Dalam kondisi normal, nilai tukar Rupiah terhadap USD yang wajar sekitar 15.000++.

Efek tarif Trump dan Inflasi 🇺🇸 yang masih tinggi, menyebabkan dana asing “pulang kampung” ke USD. Akibatnya Rupiah melemah Rp 16.000++ dan lama-lama menjadi “new normal”.

Reksa dana apa yg diuntungkan?

Bagaimana cara untuk mengetahui level kurs nilai tukar yang wajar?

Bagi pengusaha ekspor, semakin lemah kurs Rupiah semakin bagus karena pendapatannya semakin besar. Sebaliknya bagi pengusaha impor, semakin lemah kurs Rupiah adalah mimpi buruk karena bahan baku impor harga naik tinggi.

Bagi negara juga sama. Ketika impor BBM dan menjualnya kepada masyarakat melalui Pertamina, kurs Rupiah yang lemah akan menyebabkan subsidi tinggi dan APBN makin defisit. Tapi ketika kurs Rupiah kuat, pendapatan ekspor sawit, batu bara, dan olahan nikel meningkat semakin APBN surplus.

Pihak yang berkepentingan menjaga kurs agar stabil dan netral bagi perekonomian adalah Bank Sentral, dalam hal ini Bank Indonesia – BI. Dalam menentukan kebijakan naik turunnya tingkat suku bunga, selain tingkat inflasi, kurs nilai tukar juga menjadi pertimbangan BI.

Dalam kebijakan-kebijakan terdahulu, terkadang inflasi sudah rendah tapi BI menunda penurunan suku bunga karena mau menjaga kestabilan kurs nilai tukar Rupiah/USD. Sejak Sekuritas Rupiah Bank Indonesia – SRBI diperkenalkan akhir 2023 lalu dan makin banyak dipergunakan, acuannya berubah. Indikator untuk menjaga kestabilan kurs “hanya” BI 7 Days Reverse Repo Rate, tapi lebih ke SRBI.

Level berapa dianggap normal dan level berapa dianggap abnormal?

Acuan yang paling gampang adalah Yield obligasi negara 10 tahun, per 5 Februari 2025 di 6.91%

Kondisi kurs normal, Imbal Hasil SRBI yang umurnya 6, 9, dan 12 bulan, “seharusnya” lebih rendah dari SUN 10 tahun. Kondisi kurs abnormal, imbal hasil SRBI lebih tinggi dari SUN 10 tahun. Imbal hasil SRBI yang tinggi bertujuan agar dana asing dan institusi tidak konversi ke USD.

Berbeda dengan data Yield SUN 10 tahun yang tersedia luas, data SRBI relatif terbatas. Untuk itu, kita bisa ke website Bank Indonesia dan memilih informasi Lelang SRBI sebagai berikut : https://www.bi.go.id/id/publikasi/lelang/operasi-moneter/default.aspx

Klik saja salah satu dari hasil lelangnya dan gunakan (misalnya 12 bulan) sebagai acuan. Contoh berdasarkan lelang (mingguan) per 31 Januari 2025, yang 12 bulan (353 hari), imbal hasil yang dimenangkan adalah 6.73972% atau 6.74%.

Sebagaimana saya sampaikan, bandingkan Imbal Hasil 12 bulan SRBI dengan SUN 10 tahun. Jika SRBI lebih kecil, maka kondisi normal. Sebaliknya jika nilai SRBI sama atau bahkan lebih besar, maka kondisi abnormal. Normal / abnormal, mengacu kepada pandangan BI akan nilai tukar Rupiah/USD.

Karena data SRBI mingguan, maka data kurs dan SUN juga saya gunakan tanggal 31 Januari 2025.

SRBI 12 bulan = 6.74
SUN 10 tahun = 6.98
Kurs Rp/USD = 16.295

Artinya meski kurs sudah di atas Rp 16rb lebih, SRBI masih “normal”

Setelah 31 Januari 2025, nilai tukar Rupiah masih sempat melemah mendekati 16.450 dan Per 5 Februari 2025 ke 16.340. SRBI yang lebih rendah daripada SUN 10 tahun menunjukkan keyakinan BI bahwa nilai tukar seharusnya sudah cukup stabil, tidak perlu dikasih imbal hasil tinggi agar menguat lagi.

Kondisi abnormal contohnya pada Lelang 13 Desember 2024.

SRBI 12 bulan = 7.24
SUN 10 tahun = 7.06
Kurs Rp/USD = 15.990

Meski kurs masih di bawah Rp 16.000, namun di tengah tekanan jual asing yang besar, BI “terpaksa” memberikan imbal hasil tinggi untuk menahan pelemahan Rupiah.

Dan benar saja, meski SRBI sudah di atas SUN 10 tahun pada 13 Desember 2024 yang lalu, tekanan jual asing yang begitu besar menyebabkan nilai tukar Rupiah terus melemah. Imbal hasil SRBI vs SUN, menurut saya lebih kepada “keyakinan” BI terhadap nilai tukar, bukan prediksi nilai tukar.

Jika BI yakin kurs sudah normal, alias tidak akan melemah-melemah lagi atau bahkan mungkin menguat, SRBI akan < SUN. Sebaliknya jika BI khawatir kurs masih akan melemah, SRBI akan > SUN. Jadi kalau bingung baca arah kurs, ikut saja Bank Indonesia dengan melihat SRBI vs SUN.

Reksa dana apa yang diuntungkan dengan SRBI < SUN?

Selama ini dalam menentukan kebijakan BI 7 Days Reverse Repo Rate, BI suka menunda penurunan suku bunga dengan alasan menjaga kestabilan nilai tukar. Tapi kalau SRBI sudah lebih kecil dari SUN, artinya kurs sudah dianggap stabil.

Meski sekarang Rp 16.000++, bisa jadi sudah dianggap sebagai “new normal”, makanya BI tidak ngoyo dengan mati-matian menaikkan SRBI agar Rupiah menguat. Apabila kurs dianggap stabil, dengan inflasi yang begitu rendah, maka penurunan suku bunga menurut saya sudah di depan mata.

Besar kemungkinan BI akan menurunkan suku bunga di Februari atau Maret ini. Sesuai teori, jika suku bunga turun, maka harga obligasi akan naik, jenis yang diuntungkan adalah reksa dana pendapatan tetap.

Semoga bermanfaat

Rudiyanto

Tinggalkan komentar

  1. avatar Tidak diketahui
  2. avatar Tidak diketahui
  3. avatar Tidak diketahui
  4. avatar Tidak diketahui
  5. avatar Tidak diketahui