Saat ini produk mobil listrik menjadi tren di seluruh dunia.
Banyak negara berlomba-lomba memberikan insentif untuk penggunaan kendaraan listrik atau electric vehicle EV.
Bagaimana Indonesia?
Akankah EV akan menggantikan kendaraan berbahan bakar minyak?

Insentif untuk kendaraan listrik juga semakin banyak, mulai dari pembebasan Ppn dan Ppn BM untuk TKDN 40%, pajak kendaraan tidak progresif, bagi perusahaan menjadi KPI keuangan berkelanjutan. Penjualannya juga terus meningkat dibandingkan mobil BBM.
Secara angka untuk periode
Jan – Mei 2023 vs Jan – Mei 2024
Mobil BBM
423.771 unit menjadi 334.969 unit
Turun 21%
Mobil Listrik
4.640 unit menjadi 9.729 unit
Naik 109%
Sumber: Gaikindo
Meski penjualan mobil listrik naik lebih tinggi, angkanya baru sekitar 3% dari mobil BBM.

Meski pertumbuhannya naik 10x lipat sekalipun, itu baru 30% dari mobil BBM, itupun dengan asumsi distributor mobil BBM tidak melakukan promosi untuk meningkatkan penjualannya.
Apakah mobil listrik menjadi yang dominan di 🇮🇩 seperti negara lainnya?
Momentum EV ini memang banyak terbantu dari momentum ESG beberapa tahun terakhir ini.
E dari ESG singkatan dari Enviromental, artinya berwawasan lingkungan. Banyak negara yang melakukan adopsi terhadap ESG dengan mewajibkan investasi berbasis ESG dan pengurangan emisi karbon.
Jika perusahaan bisa menunjukkan pengurangan emisi karbon, bisa dapat pendanaan murah, penjaminan obligasi, hingga minat besar dari investor institusi.
Untuk dapat skor ESG bagus, salah satunya adalah beralih dari kendaraan operasional bensin ke mobil listrik, demand EV ⬆️.
Itu dari sisi korporasi.
Tapi pembeli mobil itu kebanyakan perorangan, apakah mereka dapat benefit seperti korporasi? Tidak.
Di 🇮🇩 paling ya hanya penghematan pajak kendaraan di STNK dan tidak kena ganjil genap khusus di Jakarta. Selain itu, rasanya belum ada yang signifikan.

Untuk itu saya sangat beruntung beberapa waktu lalu dapat kesempatan ngobrol dengan salah satu eksekutif dari perusahaan otomotif terkemuka di Indonesia. Saya banyak bertanya mengenai pandangan perusahaan akan tren mobil listrik, apakah perusahaannya akan all out ke EV juga?
Menurut dia, untuk berhasil dalam bisnis otomotif, harus melihat ekosistem secara keseluruhan, tidak bisa satu per satu.
Misalnya, apakah suku cadang / komponen tersedia dan bisa diperoleh dengan cepat?
Mobil yang impor (built up), kadang kalau di service bisa lama karena ini.
Apakah mobilnya mau dibuat dengan kualitas seperti Innova yang setelah bertahun-tahun masih ok dan punya harga jual yang baik?
Atau mobil EV yang belum tahu harga jualnya berapa dan biaya perawatan seperti apa?
Cerita Hertz dan Tesla bisa jadi referensi.

Waktu mobil listrik sedang tren, Hertz (perusahaan penyewaan mobil berskala global – seperti Assa dan Trac di 🇮🇩) berinvestssi membeli mobil listrik dalam jumlah besar.
Namun permintaan ternyata tak seperti dugaan, biaya perawatan lebih tinggi, plus keputusan Tesla turunkan harga. Supaya bisa bersaing dengan mobil listrik China, Tesla menurunkan harga jualnya.
Hertz yang terlanjur beli di harga sebelum itu, terpaksa harus mencatat biaya depresiasi yang lebih besar menyesuaikan harga jual terbaru. Hal ini menyebabkan kerugian.

Apakah infrastruktur mendukung?
Mulai dari ada berapa SPBU yang bisa charger listrik?
Memang bertambah tapi tidak seberapa, itupun paling 2-3 parking spot di SPBU yang luas.
Di luar negeri, bahkan sumber daya listrik itu ditanya apakah pakai Surya, Angin atau masih batu bara.
Apakah pembelinya mayoritas tinggal di rumah yang bisa pasang charger sendiri?
Boro-boro, yang parkir di jalanan sempit sehingga mobil susah lewat berujung drama di sosmed juga masih banyak.
Sehingga memperbanyak charger masih jadi tantangan tersendiri.
Waktu tunggu isi ulang daya juga masalah. Isi ulang masih perlu waktu berjam-jam, sementara isi bensin bisa selesai dalam kurang dari 5 menit + antri. Di 🇨🇳, saking canggihnya sudah bukan isi ulang lagi, tapi ganti baterai sehingga prosesnya singkat.

Kemudian karakteristik penduduk seperti apa?
Ini menarik, ternyata dari pandangan dia, karena penduduk 🇮🇩 yang banyak dan masih keluarga besar, mobil 7 seater itu masih lebih diminati. Mobil listrik yang murah itu kecil, yang standar hanya 2 baris saja, bukan 3 baris.
Apakah itu berarti tidak banyak konsumennya?
Tidak juga, karena pembeli yang ikut-ikut tren atau karena peer pressure (temannya sudah beli, dia belum), masih ada.
Yang konsen lingkungan?
Ada tapi masih sangat kecil. Harga charge listrik mungkin masih subsidi, tapi sampai kapan?
Dengan pertimbangan tersebut, kelihatannya perusahaan yang saya ajak ngobrol ini belum all out. Ada permintaan di segmen terbatas, sehingga varian produk yang ada ditambah versi listriknya itupun harganya masih mahal. Yang mobil BBM masih tetap ada dan jadi yang utama.
Saya sendiri bukan pengemar mobil, tapi menurut saya harga mobil di Indonesia baik yang BBM dan listrik adalah di harga yang mahal. Harga di Indonesia bisa 50-100% atau bahkan lebih mahal vs negara maju karena dianggap barang mewah, sehingga mobil listrik juga lebih mahal lagi. Dengan harga yang mahal, segmen menjadi terbatas sehingga akan sulit bagi mobil listrik untuk jadi dominan. Kalau dikasih terlalu banyak insentif sehingga terlalu murah, bisa merusak keseimbangan karena mobil BBM yang berkontribusi besar justru dianaktirikan.
HAVE A NICE DAY

Tinggalkan komentar