Kasus Hukum di 🇸🇬

Dalam hukum dikenal harta bawaan, yaitu harta yang diperoleh masing-masing suami-istri ketika mereka belum terikat perkawinan.

Dalam sidang kasus perceraian, pengadilan 🇸🇬 memutuskan harta bawaan milik suami masuk ke dalam Harta Gono Gini, seperti apa ceritanya?

KRONOLOGIS

  • 1982 : Suami dan ibunya membeli rumah dengan nama gabungan Suami bayar KPR dan Ibunya bayar renovasi
  • 1989 : Pernikahan terjadi, suami istri tinggal bersama mertua
  • 1993 : Lahir si anak
  • 1994 : Hubungan memburuk, suami istri tidur di kamar terpisah, ngomong kalau ada si anak saja
  • 19 November 19 : Resmi mengajukan perceraian
  • 9 September 20 : Perceraian sah secara interim karena keduanya telah hidup berpisah selama 4 tahun meski belum ada pembagian gono gini.

    Usia nikah efektif 5 dari 31 thn
  • September 22 : Ibu dari suami meninggal. Rumah atas nama Ibu dan Suami, berdasarkan asas survivorship menjadi milik Suami
  • November 22 : Sidang harta gono gini berlangsung
  • Januari 23 : Hasil Keputusan dibacakan

Yang menjadi sengketa dalam sidang gono gini adalah unit rumah yg dibeli 1982

Di pengajuan awal, Suami Istri sepakat atas rumah hanya 50% saja yang merupakan kontribusi suaminya dan waktu perceraian berlangsung, Ibu dari Suami belum meninggal.
Namun oleh Pengadilan, menyatakan Rumah tersebut merupakan Matrimonial Asset / Harta Gono Gini sehingga harus 100%.
Pihak Suami keberatan karena rumah tersebut dibeli sebelum Menikah, kontribusi rumah juga benar dari dia dan ibunya dan hal ini tidak dibantah oleh pihak istri.

Namun pihak pengadilan berpendapat lain, menurut aturan di 🇸🇬
Harta Gono Gini memiliki definisi di bawah :

Definisi B adalah yang umum, dimana Aset yang dibeli selama pernikahan berlangsung.
Tapi mengacu pada a.1, Aset yang dibeli sebelum menikah, tapi dinikmati sewaktu tinggal bersama termasuk dengan anak, a.2 dikembangkan dengan baik selama pernikahan juga masuk Harta Bersama.

Dalam kasus ini, meski sudah “pisah ranjang” sejak 1994 dan selama itu hanya berkomunikasi seperlunya demi anak, Suami Istri ini tinggal di rumah yang sama selama 31 tahun usia pernikahannya.
Pihak Suami pada saat persidangan berlangsung juga mengajukan keberatan lagi.
Sebab Suami dan Istri telah sepakat dengan 50% nilai rumah, mengapa hal yang sudah disepakati oleh kedua pihak, oleh Pengadilan ditetapkan lain?
Pengadilan menggunakan prinsip Harta Warisan dimana pemilik harta yang sudah meninggal, tidak berhak lagi meski ada wasiat.

Untuk kasus perceraian juga sama, dimana karena melibatkan pembagian harta Gono Gini, maka pemilik harta tidak dapat memutuskan apa yang menjadi dan tidak menjadi bagian dalam harta Gono Gini.
Bahkan daftar aset yang diserahkan / diklaim pihak bersengketa juga diverifikasi lagi.


Daftar Aset dari Suami dan Istri yang sudah diverifikasi sebelum pembagian sebagai berikut:
Suami 46.2% dan Istri 53.8%

Total aset dari suami dan istri adalah SGD 737.703 atau sekitar Rp 8.1 M.

Atas aset ini, karena telah “berpisah” dalam 26 dari 31 tahun perkawinan, 80% dianggap merupakan kontribusi (usaha) masing-masing.
Hanya 20% yang dianggap Usaha bersama, untuk itu rasio pembagian harta menjadi Suami 46.96% setara SGD 346.425 dan Istri 53.04% setara SGD 391.278.

Atas penjumlahan rasio kontribusi langsung dan bersama, serta nilai pembagian di atas, selanjutnya dibandingkan dengan harta sebelum pembagian.

Suami mendapat SGD 350.114 tapi harta dia hanya SGD 340.750, nilainya SGD 9.363 (sekitar Rp 103 juta) lebih sedikit.

Sebaliknya Istri seharusnya SGD 387.589 tapi hartanya SGD 396.953, lebih besar SGD 9.363.
Karena harta istri lebih besar dari suami dan menggunakan rasio pembagian, pengadilan memutuskan Istri harus membayar Suami SGD 9.363 dalam 6x cicilan.
Jika keberatan Suami diterima Jika keberatan Suami diterima.
Tidak ada putusan soal santunan karena keduanya bekerja dan anak sudah dewasa.

Bagaimana menurut anda? Apa yang bisa dipelajari?

Paling baik, langgeng sampai tua

HAVE A NICE DAY

Rereferensi kasus: https://t.co/tGARncjpr5

Rudiyanto

Tinggalkan komentar