Memasuki bulan Juli, menandakan bahwa kita sudah memasuki semester II 2013. Tidak terasa memang, tahu-tahu kurang dari 6 bulan lagi sudah harus ganti kalender. Selama 6 bulan, perubahan yang terjadi di pasar modal Indonesia juga sangat fluktuatif. Dalam kesempatan ini saya ingin mereview kejadian penting yang terjadi selama semester I 2013 dan efeknya terhadap investasi khususnya reksa dana.
Tentu kita semua tahu, baru-baru ini pemerintah baru saja mengurangi subsidi Bahan Baku Minyak yang menyebabkan kenaikan harga Premium dan Solar. Untuk meredam efek kenaikan harga pemerintahpun memberikan Balsem kepada 15,5 juta rakyat miskin. Saya yakin para pemegang unit reksa dana bukan bagian dari 15,5 juta rakyat miskin tersebut sehingga tidak mendapat balsem dari pemerintah. Bagaimana sebenarnya efek dari kenaikan harga BBM ini terhadap pergerakan kinerja reksa dana?
Latar Belakang
Karena pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bagus dalam 1 dekade terakhir ini, maka wajar jika permintaan terhadap energi (BBM) juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Namun sayangnya permintaan yang tinggi ini tidak diiringi dengan kenaikan produksi, alhasil Indonesia menjadi importir minyak.
Predikat sebagai exportir dan negara penghasil minyak di masa lalu membuat bangsa kita terlena dengan harga minyak murah. Hasil alam yang berlimpah di masa lalu dianggap sebagai komoditi yang taken for granted sehingga tidak dipelihara dengan baik. Akibatnya kita terus menerus beranggapan bahwa harga BBM yang wajar adalah harga BBM bersubsidi.
Akibatnya dengan kombinasi permintaan yang semakin tinggi setiap tahun, kenaikan harga minyak internasional dan pemerintah harus mensubsidi BBM rakyat Indonesia, anggaran subsidi di negara membengkak dari tahun ke tahun. Saking bengkaknya, akhirnya terjadi defisit (Pengeluaran [salah satunya subsidi] lebih besar daripada pendapatan) yang angkanya bisa melebihi 3% atau batas yang diperbolehkan dalam undang-undang.
Kondisi inilah yang akhirnya membuat pemerintah mengambil keputusan untuk menaikkan BBM dan memberikan Balsem pada bulan lalu.
Pandangan Investor
Kenaikan harga BBM ini mungkin bukan berita yang menggembirakan bagi sebagian rakyat yang pendapatannya di bawah rata-rata, namun bagi para pemilik dana domestik ataupun internasional. Sebenarnya kenaikan harga BBM ini merupakan sesuatu yang sangat diharapkan.
Mengapa demikian? Bayangkan anda adalah pemilik dana yang mau menginvestasikan uang di suatu negara. Apakah anda akan memilih negara yang menggunakan pendapatannya untuk membangun jalan, bandara, pelabuhan, pembangkit tenaga listrik, MRT, memangkas birokrasi atau negara yang supaya disukai sama rakyatnya memberikan subsidi harga minyak? Sebetulnya mensubsidi rakyat itu tidak masalah jika negaranya kaya raya, kenyataannya negara kita tidak, dan kekurangan dana untuk membangun infrastruktur.
Bagi mereka yang kapitalis, bantuan dari pemerintah tidak terlalu penting, yang penting mereka disediakan tempat dan kenyamanan untuk berusaha, maka proses pasar akan terjadi dengan sendirinya. Dan kebanyakan pemegang dana, menurut saya, pikirannya memang agak kapitalis (mencari tempat dengan peluang terbaik).
Jadi di kepala para pemilik dana, lebih baik harga BBM sesuai harga pasar tapi barang bisa sampai di tujuan dalam 10 menit, daripada harga BBM setengah dari harga pasaran sekarang tapi untuk ke tempat yang sama dibutuhkan waktu 2 jam karena kemacetan di jalan. Dengan naiknya harga BBM, maka diharapkan ada dana yang lebih besar untuk membangun infrastruktur. Infrastruktur yang memadai akan membuat banyak proses bisnis menjadi lebih efisien, misalnya karena barang sampai lebih cepat, maka biaya transportasi berkurang sehingga pengusaha bisa menjual barang pada harga yang lebih kompetitif.
Efek Dari Ketidakpastian
Harga BBM sudah dinaikkan namun sebenarnya sudah terlambat. Sebab jika dinaikkan dari tahun sebelumnya dimana kondisi ekonomi sedang baik dan inflasi rendah, maka efek terhadap perekonomian akan lebih kecil jika dinaikkan saat ini dimana kondisi ekonomi kita bisa dibilang kurang begitu bagus. Apa saja yang kurang bagus? pertama karena BBM harus diimport, maka kita banyak mengeluarkan uang untuk membeli minyak ke luar negeri. Akibatnya dana yang dibayarkan keluar negeri lebih banyak daripada dana yang masuk, terjadilah yang disebut Current Account Deficit.
Current Account Deficit dan APBN pemerintah yang kurang sehat (kebanyakan subsidi) menyebabkan mata uang Rupiah melemah hingga tembus Rp 10.000. Selanjutnya untuk mengendalikan agar mata uang Rupiah tidak terus menerus melemah, maka pemerintah terpaksa menggunakan cadangan devisa. Akibatnya cadangan devisa juga terus menurun.
Di masyarakat secara riil, efek dari ketidakpastian adalah antisipasi. Karena mengantisipasi harga BBM akan naik, maka harga barang sudah dinaikkan duluan. Kenyataannya harga barang sudah dinaikkan dari jauh-jauh hari namun ternyata timing kenaikan BBM terus berubah. Harga barang yang naik memicu kenaikan inflasi. Tercatat, pemerintah merevisi target inflasi menjadi lebih tinggi daripada prediksi tahun sebelumnya.
Efek Terhadap Investasi
Rentetan dari kejadian di atas apakah berpengaruh ke investasi? Tentu, namun efek dari kejadian di atas lebih berpengaruh ke pasar obligasi daripada pasar saham. Sebab unsur yang mempengaruhi pasar obligasi lebih sedikit dibandingkan pasar saham. Inflasi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pasar obligasi, sementara di saham, inflasi memang berpengaruh, namun di sisi lain ada juga faktor valuasi dan fundamental perusahaan.
Kenaikan inflasi yang di luar dugaan ini membuat harga obligasi dinilai ulang. Sebab logikanya imbal hasil obligasi harus di atas inflasi. Jika inflasinya naik, tentu imbal hasil obligasi harus naik lagi. Dan di dunia obligasi, ketika imbal hasil obligasi naik, maka itu sama dengan penurunan harga obligasi. Turunnya harga obligasi tentu berpengaruh ke harga reksa dana yang berbasis obligasi. Di Indonesia, karena harga obligasi korporasi kurang likuid, maka efeknya lebih terasa ke harga obligasi pemerintah dan reksa dana pendapatan tetap dan campuran yang banyak komposisi obligasi pemerintahnya.
Sebagai contoh, selama semester I 2013, rata-rata harga reksa dana pendapatan tetap turun 2,91%. Sementara Harga Obligasi Pemerintah yang dicerminkan oleh Infovesta Government Bond Index turun 3,70%. Beberapa reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi pemerintah yang mengambil kebijakan agresif dengan memegang obligasi berdurasi panjang bahkan turun lebih dalam lagi.
Setelah Kepastian Kebijakan BBM, apa berikutnya?
Terlambat tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Dengan naiknya harga BBM bersubsidi ini, maka hal ini merupakan langkah awal untuk menuju APBN yang lebih efisien dan pembangunan infrastruktur yang lebih banyak. Memang hal ini tidak serta merta, tapi paling tidak sudah ada langkah permulaan. Dengan infrastruktur yang semakin efisien, maka logikanya harga barang akan semakin rendah dan tingkat inflasi kita juga akan semakin rendah dari waktu ke waktu.
Dalam konteks investasi, inflasi Year On Year Juni yang sekitar 5,9% masih belum mencapai puncaknya. Perkiraan inflasi Year On Year adalah sekitar 7.2% – 7.8%, dengan memperhitungkan efek lanjutan kenaikan BBM dan efek lebaran di bulan Agustus. Jadi jika inflasi masih bisa naik, maka imbal hasil obligasi juga akan naik lagi. Imbal Hasil Obligasi Naik = Harga Obligasi turun, jadi harga obligasi masih bisa turun lagi.
Tapi apakah akan turun sedalam kondisi sekarang sama halnya seperti semester I 2013? Rasa-rasanya tidak. Imbal hasil obligasi negara Indonesia acuan (10 tahun) saat ini berada di sekitar 7.2% – 7.3%. Mengingat asumsi inflasi yang berkisar antara 7.2% – 7.8% ini adalah asumsi dengan mempertimbangkan kenaikan BBM dan tahun depan tentunya akan turun lagi, maka level valuasi sekarang sudah bisa dikatakan wajar atau bahkan agak murah. Dalam bahasa yang sederhana, bottom dari harga obligasi mungkin sudah agak terlihat, dan harganya diperkirakan bisa naik.
Dalam artikel Persiapan Menjadi Investor Reksa Dana 2013 dimana saya mewanti-wanti valuasi obligasi sudah mahal, kini sudah berubah. Valuasi obligasi tidak lagi mahal, tapi sudah wajar atau bahkan agak murah. Satu-satunya hal yang bisa membuat harga obligasi kembali jatuh adalah jika kenaikan inflasi yang melebihi target pemerintah.
Demikian artikel ini saya sampaikan, semoga bermanfaat untuk anda semua.
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.


Tinggalkan komentar