Tulisan ini merupakan kelanjutan dari sharing sebelumnya yang membahas tentang reksa dana indeks dan ETF. Jika pada tulisan sebelumnya, lebih banyak membahas tentang reksa dana indeks, maka pada tulisan ini saya akan sedikit lebih banyak membahas tentang ETF. Apa itu ETF? ETF kepanjangan dari Exchange Traded Fund adalah Reksa Dana yang diperdagangkan di bursa. Pada negara yang sudah maju dunia finansial dan investasinya, umumnya pamor ETF jauh mengalahkan reksa dana konvensional terutama reksa dana saham. Seperti apa reksa dana ETF tersebut?
Asal mula munculnya ETF dan reksa dana indeks adalah dipicu dari suatu studi historis yang menunjukkan kenyataan bahwa ternyata kebanyakan reksa dana saham yang dikelola oleh Manajer Investasi AS (pada waktu itu) ternyata memiliki kinerja di bawah pasar. Jika dianalogikan ke kondisi Indonesia, bisa dikatakan bahwa kinerja reksa dana saham di Indonesia kinerjanya lebih rendah dibandingkan IHSG.
Karena kenyataan bahwa kinerja reksa dana saham kebanyakan di bawah kinerja pasar, mengapa tidak membuat saja kinerja reksa dana yang sama dengan pasar? Sebab hampir semua reksa dana dikelola dengan pengelolaan aktif. Pengelolaan aktif akan menyebabkan Manajer Investasi mengenakan biaya Manajemen yang relatif lebih besar. Selain itu, pengelolaan aktif juga akan menyebabkan Portfolio Turnover yang tinggi sehingga biaya transaksi juga besar. Semua biaya-biaya tersebut akan berujung pada Expense Ratio yang tinggi.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka terbentuklah reksa dana indeks dan ETF yang memiliki ciri-ciri Portfolio Turnover rendah (istilah lain bahwa reksa dana dikelola secara pasif, hanya buy and hold saja) dan Expense Ratio yang rendah. Secara umum, ETF dan reksa dana indeks yang dijelaskan pada artikel sebelumnya hampir sama, hanya saja ada beberapa keunikan ETF yang tidak dimiliki oleh reksa dana indeks antara lain:
- ETF bisa diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia dan atau Manajer Investasi. Sementara Reksa Dana Indeks hanya bisa dibeli dan dijual melalui Manajer Investasi saja. Buat sebagian orang, hal ini merupakan keunggulan, namun bagi sebagian yang lain hal ini justru menjadi kelemahan. Pertimbangan faktor tersebut antara lain:
- Pernahkah anda melihat bursa yang siangnya plus 1% – 2% sampai siang jam 12.00 dan kemudian menjadi kecil atau bahkan negatif pada sore harinya? Saya yakin kondisi ini sudah bolak-balik terjadi selama 3 bulan terakhir ini dan jika anda termasuk yang memutuskan profit taking reksa dana tentu pernah merasakan kekecewaan. Sudah berharap dapat profit 1-2% eh malah turun atau negatif. Dengan ETF, kecil kemungkinan kekecewaan (karena terjebak jual di harga siang) anda rasakan karena ETF bisa dijual siang harinya dengan kondisi ketika bursa +1% – 2% tersebut. Namun di sisi lain, jika siangnya Plus 1%-2% dan sorenya ternyata bisa sampai 3-4%, malah tambah bisa kecewa lagi. Untuk orang yang menyukai kepastian dan satu harga, pilihannya jatuh pada reksa dana indeks, sementara orang yang menyukai dinamika dan fleksibilitas, ETF bisa menjadi pertimbangan.
- Karena bisa ditransaksikan di bursa, maka bursa ETF dituntut untuk cukup aktif dan likuid. Sebagai ilustrasi, ada kategori saham LQ-45 dan Kompas 100 yang sahamnya selalu ditransaksikan dengan cukup aktif setiap hari. Sehingga investor yang memiliki saham kategori tersebut tidak akan menemukan kesulitan yang cukup berarti ketika ingin menjual sahamnya. Sementara ada lagi golongan saham tidur, yang terkadang bisa tidak ada transaksi selama berbulan-bulan. Sehingga meskipun untung, tapi mau dijual tidak ada yang beli. Hal inilah yang menjadi salah satu kendala perkembangan ETF di Indonesia. Pasar sekunder untuk ETF di Indonesia termasuk kurang aktif, maka investor yang sudah memiliki ETF cukup kesulitan menjual ETF pada pasar sekunder di Bursa Efek Indonesia meskipun sudah ada dealer partisipan.
- Kode untuk melihat harga ETF di bursa adalah R-LQ45X (ETF saham) dan R-ABFII (ETF Obligasi)
- Reksa Dana Konvensional dan Indeks hanya memiliki satu harga yang dihitung oleh Bank Kustodian. Sementara ETF memiliki 2 harga, yaitu harga yang dihitung oleh Bank Kustodian dan harga yang terbentuk dari transaksi pasar dimana harga tersebut bisa sedikit berbeda dengan harga yang dihitung oleh Bank Kustodian.
- Jika dalam reksa dana konvensional, pihak yang terlibat adalah Manajer Investasi dan Bank Kustodian, maka dalam ETF ada lagi satu pihak yang disebut dengan Dealer Partisipan. Fungsi dari dealer partisipan ini adalah mewujudkan likuiditas di pasar modal. Dalam bahasa yang lebih sederhana, mereka menjadi bandar, caranya mereka memasukkan bid dan offer untuk ETF dalam jumlah lot tertentu supaya investor bisa melakukan transaksi apabila tidak ada pembeli. Sepengetahuan saya untuk ETF LQ-45, terdapat 2 dealer partisipan yaitu PT. Indo Premier Sekuritas dan PT. Sinarmas Sekuritas. Sementara untuk ETF Obligasi hanya ada satu yaitu PT. Bahana Securities
- Jika pada reksa dana konvensional, pembelian unit penyertaan reksa dana dari Manajer Investasi dikenal dengan istilah Subscription, maka pada ETF disebut Unit Creation atau kreasi unit. Jika pada pembelian reksa dana, minimum pembelian cukup kecil, maka pada ETF cenderung lebih sulit karena Manajer Investasi wajib membentuk portofolio yang menyerupai indeks. Oleh karena itu, bagi investor yang ingin langsung membeli dari Manajer Investasi, minimum investasi yang dibutuhkan cukup besar. Sebagai contoh pada ETF LQ45, kreasi unit adalah minimum 1 juta unit, dengan indeks ETF sekitar 600 maka minimum pembelian adalah Rp 600 juta. Belakangan ini ada rencana untuk menurunkan kreasi unit menjadi 100.000 unit agar lebih bisa dijangkau pembeli perorangan. Sementara nominal untuk ETF obligasi bisa jauh lebih besar sebab untuk membeli 1 unit obligasi saja minimal diperlukan Rp 1 Milliar.
- Perbedaan terakhir adalah transparansi. Untuk hal ini, Reksa Dana Konvensional bisa dikatakan kalah jauh. Jika informasi seperti portofolio dan unit bisa diperoleh melalui fund fact sheet reksa dana yang diterbitkan 1-3 minggu setelah suatu bulan berakhir dan itupun hanya secara garis besar, isi portofolio ETF bisa diketahui secara jelas untuk seluruh instrumen investasi. Sebagai contoh bisa anda buka situs Bursa Efek Indonesia di ETF LQ-45 dan ETF-Obligasi.
Meski tidak membeli, tidak ada salahnya kita sedikit banyak mempelajari instrumen ini. Biasanya Indonesia mengikuti apa yang menjadi tren di dunia barat. Mulai dari tren HP (BlackBerry, Iphone, Samsung Galaxy), serial televisi (Master Chef, Indonesian Idol, dll), Franchaise (Seven Eleven, Circle K), dan banyak lagi tidak terlepas juga investasi. Jika ETF menjadi trend di sana, maka saya percaya suatu saat juga akan menjalar Indonesia, tinggal masalah cepat atau lambat. Hanya saja agar bisa demikian, pilihan dan regulasi ETF masih harus dikembangkan lagi. Pada artikel bagian 3 nanti, saya akan sedikit banyak membahas tentang pertimbangan untuk membeli ETF dibandingkan reksa dana konvensional.
Semoga artikel ini bermanfaat bagi anda.
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang.

Tinggalkan Balasan ke Henry Batalkan balasan