Tengah malam 16 Juli 2025 jam 01.09 waktu 🇺🇸, Trump mengumumkan di sosmednya tentang kesepakatan dagang dengan 🇮🇩. Tarif ekspor 🇮🇩 ke 🇺🇸 disepakati pada 19%, sebaliknya dari tarif dari 🇺🇸 ke 🇮🇩 dibebaskan, apakah Indonesia diuntungkan atau dirugikan dalam kesepakatan ini?

Indonesia adalah negara keempat yang mencapai kesepakatan dagang dengan US setelah Inggris, China, dan Vietnam. Tapi negara pertama yang berhasil nego dari 32% menjadi 19% setelah ditetapkan dalam putusan resmi. Untuk hal ini, kita patut berbangga. Tidak mudah deal dengan Trump.
Dari postingan di Truth (Media Sosial milik Trump), Indonesia berkomitmen untuk membeli :
– USD 15 Miliar produk energi (BBM dan Gas)
– USD 4.5 Miliar produk pertanian
– 50 Pesawat Boeing Jets
Memberikan akses ke produk pertanian dan peternakan bebas tarif dan non tarif

Yang dimaksud dengan hambatan Non Tarif antara lain
– Kuota impor
– Izin khusus atau lisensi
– Standar teknis dan mutu (SNI)
– Persyaratan label, kemasan
– Ketentuan administratif yang rumit
– Aturan keamanan, lingkungan, atau kesehatan
– Penundaan prosedur bea cukai
Poin pertama, membeli produk energi (BBM dan Gas) dari US sebesar USD 15 Miliar (Rp 243 T).
Indonesia surplus bata bara dan sawit, sehingga kita menjadi salah satu produsen dan eksportir terbesar di dunia. Tapi sayangnya Indonesia defisit minyak, sehingga untuk BBM harus impor. Selama ini, impor BBM terbesar adalah dari Singapore.
Singapore bukan produsen minyak, tapi punya penyulingan minyak dan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan Indonesia. Sehingga bensin yang diisi pada kendaraan anda, hampir semuanya dari Singapore. Pembelian BBM ke US ini bukan tambahan pembelian baru, tapi mengalihkan impor dari Singapore ke US saja dan merupakan produk yang dibutuhkan.
Apakah harganya lebih mahal / murah?
Asumsi karena Indonesia dan Singapore dekat berarti harusnya biaya akan lebih murah.
Berdasarkan ChatGPT, impor BBM dari Singapore ke Indonesia bebas bea masuk karena masuk dalam kesepakatan ASEAN. Tapi melihat perkembangan kasus hukum tata kelola BBM belakangan ini, ternyata meski lebih dekat, belum tentu jaminan lebih efisien. Jadi belum tentu lebih mahal juga.
Poin Kedua. Membeli produk pertanian USD 4.5 Miliar (Rp 72 T).
Berdasarkan ChatGPT yang mengambil data dari berbagai sumber, Indonesia mengimpor sekitar USD 3.5 – 4.5 Miliar per tahun selama 2022-2024. Jadi tanpa kesepakatan sekalipun, toh sebenarnya sudah berjalan seperti itu

Poin 3. Membeli 50 Pesawat Boeing.
Sebagai budak korporat, biasanya kalau perjalanan dinas menggunakan Garuda Airlines. Di antara semua Airlines Indonesia, yang setara baru Batik Air dan menurut saya Garuda yang terbaik (dan termahal) meskipun Batik juga ada nilai plusnya. Meski service bagus, harus diakui pesawat kita kalah “baru” jika dibandingkan dengan Airlines sejenis di luar negeri. Apabila pembelian pesawat ini bertujuan untuk peremajaan, maka sebetulnya adalah kebutuhan juga.
Harga Boeing 777-300ER sekitar USD 375.5 juta (Rp 6 T).
Beli 50 unit berarti Rp 6 T x 50 = Rp 300 Triliun
Umumnya pembelian pesawat dan pembuatannya, butuh waktu lama. Untuk 50 unit, bisa 5 – 10 tahun tergantung antrian (backlog), besaran order, dan hubungan negara. Sebelum Pandemi, backlog amat tinggi sehingga waktu tunggu lama.
Apakah 50 unit ini akan diambil semua oleh Group Garuda?
Ataukah akan dibagi dengan Group Lion dan lainnya?
Asumsi jika diambil oleh Group Garuda saja, Total Aset berdasarkan laporan keuangan Maret 2025 adalah Rp 106 T. Jika ada penambahan Rp 300 T, tentu perlu tambahan modal. Pembelian pesawat biasanya dilakukan dengan sistem pembiayaan dengan pinjaman jangka panjang antara 7-15 tahun. Secara historis, memang Airlines itu bisnis yang sangat sulit, modal besar, margin tipis dan sangat kompetitif. Untuk itu, dukungan shareholder sangat penting.
Apakah pembelian pesawat ini akan membuat trade defisit melebar?
Jika dibagi dalam 5-10 tahun menurut saya tidak
Dukungan shareholder terhadap Airlines dalam negeri menurut saya bisa menjadi sentimen positif juga. Hanya saja untuk harga tiket domestik yang tinggi masih jadi PR
Jadi secara umum, 3 poin kesepakatan dagang
1. Pembelian BBM –> Pengalihan dari Singapore
2. Pembelian Produk Agrikultur –> Jumlahnya kurang lebih sama dengan yang sudah terjadi
3. Pembelian Pesawat –> Perlu dukungan Shareholder untuk Airlines
Semuanya relatif positif
Bagaimana dengan pembebasan tarif masuk?
Selain produk agrikultur sebelumnya, Indonesia mengimpor produk high end seperti mesin, suku cadang otomotif dan pesawat, Migas, alat medis, dan kendaraan terlampir. Jika harganya turun karena bebas bea impor, harga akan lebih murah.



Indonesia selama 2024 melakukan impor sekitar USD 11 Miliar dari USA. Atas impor tersebut, dikenakan berbagai tarif dari 0% untuk kedelai, hingga 50% untuk kendaraan mewah. Asumsi rata-rata di 5-10%, maka pendapatan yang turun adalah USD 550 juta – 1.1 Miliar (Rp 8.9 – 17 Triliun).
Pendapatan yang hilang ini, jika dibandingkan dengan tarif yang relatif rendah di ASEAN terutama Vietnam dan Bangladesh (negara saingan untuk ekspor tekstil Indonesia), menurut saya masih worth it dengan asumsi negara lain tetap dengan tarif yang sebelumnya. Bagi pebisnis, tarif yang lebih rendah membuka peluang untuk ekspor ke USA. Bagi produsen, produk impor yang bebas tarif meningkatkan margin dan peluang harga diturunkan. Bagi konsumen, jika harga barang lebih murah, tentu lebih kocek friendly
Have a nice day

Tinggalkan komentar