Kasus Hukum 🇸🇬
Penggugat :
Tim Likuidasi – Park Management Hotel (PMH)
Tergugat :
Law Ching Hung (LCH) – Pemilik dan 3 perusahaan lain milik LCH
Perihal :
Sebelum PMH bangkrut, LCH memindahkan aset-aset perusahaan ke diri sendiri
Bagaimana caranya, mengapa ketahuan, apa putusannya?

Park Management Hotel Pte Ltd dalam kasus ini sebelumnya mengelola 2 hotel di 🇸🇬
1. Park Hotel Clarke Quay PHCQ
2. Grand Park Orchard GPO
Kedua hotel gagal bayar sewa karena pandemi Covid 19
Sekarang telah berubah nama
1. Riverside Hotel (Ascott)
2. Pullman Orchard (Accor)
Latar Belakang
Park Management Hotel memiliki 3 anak perusahaan yaitu GHPQ, GPO, dan Singapore Institute of Hospitality (SIH) yang bergerak di bidang pelatihan perhotelan.
Aset utamanya
1. Kontrak Manajemen Hotel (termasuk 2 hotel)
2. Merk dagang Park Hotel Group
3. SIH
Sampai dengan sebelum pandemi, PMH selalu dapat memenuhi kewajiban sewa kepada pemilik lahan dengan baik. Tapi nasib, pandemi datang dan jumlah wisatawan berkurang drastis. PMH selaku pihak yang memberikan corporate guarantee atas hutang GHPQ dan GPO mulai ditagih sewa pemilik.
PMH melalui anak perusahaannya, sempat memanfaatkan skema penundaan yang disediakan pemerintah 🇸🇬, dimana melalui skema ini
– ada penangguhan sementara untuk kewajiban sewa
– Menunda eksekusi corporate guarantee selama masa penangguhan
Hal ini memberikan waktu PMH beberapa bulan
Tidak disebutkan dengan jelas berapa biaya sewa GHPQ dan GPO, tapi mencapai puluhan juta SGD dollar. Total kewajiban berdasarkan corporate guarantee PMH > SGD 200 juta (sekitar Rp 2.5 T dengan kurs 12.650)
Sayangnya pandemi masih berlanjut dan keuangan belum pulih di 2020. Waktu penangguhan sementara berakhir, PMH kembali mengajukan settlement bertahap kepada pemilik lahan. Namun lagi-lagi ditolak, praktis hal ini menjadikan status perusahaan dalam keadaan insolven.
Negosiasi yang buntu ini rupanya membuat pemilik jadi “kreatif”.

Tindakan pemindahan aset dengan kronologi waktu sebagai berikut :
September 2020
Ada pembayaran dividen SGD 22 juta (Rp 278 M) kepada LCH selaku pemilik. Tapi tidak dibayar kas, melainkan offset Piutang LCH. Rupanya LCH pernah pinjam uang ke perusahaan, dengan dividen ini piutang lunas.
Januari 2021
Semua staf kunci hotel dipindahkan ke PHM dan perusahaan lain milik LCH dengan surat mutasi bertanggal mundur (back date) sebelum terjadinya insolvensi. Tujuannya untuk memindahkan “human capital” dan kemampuan operasional ke entitas baru.
Awal Maret 2021
Ada perjanjian dimana
1. Merk dagang Park Hotel Group dijual ke perusahaan milik LCH di bawah harga pasar
2. Pengalihan kontrak manajemen hotel ke PHG tanpa kompensasi wajar
3. Penjualan aset pelatihan hotel ke SIH
4. Pemindahan aset lain ke entitas terkait
Penjualan dan pengalihan dilakukan tanpa valuasi independen dan tidak ada pembayaran dalam bentuk tunai. Hanya jurnal antar perusahaan saja. Semua penerima aset dan pengalihan adalah perusahaan yang dimiliki dan dikendalikan LCH.
Akhir Maret 2021
Ada dividen SGD 5.9 juta (Rp 74 M) dengan cara yang sama seperti dividen pertama. Tanggal pembagian dibuat back date agar tampak diumumkan sebelum kondisi kas semakin memburuk.
Maret – April 2021
Transfer tunai ke rekening pribadi. Dilakukan dari rekening PHM ke langsung ke rekening LCH dan atau melalui anak perusahaan melalui berbagai kedok seperti biaya manajemen, biaya konsultasi, dan intercompany settlement ke rekening di Swiss.
Aset inti milik PHCQ dan GPO dipindahkan menjadi
– Aset Operasional ke PMH
– Merk Dagang ke Good Movement Holding – GMO (milik LCH)
– Unit pelatihan ke SIH
Dalam kasus ini, tim likuidasi menggugat LCH, dan 3 perusahaan PMH, GMO dan SIH.

Melalui investigasi oleh tim likuidasi, dokumen resmi, dan pemeriksaan saksi persidangan hal tersebut terbongkar
1. Pemeriksaan dokumen akuntansi dan bank
– ada dividen tapi tidak ada arus kas
– transfer dalam jumlah besar ke rekening pribadi LCH langsung via PMH atau anak usaha
2. Analisis perjanjian pengalihan aset
– dari salinan kontrak arsip perusahaan
– harga jual merek dagang dan kontrak manajemen jauh di bawah harga pasar
– pembayaran dalam bentuk jurnal, bukan tunai
3. Dokumen back date
– pemeriksaan silang dengan email dan metafile (hasil audit forensik) tidak sesuai, dimana dokumen dibuat jauh setelah dividen dan pengalihan dilakukan
4. Perpindahan pegawai
– Periode pindah tidak sesuai dengan catatan CPF (semacam BPJS Tenaga Kerja)
5. Hubungan antar perusahaan
– Melalui ACRA (semacam Kemenkum), diketahui pemilik asli perusahaan
6. Kesaksian karyawan
– Beberapa staf bekerjasama dengan tim likuidasi memberikan dokumen2 yang diperlukan
Apa pertimbangan dan putusan pengadilan?
1. Perusahaan sudah insolven (kewajiban > aset) akhir 2020
2. Kewajiban fidusia direktur, dimana LCH sebagai direktur wajib mengutamakan kepentingan kreditur ketika insolven, tidak mengambil keuntungan pribadi, dan tidak mengalihkan aset dengan niat merugikan kreditur
3. Pola Asset Stripping, pengalihan aset ke luar dengan nilai di bawah pasar saat sedang insolven
4. Pembayaran dividen saat sedang insolven dan bukan tunai, dianggap tidak sah unlawful distribution
5. Transfer tunai ke rekening pribadi di UBS, Swiss = penyalahgunaan dana perusahaan
6. Back date dokumen = menyamarkan transaksi dan sengaja menghindari kreditur
Keputusan
1. LCH melanggar fidusia sebagai direktur, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian PHM dan krediturnya, dan mengembalikan nilai aset dialihkan + bunga
2. Pembatalan transaksi pengalihan merk, kontrak, aset operasinal dan dividen
3. Ganti rugi finansial akibat transaksi yang akan ditentukan kemudian
4. Kemungkinan diskualifikasi LCH menjadi direktur di 🇸🇬
5. Membayar biaya pengadilan
Kesimpulan hakim, tindakan LCH adalah Deliberate stripping asset to defeat creditor, pengosongan aset secara sengaja untuk menghalangi kreditur, melanggar hukum perusahaan dan prinsip fidusia
Bagaimana menurut anda?
Referensi kasus
https://t.co/svYcZrmQdq

Tinggalkan komentar