Masih tentang mahal dan murah, kali ini saya akan membahas tentang konsep Mahal Murah pada Saham dan Obligasi. Dalam teori investasi, umumnya dipelajari berbagai cara untuk menentukan suatu instrumen investasi, apakah suatu saham atau obligasi, terlalu mahal (overvalued) atau terlalu murah (undervalued). Meski demikian, membandingkan antara Obligasi dan Saham yang sejak awal memiliki karakteristik yang berbeda serta menentukan mana yang lebih mahal itu ibarat membandingkan “Apel Malang” dengan “Apel Washington“. Sama-sama rasanya apel, tapi yang satu belinya pakai Rupiah, satunya lagi menggunakan Dollar. Tentu anda bisa bilang, kalau gitu, tinggal dikalikan kurs saja pak? Benar sekali, namun bagaimana membuat obligasi dan saham memiliki “kurs” yang sama sehingga bisa dibandingkan satu sama lain?
Salah satu cara yang sering digunakan untuk menilai mahal murah obligasi adalah dengan cara membandingkan antara Yield to Maturity (YTM) dengan tingkat keuntungan yang diharapkan investor (Expected Return). Apabila YTM lebih besar dari Expected Return maka dikatakan obligasi murah dan sebaliknya jika YTM lebih kecil dari Expected Return maka dikatakan obligasi mahal. Untuk saham, salah satu cara yang dipergunakan adalah menggunakan PER (Price Earning Ratio). Jika PER di atas rata-rata (katakan) 5 tahun terakhir maka dikatakan secara valuasi harga saham sudah mahal dan sebaliknya murah jika di bawah. Ada 2 referensi artikel tentang PE Ratio yang sudah pernah saya tulis, anda bisa baca-baca kembali sebagai referensi:
- Apa yang sebaiknya dilakukan investor saat ini (Agustus 2011)?
- Strategi Investasi di Tengah Kemelut Pasar
Jika anda pelajari lebih lanjut, sebetulnya konsep tentang YTM dan PE Ratio masih dapat dikembangkan lebih lanjut sehingga kita bisa membandingkan Saham dan Obligasi secara apple to apple. Konsep yang ingin saya perkenalkan disini disebut Earning Yield. Earning Yield secara teoritis adalah persentase keuntungan dari investasi saham yang berasal dari keuntungan perusahaan. Earning Yield (EY) dihitung dengan cara 1 / PER. Misalnya suatu saham memiliki PER = 10, maka EYnya adalah 1/10 = 10%. Untuk lebih jelasnya saya berikan ilustrasi sebagai berikut:
- Suatu perusahaan memiliki keuntungan bersih sebesar Rp 100 juta per tahun
- Harga pasar dari saham tersebut adalah Rp 1 Milliar.
- Harga Pasar / Keuntungan Bersih menghasilkan PE Ratio sebesar 10 x (10 kali~ cara baca PE Ratio)
- Bagi anda yang berkecimpung di kewirausahaan disebut 10 x ini sama dengan tahun yang dibutuhkan agar balik modal
- Bagi dunia investasi, sebetulnya cukup sederhana, kalau investasi Rp 1 Milliar menghasilkan Rp 100 juta per tahun maka sama dengan untung 10% per tahun dan 10% tersebut disebut Earning Yield. EY bisa dihitung dengan 1/PER atau Keuntungan Bersih / Harga Pasar.
Selanjutnya setelah kita mendapatkan Earning Yield saham dan Yield to Maturity obligasi, maka langkah selanjutnya adalah membandingkan kedua angka tersebut.
- Apabila Earning Yield Saham > Yield to Maturity Obligasi, maka dikatakan Saham lebih MURAH dibandingkan Obligasi
- Apabila Earning Yield Saham < Yield to Maturity Obligasi, maka dikatakan Saham lebih MAHAL dibandingkan Obligasi
Earning Yield pada prakteknya juga digunakan sebagai salah satu pertimbangan oleh Manajer Investasi untuk menentukan aset alokasi, apakah saat ini harus lebih banyak ke saham atau ke obligasi.
Praktek Penggunaan EY dan YTM
Pada saat dipraktekkan, tentu pertanyaannya EY dari saham mana yang dipergunakan. Ada lebih dari 500 emiten di bursa saat ini. Ada saham yang aktif ada pula yang tidak. Ada saham yang perusahaannya untung dan ada pula yang rugi. Umumnya untuk penggunaan saham digunakan indeks saham secara keseluruhan atau indeks yang dianggap mencerminkan kondisi secara keseluruhan seperti LQ-45 atau Kompas-100. Bagaimana dengan obligasi? Obligasi juga tidak kalah komplit, selain ada obligasi negara dan obligasi korporasi, jatuh tempo juga berbeda-beda pula. Dari 1 tahun hingga 30 tahun. Secara rule of thumb, obligasi yang dianggap mencerminkan acuan suatu negara adalah Yield Obligasi Negara (dengan jatuh tempo) 10 Tahun.
Jadi dengan membandingkan Earning Yield dari (misalnya LQ-45) dan Yield Obligasi Indonesia 10 tahun, kita bisa menentukan apakah sekarang kondisi saham lebih mahal atau lebih murah dibandingkan dengan harga obligasi. Dengan menggunakan data yang bersumber dari www.infovesta.com, perbandingannya adalah sebagai berikut:
Sumber : www.infovesta.com, diolah
Perbandingan di atas menunjukkan selama 1 minggu terakhir, Saham sudah lebih Murah dibandingkan Obligasi. Secara teoritis, saat ini membeli saham lebih baik dibandingkan obligasi karena secara valuasi lebih murah. Namun hal ini bukan berarti harga saham akan naik dan harga obligasi akan turun atau sebaliknya. Meski valuasi merupakan faktor yang memiliki peran cukup penting dalam menentukan naik turunnya harga, namun faktor pengaruh dari luar seperti potensi kenaikan inflasi dan faktor permintaan & penawaran asing (karena krisis minyak Iran, krisis Eropa, kondisi AS) juga terkadang memberikan pengaruh yang signifikan.
Kepada anda yang memiliki portofolio berimbang antara saham dan obligasi atau reksa dana saham dan pendapatan tetap, ada baiknya faktor valuasi menjadi salah satu tambahan pertimbangan anda dalam mengambil keputusan. Semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semua.
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Seluruh tulisan di atas merupakan opini pribadi.

Tinggalkan komentar