Pasar modal di awal 2025 ini kurang mulus.
Window dressing batal
Januari masih turun
BBRI saham 650 ribu umat bikin jedag jedug
Utang Negara jatuh tempo 2025 capai Rp 800 Triliun, SRBI malah sampai Rp 1000 Triliun.
Seberapa dampak jatuh tempo Utang Negara dan SRBI terhadap pasar modal?

Sama-sama instrumen bersifat Utang, Obligasi Negara atau dikenal dengan SUN memiliki perbedaan dengan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia atau yang dikenal dengan SRBI.
Beberapa perbedaan mendasar :
1. Jatuh Tempo
SUN dari 2 hingga 40 tahun. SRBI hanya 6, 9, dan 12 bulan.
Karena umur yang relatif pendek, memang tiap tahun SRBI yang jatuh tempo juga banyak.
2. Kupon
SUN ada yang sistemnya kupon tetap FR-Fixed Rate dan variabel VR-Variable Rate. SRBI sistemnya Zero Coupon, harga di bawah 100 tapi tidak bagi kupon sama sekali.
3. Pajak
SUN kena pajak final 10% atas Kupon dan Capital Gain. Capital gain dihitung dari selisih harga beli dan jual dan jika dipegang sampai jatuh tempo maka selisih harga beli dengan 100. SRBI kena pajak final 20% dari selisih harga beli dengan 100.
4. Penerbit
SUN diterbitkan oleh pemerintah Jadi ketika dilelang pertama kali, hasil penjualan masuk ke kas negara. Uangnya digunakan untuk berbagai program pemerintah seperti infrastruktur, bansos, Makan Bergizi Gratis Pembayaran kuponnya menjadi beban pengeluaran negara juga.
SRBI diterbitkan Bank Indonesia. Hasil lelang SRBI masuk ke Kas Bank Indonesia, tidak bisa digunakan untuk program pemerintah, demikian juga imbal hasilnya (selisih antara harga beli dengan 100) ditanggung Bank Indonesia.
Meski pemerintah dan Bank Indonesia sama-sama adalah Negara tapi pembukuannya terpisah. Jadi secara teknis, SRBI bukan utang pemerintah tapi utang Bank Indonesia. Pemerintah untuk membayar hutang, sumbernya bisa dari pajak, PNBP(Pendapatan Negara Bukan Pajak), atau obligasi baru.
Penerbitan obligasi baru itu juga bukan cetak uang, karena perlu ditawarkan dan dibeli investor. Apabila dianggap pengelolaan keuangan negara kurang baik atau ada opsi lain yang lebih menarik, investor bisa meminta imbal hasil tinggi. Jika rendah, berisiko obligasi tidak laku

Bank Indonesia berbeda dengan pemerintah, meski memiliki pendapatan dari jasa kliring dan BI Fast, Bank Indonesia juga bisa “cetak uang”. Jadi penerbitan dan pembayaran SRBI jatuh tempo itu bisa dari uang yang “dicetak” oleh BI.
Jika penerbitan obligasi SUN bertujuan untuk memenuhi pengeluaran negara, penerbitan SRBI lebih untuk menahan dana yang ada di dalam negeri supaya tidak ditukar ke USD – pengendalian moneter. Kalau imbal hasil SUN tergantung inflasi, suku bunga 🇮🇩 dan 🇺🇸, kalau SRBI lihat Kurs.
Semakin tinggi ekspektasi atau angka inflasi, maka investor akan minta imbal hasil yang tinggi pada obligasi, akibatnya harga jatuh dan sebaliknya juga. Untuk SRBI acuannya Kurs, semakin lemah Rp/USD, misalkan 16rb++, semakin tinggi imbal hasil SRBI dan sebaliknya.
Dengan imbal hasil yang tinggi, Bank Indonesia berharap agar pemilik dana di Indonesia (Bank, Investor Asing, Institusi) tetap keep Rp bukan konversi ke USD. Tujuannya untuk menahan Rp, kalaupun melemah tidak berlebihan. Dulu peran ini dipegang oleh BI Rate, tapi kurang efektif. BI Rate berubah tiap bulan tergantung hasil rapat, sementara kurs berubah harian. Tunggu bulan depan lagi, bisa jadi sudah terlambat. SRBI dilelang tiap minggu, perubahan pasar dapat ditangkap lebih cepat.
Jadi berdasarkan penjelasan di atas, tidak perlu khawatir dengan SRBI Rp 1000 T yang mau jatuh tempo. Pertama, karena memang jangkanya pendek. Kedua, penerbitan dan pembayaran kembalinya tidak membebani langsung pada keuangan negara.
Bagaimana dengan Utang Negara yang Rp 800 Triliun?
Sebagian dari utang tersebut merupakan Obligasi Pandemi yang terbit di era 2020-2022 dengan jatuh tempo 5 tahun. Jadinya 2025-2027, obligasi yang jatuh tempo ini memang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya Obligasi pandemi ini juga ada deal khusus dengan BI.
Kuponnya lebih rendah dan sangat memungkinkan dilakukan debt switching (artinya diterbitkan utang baru lagi) tapi dengan syarat dan ketentuan yang sama seperti sebelumnya. Untuk surat utang negara yang non pandemi, business as usual saja. Lelang tiap hari Selasa setiap minggu.
Hanya saja secara persepsi, pemberitaan akan nilai hutang yang jumbo tersebut memang berdampak negatif ke sentimen harga obligasi. Secara timing, bersamaan pula dengan data-data perekonomian 🇺🇸 yang kurang positif sehingga penurunan bunga bisa saja tidak sesuai dugaan awal.
Jadi utang yang jatuh tempo tersebut, secara fundamental tidak bermasalah, tapi secara persepsi / sentimen, agak negatif. Imbal hasil SRBI yang terlalu tinggi juga pada tingkatan tertentu membuat harga obligasi SUN harus menyesuaikan juga. Kuncinya tetap di inflasi dan bunga 🇺🇸.
Jika data-data perekonomian 🇺🇸 yang mendukung penurunan inflasi dan suku bunga muncul kembali, perubahan sentimen bisa terjadi dengan cepat. Secara valuasi, yang murah di pasar modal Indonesia bukan hanya saham, tapi juga obligasinya.
Ini kesempatan untuk masuk
Have a nice day

Tinggalkan komentar