Apakah Amerika Serikat Akan Mengalami Resesi di Tahun 2020 ?

Ilustrasi : Thinkstock – Kompas.com

Pada bulan November 2018 ini, terdapat beberapa perkembangan indikator ekonomi yang cukup menggembirakan seperti kurs nilai tukar Rp terhadap USD ke level 14.500an, harga minyak yang turun, dan kenaikan harga yang cukup signifikan terjadi pada harga saham, obligasi dan reksa dana. Apa penyebabnya?

Ada analisis yang menyatakan bahwa ini hasil dari sentimen domestik seperti kebijakan yang dilakukan oleh BI dan pemerintah seperti penyediaan sarana hedging mata uang domestik (Non Delivery Forward – NDF), kebijakan minyak sawit pada BBM yang dikenal B20, kenaikan suku bunga the Fed, pembatasan upaya spekulasi mata uang asing, data inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang baik, hingga valuasi saham dan obligasi yang sudah sangat menarik sehingga asing kembali masuk ke Indonesia.

Ada juga analisis yang menyatakan bahwa ini hasil dari sentimen eksternal seperti harga minyak yang turun cukup drastis sehingga berpotensi mengurangi beban defisit transaksi berjalan (current account deficit), hasil dari Pemilu Sela (Midterm Election) di Amerika Serikat dimana partai Demokrat menguasai kursi DPR sehingga diperkirakan kebijakan Presiden Donald Trump akan lebih mendapatkan kontrol dan pengawasan, hingga prediksi yang menyatakan Amerika Serikat akan mengalami resesi pada tahun 2020.

Pada kenyataannya sangat sulit untuk menentukan 1 faktor yang tunggal dan dominan yang menjelaskan suatu kondisi perekonomian. Yang lebih sering adalah gabungan dari beberapa faktor tersebut.

Ada satu hal yang terus terang menarik perhatian saya, yaitu perihal prediksi Amerika Serikat akan mengalami resesi pada tahun 2020. Mengapa prediksi ini bisa muncul di tengah data-data perekonomian AS yang membaik seperti tingkat inflasi rendah dan pertumbuhan ekonomi bahkan di atas target? Continue reading “Apakah Amerika Serikat Akan Mengalami Resesi di Tahun 2020 ?”

Advertisement

IHSG di Tahun Politik 2004 – 2009 – 2014

What's Next?

Pergerakan nilai tukar Rp terhadap USD yang beberapa kali sempat menyentuh Rp 15.000 dan harga saham obligasi yang menurun di tahun 2018 (sampai dengan awal September ini) menjadi perhatian bagi investor reksa dana. Banyak pertanyaan seperti sampai di level berapa IHSG dan Rp akan melemah, apakah sebaiknya dilakukan cutloss atau malah masuk kembali, dan berapa target IHSG di akhir tahun.

Terus terang, sampai di level berapa IHSG dan Rp dan kira-kira di akhir tahun nanti IHSG bisa ada di berapa, saya tidak tahu. Faktor-faktor yang memberikan sentimen negatif seperti rencana kenaikan suku bunga, perang dagang antara US dengan China,  harga minyak yang tinggi (sehingga menyebabkan kebutuhan USD semakin besar), dan krisis mata uang yang menimpa negara berkembang lain seperti Turki, Argentina, Iran, dan terakhir Afrika Selatan kelihatannya masih belum akan berubah dalam waktu dekat.

Namun yang jelas, saya melihat adanya kehadiran dan upaya yang sangat keras dari pemerintah untuk menjaga situasi perekonomian. Mulai dari kenaikan suku bunga BI Rate, menurunnya cadangan devisa yang dipergunakan untuk intervensi nilai tukar, penggunaan biodiesel untuk bahan bakar solar, penetapan tarif impor untuk barang tertentu, dan berbagai himbauan untuk menukarkan USD dan menggunakan produk dalam negeri telah dilakukan.

Meskipun tidak serta merta dapat mengangkat nilai tukar, paling tidak bisa menahan agar nilainya tidak turun secara signifikan dibandingkan dengan negara lain. Nilai tukar mata uang yang melemah biasanya menjadi sentimen negatif bagi harga saham dan obligasi, sehingga berdampak pula terhadap kinerja reksa dana.

Bagi investor yang merasa sangat tidak nyaman dengan kondisi yang ada, sebagai pemilik dana adalah hak mutlak untuk melakukan pengalihan (switching) ke jenis reksa dana yang lebih konservatif seperti reksa dana pasar uang atau pendapatan tetap. Namun untuk investor yang masih sabar dan berorientasi jangka panjang, biasanya pada tahun politik dimana pemilihan Presiden dilakukan, kinerja IHSG selalu positif. Hal ini terlihat dari statistik IHSG di tahun 2004, 2009 dan 2014 yang masing-masing positif sebesar 44.56%, 86.98% dan 22.29%.

Yang menjadi pertanyaan, pada saat kapan kenaikan di IHSG terjadi? Apakah sebelum, pada saat atau sesudah pemilihan dilakukan? Bagaimana pula analisanya untuk tahun 2019 ini ? Berikut hasil data dan analisanya. Continue reading “IHSG di Tahun Politik 2004 – 2009 – 2014”

Jamu Pahit, Jamu Manis…

Jamu

Jangan salah paham, blog ini masih fokus dengan pembahasan seputar dunia keuangan dan investasi. Saat ini saya belum berniat banting setir ke industri obat tradisional 😎 . Judul ini terinspirasi dari kutipan wawancara dengan Bank Indonesia beberapa waktu yang lalu.

Dalam penjelasan terkait pengumuman kenaikan BI Rate dan relaksasi moneter yang lalu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengibaratkan bank sentral memberi jamu pahit dan jamu manis dalam menjaga stabilitas dan meningkatkan pertumbuhan. (Referensi : Perry Warjiyo: ‘Jamu Pahit’ BI Akan Terasa 9 Bulan Lagi)

Kenaikan BI Rate diibaratkan sebagai “Jamu Pahit”. Sebab secara teori ekonomi, kenaikan suku bunga BI Rate akan diikuti dengan penyesuaian suku bunga deposito dan suku bunga kredit di perbankan walaupun tidak serta merta. Kenaikan suku bunga kredit akan menyebabkan biaya pinjaman meningkat sehingga dikhawatirkan memperlambat pertumbuhan.

Namun dari sudut pandang finansial, kenaikan BI Rate akan membuat daya tarik surat utang Indonesia menjadi semakin menarik  sehingga investor asing membeli atau minimal berhenti keluar dari Indonesia. Hal ini diharapkan akan membuat nilai tukar Rp bisa menguat terhadap USD.

Sementara relaksasi yang diibaratkan sebagai “Jamu Manis” adalah kebijakan tentang :

  1. Pemberian kewenangan kepada Bank yang memenuhi syarat untuk menentukan besaran DP untuk rumah pertama dari sebelumnya minimal 10-15%
  2. Menyesuaikan pengaturan tahapan dan besaran pencairan kredit/ pembiayaan properti inden, dimana sebelumnya rumah / hunian mesti sudah dibangun pondasi dulu baru 40% dari pinjaman dicairkan dari pihak bank ke developer menjadi sudah dicairkan 30% pada saat akad kredit

Dengan DP yang lebih rendah, tentu berpotensi meningkatkan jumlah pembeli rumah. Walaupun dalam pendapat saya pribadi, selama ini kebijakan DP rendah atau bahkan 0 sebenarnya sudah  diterapkan oleh berupa cicilan DP ke developer. Yang lebih mengena adalah percepatan pencairan ke pihak developer.

Berdasarkan aturan yang lama, apabila pembeli menggunakan pilihan KPR, maka developer baru mendapat 40% pada saat pondasi selesai. Artinya sebelum pondasi selesai, developer harus memutar otak untuk membiayai pembangunan rumah. Bagi developer yang tidak memiliki modal yang cukup atau nilai penjualannya tidak mencapai target, bisa jadi properti yang dijanjikan gagal terbangun.

Dengan adanya percepatan dimana developer sudah mendapat 30% pada saat akad kredit disetujui, maka kebutuhan akan pembiayaan akan lebih ringan sehingga proyek bisa langsung dijalankan. Tentu, kemampuan developer dalam membangun sesuai rencana, mencapai target penjualan dan mengelola keuangan juga penting.

Sektor properti merupakan sektor yang banyak turunannya. Mulai dari bahan baku seperti semen, baja, cat, dan kaca; penyerapan pekerja dan tukang serta konsumsinya selama pembangunan; mebel dan desain interior; agen properti; kredit perbankan dan sebagainya.

Sektor properti yang tumbuh secara sehat dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Yang dimaksud dengan sehat adalah properti berkembang, namun harganya tidak terlalu tinggi sehingga masih terjangkau oleh masyarakat.

Bagaimana efek dari kebijakan ini terhadap investasi saham dan obligasi ? Mengapa setelah kebijakan ini dilakukan nilai tukar Rp masih bergerak “liar” ? Analisis saya adalah sebagai berikut : Continue reading “Jamu Pahit, Jamu Manis…”

Fluktuasi Rupiah dan Dampaknya Terhadap Kinerja Reksa Dana

Gambar Kompas

Penurunan tajam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan harga obligasi selama beberapa ini menjadi perhatian media dan masyarakat. Penurunan ini berdampak pada menurunnya Nilai Aktiva Bersih Per Unit Penyertaan (NAB per UP) kinerja reksa dana baik yang berbasis saham maupun pendapatan tetap.

Entah kebetulan atau tidak, penurunan ini berbarengan dengan menguat nilai tukar USD terhadap Rp, dimana beberapa kali sempat mendekati Rp 14.000 / USD. Apakah penguatan nilai tukar ini menjadi penyebab menurunnya kinerja reksa dana sehingga perlu diwaspadai ke depannya?

Untuk mengetahui hal tersebut, perlu dilakukan penelitian terhadap data historis untuk nilai tukar, kinerja saham dan kinerja obligasi pemerintah dari tahun 2002 hingga 25 April 2018. Hasilnya sebagai berikut : Continue reading “Fluktuasi Rupiah dan Dampaknya Terhadap Kinerja Reksa Dana”

Apa Efek Kenaikan Fed Fund Rate (FFR) Terhadap IHSG ?

Rising interest rates

Jika tidak ada perubahan yang signifikan, seharusnya Suku Bunga Acuan Amerika Serikat atau dikenal dengan Fed Fund Rate (FFR) akan dinaikkan dari level 1.25% – 1.50% menjadi 1.50% – 1.75% pada tanggal 22 Maret 2018 nanti. Kebetulan atau tidak, menjelang kenaikan ini, Indeks Harga Saham Gabungan mengalami fluktuasi yang cukup signifikan selama bulan Februari dan Maret 2018. Bagaimana efek kenaikan FFR ini terhadap IHSG?

Efek perubahan FFR terhadap IHSG dapat dibagi dalam periode jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka panjang, saya berpendapat kenaikan FFR ini positif bagi perekonomian Global dan Indonesia karena alasan untuk mengendalikan agar tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak terlalu tinggi. Kenapa tinggi itu tidak baik? Pertumbuhan dan inflasi yang terlalu tinggi bisa menyebabkan bubble pada ekonomi sehingga rentan dengan penurunan. Dengan menaikkan suku bunga, tingkat pertumbuhan akan relatif lebih terjaga. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka seharusnya kenaikan FFR ini akan lebih banyak memberikan manfaat daripada mudarat bagi Indonesia.

Dalam jangka pendek agak berbeda. Sebab masih ada pandangan bahwa kenaikan FFR akan menyebabkan dana asing keluar dari Indonesia, harga saham dan obligasi akan terkoreksi dan sebagainya. Pandangan tersebut tidak bisa dikatakan salah, karena dalam jangka pendek memang terkadang penurunan di saham, obligasi dan nilai tukar memang terjadi. Hanya saja belum jelas apakah penyebabnya kenaikan FFR atau penyebab lainnya. Terkadang hanya dikait-kaitkan saja dan tidak konsisten. Artinya dalam kenaikan kali ini berdampak, tapi pada kondisi serupa di waktu lain belum tentu sama.

Dalam tulisan ini, saya bermaksud untuk mencari dalam jangka pendek, apakah ada efek kenaikan FFR terhadap IHSG? Jika terjadi koreksi, berapa % koreksi yang mungkin terjadi. Periode jangka pendek yang saya maksud adalah 1 bulan sebelum dan sesudah kenaikan FFR. Data, penelitian dan hasilnya sebagai berikut Continue reading “Apa Efek Kenaikan Fed Fund Rate (FFR) Terhadap IHSG ?”