Pertama kali saya mengenal pasar modal dan sekuritas adalah dari Sarijaya Permana Sekuritas. Perusahaan sekuritas ini sempat berjaya dengan menjadi sekuritas terbesar kedua pada masanya, kemudian bangkrut dan izin dicabut pada 2010.
Pelajaran apa yang bisa didapat?

Waktu saya kuliah di Universitas Tarumanagara, ada kantor atau sekarang disebut Galeri dari Sarijaya di gedung kampus. Beberapa kali saya main ke sana, bahkan sempat minta uang ke orang tua untuk buka rekening. Kalau tidak salah, minimal Rp 25 juta waktu itu dan ditolak.
Kemudian ketika bekerja, saya menjadi semacam sales institusi di perusahaan lama. Kerjanya menawarkan jasa langganan data dan konsultasi ke dana pensiun, asuransi, manajer investasi dan sekuritas. Sarijaya ini juga termasuk salah satu closingan saya bersama dengan team marketing.
Sekitar tahun 2008/2009, Sarijaya yang sudah merupakan sekuritas top, sedang dalam proses mendirikan unit usaha Manajer Investasi sehingga membutuhkan data tentang reksa dana. Siapa sangka, tidak lama setelah itu izinnya dicabut dan bahkan digugat ke pengadilan.
Masalah utamanya pemilik perusahaan, yaitu Herman Ramli yang juga duduk sebagai Komisaris Utama menyalahgunakan dana nasabah senilai Rp 300 Miliar. Dana ini digunakan untuk transaksi saham tanpa sepengetahuan pemilik rekening, motifnya untuk menutup kerugian waktu krisis 2008.
Investasi dana milik nasabah tanpa sepengetahuan nasabah ini mengalami kerugian sehingga tidak bisa lagi dikembalikan ke pihak nasabah. Pada masa itu, Sarijaya sekuritas adalah kasus yang sangat besar dan menghebohkan. Setelah itulah baru muncul istilah RDN dan SRE

Rekening Dana Nasabah (RDN) adalah rekening tempat menyimpan Dana nasabah, hanya bisa dipindahkan untuk kepentingan pembayaran atas pembelian saham dan bunga hutang / denda atas transaksi margin. Sub Rekening Efek (SRE), adalah seperti RDN tapi yang disimpan adalah Efek Saham.
Jadi RDN menyimpan / sumber pembayaran uang hasil jual beli transaksi, SRE menyimpan efek sahamnya. Akses sekuritas atas rekening tersebut benar-benar terbatas. Sebelum kasus Sarijaya, uang untuk jual beli saham di transfer ke sekuritas dan efek sahamnya disimpan atas nama sekuritas juga.
Akibatnya jika perusahaan berniat buruk, sistem manajemen risiko dan compliance tidak berjalan, pemilik dapat memindahkan uang dan saham secara ilegal tanpa persetujuan dan pengetahuan pemiliknya. Selain RDN dan SRE atas nama nasabah, sekarang juga ada yang namanya Akses KSEI.
Dengan Akses KSEI, investor dapat melakukan crosscheck kebenaran data saldo uang RDN dan efek saham di sistem sekuritas. Bahkan sekarang sudah termasuk obligasi, reksa dana, dan semua produk pasar modal. Dengan cara ini, sekuritas tidak bisa menyalahgunakan RDN dan Efek nasabah.

Kenapa saya cerita tentang hal ini?
Beberapa waktu lalu dalam suatu lunch meeting, ada nasabah yang sharing tentang penawaran titip emas. Jadi emas dititipkan ke perusahaan dengan bunga 3%, selanjutnya emas ini akan diolah perusahaan tersebut. Entah kenapa, saya teringat Sarijaya.
Emas bukan instrumen di bawah pengawasan OJK, secara transaksi juga dilakukan di luar mekanisme bursa. Belakangan karena harganya terus naik, masyarakat berbondong-bondong membeli emas ini.
Pertanyaan berikutnya, selanjutnya mau diapakan emas yang sudah dibeli tersebut?
Biasanya kalau beli emas, cenderung akan disimpan dalam waktu lama. Kalau tidak ada kebutuhan mendadak / terpaksa / penting, biasanya emas jarang dijual walaupun harganya naik. Pengecekan harga emas juga tidak semudah seperti harga saham, ada versi Antam, toko emas, dan lainnya.
Jadinya emas itu lebih sering menginap di bawah bantal, kotak perhiasan, atau untuk yang memiliki akses, di Safe Deposit Box perbankan. Daripada diam saja, kenapa tidak disuruh kerja dan menghasilkan imbalan. Begitu masa titip selesai, dikembalikan, berharap harganya naik lagi.
Yang menjadi pertanyaan, apa jaminan emas yang dititipkan / “disekolahkan” ini pasti balik?Darimana sumber uang untuk membayar imbal hasil 3% atau berapapun itu?
Sebab emas bukan perusahaan, tidak ada kegiatan usaha yang jika untung bisa membayarkan dividen.
Kalau “disekolahkan” apakah pasti untung? Belum tentu.
Untuk yang model seperti ini, sebaiknya investor berhati-hati. Bentuknya bukan hanya emas, tapi sudah ke berbagai instrumen dengan skema serupa cuma namanya diubah-ubah saja dan terkadang ditambah istilah tech supaya terdengar keren.
Yang resmi dan bisa memberikan imbal hasil itu seperti Deposito, Saham, Obligasi, dan Reksa Dana. Tapi yang resmi sekalipun tetap ada risikonya. Deposito, bank bisa tutup sampai-sampai harus dijamin LPS maksimal Rp 2 Miliar. Obligasi bisa gagal bayar. Saham bisa tidak untung dan bahkan bangkrut.
Begitu pula reksa dana yang berinvestasi pada deposito, obligasi, dan saham memiliki risiko yang sama. Untuk itu, investor bisa menggunakan prinsip Legal dan Logis. Legal karena terdaftar di OJK, Logis jelas cara kerja dan sumbernya.
Semoga hari anda menyenangkan

Tinggalkan komentar