebih baik, namun menggunakan Safety First Ratio, peringkat A lebih baik dan ini sesuai dengan logika karena untuk kerugian yang sama, risiko A lebih kecil. |
| B | -10% | 5% | 20% | -15% | -0.75 | -30% | +20% | 1 | |
| C | -10% | 5% | 10% | -15% | -1.5 | -305 | +20% | 2 | Jika berdasarkan Sharpe Ratio, peringkat kedua reksa dana sama. Dengan menggunakan Safety First Ratio, peringkat C lebih baik dan sesuai dengan logika karena baik return dan risikonya jelas-jelas lebih kecil. |
| D | -25% | 5% | 20% | -30% | -1.5 | -30% | +5% | 0.25 |
Penggunaan Safety First Ratio memang bisa menghasilkan peringkat reksa dana yang sesuai dengan logika berpikir. Meski demikian, untuk kasus reksa dana A dan B sebenarnya masih bisa diperdebatkan. Alasan reksa dana A diberikan peringkat yang lebih baik dibandingkan reksa dana B adalah karena kedua reksa dana tersebut memiliki kerugian yang sama, hanya saja risiko reksa dana A lebih kecil sehingga perlu di apresiasi.
Namun dari sudut pandang yang lain, logikanya reksa dana B yang risikonya lebih besar tentu kalau rugi “seharusnya” lebih besar daripada reksa dana A. Tapi kenyataannya, tingkat kerugian reksa dana B sama dengan reksa dana A, sehingga sebetulnya patut diapresiasi. Dalam kasus ini, fat tail atau data yang tidak terdistribusi dengan normal terjadi. Risiko reksa dana B memang lebih besar dari reksa dana A, tapi karena bisa saja risiko tersebut lebih banyak dihitung dari fluktuasi return positif dibandingkan return negatif sehingga tingkat returnnya sama dengan retun reksa dana A yang risiko lebih kecil.
Dalam dunia nyata, sebetulnya pengandaian seperti kasus A, B, C dan D di atas agak sulit untuk ditemukan. Meski tidak semua data terdistribusi dengan baik, tapi kecendrungan fat tail amat jarang dan pola dari pergerakan reksa dana saham pada dasarnya sama. Sehingga penggunaan standar deviasi sebagai risiko sudah cukup. Tinggal kalau pasar negatif, disesuaikan saja pengurangnya dari Risk Free menjadi Minimum Acceptable Return.
Demikian, semoga artikel ini
NB : Untuk Tahun 2016 saya mencoba membesarkan ukuran Font dan menggunakan format Tahoma karena saya merasa font asli agak kekecilan. Jika anda lebih nyaman dengan font lama silakan komentar di bawah.
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Semua data dan hasil pengolahan data diambil dari sumber yang dianggap terpercaya dan diolah dengan usaha terbaik. Meski demikian, penulis tidak menjamin kebenaran sumber data. Data dan hasil pengolahan data dapat berubah sewaktu-waktu tanpa adanya pemberitahuan. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.
Facebook : https://www.facebook.com/rudiyanto.blog
Twitter : https://twitter.com/Rudiyanto_zh
Sumber Gambar : Istockphoto
Tinggalkan Balasan ke Maria Batalkan balasan