Data inflasi 🇺🇸 Desember 2024 baru saja diumumkan. Angkanya naik 2.7% di November menjadi 2.9% di Desember. Di tengah kekhawatiran bahwa penurunan suku bunga tahun ini bisa saja tidak sesuai prediksi awal, kenaikan inflasi adalah bad news.
Tapi mengapa pasar modal malah naik?

Secara teori, naik turunnya suku bunga sangat berkaitan erat dengan inflasi. Dalam kondisi inflasi tinggi, suku bunga juga akan dinaikkan supaya inflasinya turun.
Cara kerjanya kira-kira:
Bunga tinggi -> kredit mahal -> ekonomi melambat -> demand turun -> inflasi turun
Setelah inflasi turun, baru perlahan suku bunga diturunkan ke level yang dianggap “normal” yang sekitar 2.5-3.25% dari level saat ini 4.25-4.5%. Turun ke level normal itu juga bertahap dalam beberapa tahun, tidak sekaligus dengan catatan inflasi juga balik ke normal di 2%.
Dalam konteks pasar modal, penurunan suku bunga itu positif untuk harga obligasi dan saham. Misalkan ada obligasi yang waktu terbit kupon 7% dengan suku bunga 5% harga 100. Ketika suku bunga turun ke 4%, kupon tetap 7% maka harganya akan naik di atas 100.
Untuk saham juga sama.
Perhitungan harga wajar saham, menggunakan suku bunga sebagai komponen risk free. Contoh expected return dengan CAPM rumusnya Risk Free + Beta x (Asumsi Return Market – Risk Free).
Bunga rendah -> Expected Return rendah -> harga wajar tinggi.
Misalkan suatu saham dengan dividen Rp 100 dan expected return 10% maka harga wajarnya Rp 100 / 10% = Rp 1.000. Ketika expected return jadi 8% karena bunga turun, harga wajar menjadi Rp 100 / 8% = Rp 1.250. Ada banyak variasi analisa fundamental, tapi kurang lebih konsepnya sama.

Tidak hanya itu, dalam konteks investasi global, bunga turun juga akan memicu dana pindah dari negara maju ke negara berkembang seperti 🇮🇩 untuk mencari imbal hasil yang lebih tinggi. Dengan segala nilai plus bunga turun, maka data terkait seperti inflasi juga diharapkan turun.
Nah untuk data 🇺🇸 ini agak unik. Data dan indikator ekonomi yang mereka gunakan amat banyak dan agak berbeda dibandingkan negara lain. Inflasi umumnya dihitung dengan Indeks Harga Konsumen-IHK (Consumer Price Index-CPI). Kemudian yang jadi acuan itu Inflasi Inti (Core Inflation).
Inflasi inti itu, tidak memperhitungkan harga energi kalau di 🇺🇸, kalau di 🇮🇩 tidak memperhitungkan komponen yang harganya di atur pemerintah mulai dari BBM, Gas, dan sebagainya.
Data 🇺🇸

Meski angka inflasi total naik, bank sentral biasanya menggunakan inflasi inti sebagai acuan. Penurunan inflasi inti inilah yang menjadi sentimen positif pasar modal. Tapi tunggu dulu, acuan bank sentral 🇺🇸 itu agak laen. Mereka tidak pakai inflasi inti CPI tapi inflasi inti PCE.
CPI dihitung Bureau of Labor Statistic. PCE (Price Consumption Expenditure) dihitung Bureau of Economic Analysis. CPI bobotnya pada pola pengeluaran konsumen yang baru disesuaikan beberapa tahun sekali, sementara PCE bobotnya dinamis, berubah tiap tahun sesuai perilaku konsumen.
Karena lebih mencerminkan perilaku konsumen, menjadi pertimbangan bagi bank sentral. Berbeda dengan data CPI yang publikasinya pertengahan bulan, data PCE baru akhir bulan.
Apakah data inflasi inti CPI dan Inflasi inti PCE selalu sejalan?

Berdasar grafik perbandingan inflasi inti CPI dan PCE ini, meski tidak 100% sama, tapi cukup mendekati
Per November 2024, angka inflasi PCE di 2.8%, sama dengan Oktober 24, dan naik dari 2.7% di Juli – September 24
Kalau pernah membaca target inflasi bank sentral 🇺🇸 di 2%, yang dimaksud itu adalah inflasi inti PCE, cuma media mass.
Makin mendekati 2%, biasanya sentimen pasar modal positif.
Makin menjauh dari 2% (naik), sentimen pasar modal negatif sebagaimana data dari September ke Oktober – November.

Untuk anda yang investasi saham / reksa dana yang beli bluechip dan sensitif terhadap aliran dana asing (seperti IDX30 dan Sri Kehati), sedikit banyak perlu mempelajari cara kerja inflasi dan suku bunga 🇺🇸.
Semoga sentimen positif ini berlanjut
dan semoga hari anda menyenangkan

Tinggalkan komentar