Menjelang Pilpres 🇺🇸 November 2024 nanti,
suasana persaingan di sana semakin panas.
Kandidat resmi dari Partai Republik, Donald Trump divonis bersalah dalam pengadilan atas kasus uang tutup mulut yang sarat nuansa politis.
Bagaimana efek ke pasar modal?

Putusan politik di 🇺🇸 tentunya akan lebih berdampak terhadap pasar modal 🇺🇸.
Namun karena ekonomi terbesar dunia, pasar modal dengan perusahaan terbesar mayoritas dari sana, tentu sedikit banyak akan berdampak ke negara lain termasuk 🇮🇩.
Kebijakan bunga The Fed adalah contohnya.
Berdasarkan info https://bbc.com/indonesia/articles/cyxxjy40j2jo.amp…
Kelihatannya Donald Trump masih bisa ikut dalam kontestasi pilpres, namun status narapidana ini diperkirakan akan berdampak ke suara dukungannya.
Dalam konteks pasar modal, siapa kira-kira dari Donald Trump atau Joe Biden yang akan lebih baik?
Berdasarkan grafik S&P 500 hingga 31 Mei 24, kelihatannya antara Joe Biden dan Donald Trump sama.
Namun hingga November, SP500 perlu rally sekitar 20%, untuk mengejar selisihnya

Namun meski SP500 Rally sekalipun, korelasi antara IHSG dan SP500 sangat lemah.
Dalam bahasa orang awam, jika SP500 rally, belum tentu IHSG akan ikut rally juga.
Seperti grafik di bawah, dalam 10 tahun terakhir SP500 naik 163% sementara IHSG “cuma” 36%

Bagaimana dengan obligasi?
Memang kebijakan suku bunga bank sentral 🇺🇸 yang Higher for Longer ini menyebabkan harga obligasi pemerintah 🇮🇩 terkoreksi di 2024 ini.
Jika suku bunga turun, maka harga obligasi pemerintah 🇮🇩 akan berbalik naik.
Donald Trump dari dulu dikenal sebagai businessman dan tentunya lebih pro bunga rendah, bahkan tidak segan-segan mengganti Gubernur Bank Sentral
agar sejalan dengannya.
Joe Biden juga sedang membutuhkan kebijakan yang populis untuk mengangkat suara sehingga akan pro bunga turun juga.
Namun inflasi dan kebijakan suku bunga bukan satu-satunya penyebab harga obligasi.
Defisit APBN 🇺🇸 yang menyebabkan penerbitan obligasi semakin besar
juga akan turut menentukan harga.
Makin banyak defisit, maka semakin banyak penerbitan obligasi,
maka akan berdampak ke harga juga.
Berdasarkan data dj bawah, dengan mengecualikan pandemi yang menyebabkan lonjakan di 2020 dan 2021, defisit APBN 🇺🇸 selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Artinya tiap tahun, pemerintah 🇺🇸 harus menerbitkan obligasi dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya.
Ketika bunga rendah, apalagi waktu pandemi yang 0%, tentu imbal hasil atau Yield juga rendah, sehingga tidak terlalu jadi masalah.
Tapi begitu bunga mulai naik 2022 hingga 2024, hal ini menjadi masalah baru karena hutang yang sudah masif tersebut menjadi harus bayar bunga mahal
Apakah Joe Biden atau Donald Trump yang lebih baik dalam hal APBN?
Entahlah, saya tidak punya analisisnya.
Namun satu hal yang pasti, perang itu mahal. 🇺🇸 memang tidak ikut berperang langsung, tapi mengirim “bantuan” senjata dalam jumlah besar ke Ukraina dan sekarang Israel.
Yang jelas, waktu Donald Trump menjabat dulu, cuma ada “perang kata-kata” di Twitter (sekarang X) dan “perang dagang” dengan China. Tidak ada perang fisik seperti saat ini. Asumsi saya jika dia menjabat kembali, anggaran “perang” 🇺🇸 bisa berkurang drastis dan ini penting.
Sebab sejak 2022, Bank Sentral 🇺🇸 telah berubah dari cetak uang masif
menjadi bakar uang masif.
Obligasi yang diterbitkan pemerintah 🇺🇸 tidak lagi mengandalkan
bank sentral sebagai pembeli.
Russia dan China yang punya surplus ekspor besar juga mengurangi obligasi 🇺🇸.

Jadi pemerintah 🇺🇸 harus menjual obligasinya ke pasar langsung.
Sesuai hukum supply demand, kalau pemerintah 🇺🇸 sedang BU (Butuh Uang), maka pembeli akan minta harga yang rendah / yield tinggi.
Berbeda dengan saham, harga obligasi 🇮🇩 itu dalam tingkatan tertentu searah 🇺🇸.
Sehingga defisit APBN 🇺🇸 yang besar, juga akan berdampak negatif ke harga obligasi di Indonesia.
Berdasarkan hal di atas, saya pribadi beranggapan dalam konteks pasar modal Indonesia, akan lebih baik jika Donald Trump yang menang dibandingkan Joe Biden.
DEMIKIAN SEMOGA BERMANFAAT.

Tinggalkan komentar