Tidak terasa, 6 bulan pertama dari 2015 sudah kita lewati. Jika ada evaluasi terhadap kinerja pemerintahan dan perusahaan terkait pencapaian dan realisasinya, tentu kita juga bisa melakukan evaluasi terhadap industri reksa dana juga.
Memang harus diakui bahwa kinerja reksa dana, terutama reksa dana saham dan campuran yang berbasis saham tidak begitu menggembirakan. Bukan hanya tidak mencapai target return, kedua reksa dana tersebut bahkan merugi. Apabila anda menjadi investor pada periode tersebut tentu merasakannya.
Nah, Bagaimana gambaran perkembangan industri reksa dana secara komprehensif selama semester I 2015 ini ?
Kinerja Reksa Dana
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kinerja reksa dana dibandingkan benchmark, mari kita lihat grafik perbandingan di bawah sebagai berikut :
Reksa Dana Pasar Uang (RDPU) dan Reksa Dana Pendapatan Tetap (RDPT)
Jika dihitung dari awal tahun, sebagaimana pada tabel di atas kita bisa melihat bahwa jenis RDPU dan RDPT merupakan jenis reksa dana yang membukukan keuntungan. Bahkan keuntungan paling tinggi dibukukan oleh RDPU dengan 3.15%, lebih tinggi dibandingkan RDPT yang 1.86%. Mengapa RDPU bisa memberikan keuntungan lebih tinggi, bukankah ada komponen obligasi dalam kedua reksa dana ini ?
Kebijakan investasi di RDPU adalah 100% pada instrumen pasar uang, sementara di RDPT minimum 80% di instrumen obligasi. Pasar Uang hampir mirip dengan obligasi tapi bukan. Definisi instrumen pasar uang adalah surat berharga yang jatuh temponya kurang dari 1 tahun. Dengan demikian deposito, giro dan obligasi yang jatuh temponya kurang dari 1 tahun masuk dalam kategori ini. Sementara obligasi sendiri didefinisikan sebagai surat hutang yang jatuh temponya di atas 1 tahun.
Jadi dalam bahasa sederhana, pasar uang itu ibarat deposito yang bunganya lebih tinggi karena yg memberikan bunga bukan bank yg dijamin LPS tapi perusahaan yang membutuhkan dana sehingga risikonya lebih tinggi.
Karena jatuh temponya di bawah 1 tahun, maka umumnya sudah hampir tidak ada fluktuasi harga yang berarti dan harganya juga sudah atau mendekati harga nominalnya. Untuk itu, RDPU selalu bergerak naik sejalan dengan pendapatan bunga deposito dan kupon obligasi yang diterimanya.
Dengan asumsi return 3.15% selama 6 bulan bisa bertahan hingga akhir tahun, berarti kinerja reksa dana pasar uang dalam 1 tahun cukup dikalikan 2 yaitu 6.3%. Hasil tersebut sudah net atau dipotong pajak 20%. Jika diasumsikan sama dengan deposito, berarti sama dengan bunga 7.87% Deposito sebelum pajak. Cukup lumayan mengingat RDPU bisa dicairkan kapan saja tanpa penalti dan biaya.
Kondisi berbeda dihadapi oleh RDPT yang berinvestasikan pada obligasi. Selama tahun 2015, inflasi agak sulit diprediksi karena sejak akhir tahun lalu menganut kebijakan harga BBM bisa naik dan turun. Meski sempat turun, harga BBM kembali naik karena pelemahan USD. Ditambah dengan kenaikan harga komoditas, inflasi agak tinggi pada semester I 2015 walaupun masih agak terkendali. Di sisi lain ada kemungkinan kenaikan suku bunga AS, oleh karena itu harga obligasi agak menurun 1-2 bulan terakhir walaupun secara akumulasi dari awal tahun masih naik sebagai bentuk antisipasi atas risiko tsb.
Reksa Dana Campuran (RDC) dan Reksa Dana Saham (RDS)
Meksi namanya Campuran, pada kenyataannya banyak RDC di Indonesia isinya lebih banyak di saham. Akibatnya pergerakan RDC juga ikut fluktuatif bahkan terkadang sama atau bahkan lebih fluktuatif dibandingkan RDS. Tidak jarang juga terkadang ada RDC yang dalam jangka panjang ternyata returnnya lebih tinggi dari RDS.
Sebaliknya ada juga beberapa reksa dana campuran yang komposisi obligasinya sangat dominan. Bahkan sudah sama atau bahkan memiliki risiko yang lebih konservatif dibandingkan RDPT. Akan tetapi untuk yang jenis ini jumlahnya tidak banyak, dana kelolaannya juga tidak terlalu besar.
Komposisi yang besar pada saham merupakan penyebab utama mengapa rata-rata RDC merugi hingga semester I tahun 2015 ini meskipun dalam periode yang sama harga obligasi naik. Kinerja saham pada semester II akan lebih menentukan kinerja RDS dan RDC pada semester II 2015 ini.
Perkembangan Dana Kelolaan
Meski kinerja RDS dan RDC kurang begitu baik selama semester I 2015, dana kelolaan tetap tumbuh. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak investor yang memahami pentingnya investasi jangka panjang dan juga ada investor yang memanfaatkan penurunan dana sebagai kesempatan untuk melakukan penambahan. Perkembangan dana kelolaan sejak Desember 2013 adalah sebagai berikut :
Perkembangan Industri Reksa Dana Juni 2015
Dalam Milliar Rupiah

Sumber : http://www.infovesta.com, diolah. Tidak termasuk RD Dollar, RD Penyertaan Terbatas dan KPD
Dibandingkan posisi pada akhir 2014, dana kelolaan naik sekitar 9.95%. Hal ini masih sejalan dengan target 20% per tahun yang dicanangkan oleh asosiasi pengelola reksa dana.
Jika dibagi lagi sesuai jenisnya yaitu Reksa Dana Konvensional (RDS, RDC, RDPT dan RDPU), Reksa Dana Terstruktur (RD Indeks dan RD Terproteksi) dan jenis lainnya (ETF), perkembangannya sebagai berikut :
Perkembangan Industri Reksa Dana Per Segmen
Dalam Milliar Rupiah
Sumber: http://www.infovesta.com, diolah
Sebagaimana kita lihat pada tabel di atas, jenis reksa dana saham merupakan jenis yang mendominasi dengan dana kelolaan di atas 105 Triliun. Selanjutnya disusul reksa dana terproteksi 54 T, reksa dana pendapatan tetap 39 T, reksa dana pasar uang 27 T, reksa dana campuran 19 T, ETF 3,6 T dan reksa dana indeks kurang dari 1 T.
Hal ini sedikit banyak menunjukkan profil investor reksa dana Indonesia yang condong ke risiko secara ekstrem. Maksudnya mau risiko sekalian di reksa dana saham, kalau mau aman sekalian di terproteksi atau pendapatan tetap. Untuk jenis campuran dari tahun 2013 praktis hanya stagnan saja. Bahkan dalam 6 bulan, RDPU menunjukkan kenaikan dana kelolaan yang signifikan meskipun secara total masih lebih kecil dibandingkan jenis reksa dana lainnya.
ETF juga merupakan salah satu jenis reksa dana yang perkembangannya cukup pesat. Sejak akhir 2013, sudah naik lebih dari 75%. Hal ini menunjukkan pemahaman investor semakin berkembang dengan baik.
Outlook Obligasi dan Saham Semester II
Menjadi pertanyaan bagaimana outlook obligasi dan saham pada semester yang akan datang ? Akankah pola yang sama dengan semester I akan terulang? Ataukah jenis saham bisa membalikkan situasi dan mengalahkan obligasi. Analisa saya secara sederhana adalah sebagai berikut.
Untuk obligasi, secara teori harga obligasi mengikuti tren inflasi dan suku bunga. Jika inflasi dan suku bunga atau ekspektasi akan inflasi dan suku bunga naik, maka harga obligasi akan turun dan sebaliknya. Jadi, jika ingin mengetahui tren harga obligasi maka kita harus menebak terlebih dahulu tren inflasi dan suku bunga, apakah mau naik atau turun.
Target pemerintah untuk inflasi 2015 adalah 4% +-1%, atau 3 – 5%. Saat ini inflasi YoY Juni 2015 ada di kisaran 7% atau lebih tinggi dari target pemerintah. Namun hal ini tidak menjadi kekhawatiran karena inflasi yang tinggi ini lebih banyak dikontribusikan dari kenaikan BBM di bulan November dan Desember 2014. Jadi jika hanya menghitung inflasi di tahun 2015 saja, sebenarnya masih rendah dan sesuai target pemerintah.
Dari informasi yang saya baca, seharusnya tingkat inflasi pada akhir tahun diperkirakan akan ada di kisaran 4.2%. Secara matematis, berarti lebih rendah dibandingkan inflasi pada tahun 2014 yang sebesar 8.36%. Bahkan kalaupun prediksinya gagal dan mencapai 5%, tetap saja turun signifikan dibandingkan tahun lalu. Jadi secara teori, inflasi turun maka suku bunga juga akan turun.
Nah permasalahannya, tingkat suku bunga tidak hanya ditentukan inflasi semata tapi juga kurs mata uang. Dalam kondisi defisit neraca perdagangan dan potensi kenaikan suku bunga di Amerika Serikat, maka menurunkan suku bunga dalam kondisi ini dikhawatirkan akan melemahkan mata uang.
Jadi secara teori sudah bisa turun, namun secara psikologis ada aspek lain yang harus diantisipasi. Saya memperkirakan bahwa kemungkinan kalaupun tidak turun tahun ini, ada kemungkinan besar suku bunga bisa turun tahun depan. Hanya saja persentase penurunanannya tidak bisa besar mengingat ada risiko perubahan suku bunga AS yang harus diantisipasi. Tapi ekspektasinya turun.
Dengan asumsi tersebut, kemungkinan harga obligasi kembali naik pada semester II ini cukup besar tapi tidak dengan persentase perubahannya.
Untuk saham, saat ini bisa dibilang penyebab turunnya harga saham adalah kinerja para emiten yang dibawah ekspektasi, baik mengalami penurunan pendapatan dan laba bersih, bahkan rugi dan kekecewaan terhadap kinerja pemerintahan atas keterlambatan pembangunan infrastruktur serta kisruh politik yang tidak berkesudahan.
Untuk kinerja emiten, memang saat ini dalam siklus penurunan, namun hal ini tidak terhindarkan sebab perlambatan ekonomi bukan hanya masalah Indonesia saja tapi juga global. Salah satu hal yang bisa menggairahkan perekonomian adalah realisasi pembangunan infrastruktur oleh pemerintah.
Jika bisa dilakukan percepatan pada semester II, maka kemungkinan dana akan mengalir ke dalam perekonomian dan meningkatkan pendapatan perusahaan. Hanya saja prosesnya mungkin tidak bisa instan sehingga baru bisa dirasakan di kuartal IV tahun ini atau bahkan mungkin tahun depan.
Jika proses tersebut berjalan dengan lancar, kemungkinan harga saham pada semester II ini bisa bergairah kembali, namun jika kembali terhambat karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengeksekusi program, sepertinya belum ada angin segar ke bursa saham.
Jadi untuk saham, kinerja pemerintah menjadi salah satu faktor penentu utama. Dari sisi probabilitas, berarti kemungkinan harga obligasi naik lebih tinggi dibandingkan kemungkinan harga saham karena faktor yang menentukan kenaikan harga obligasi sudah bisa diperkirakan dari sekarang sementara harga saham masih tidak.
Perlu diingat, kadang2 yang namanya pasar itu cukup aneh. Ketika semua orang merasa yakin dan positif bursa akan baik seperti harapan kebanyakan orang di awal tahun, kenyataannya bursa malah tidak sesuai harapan. Bisa saja, ketika semua orang mulai ragu2 dengan kinerja pada bursa, siapa tahu bursa bisa memberikan kejutan. Sebab valuasi saham sudah tidak terlalu mahal sehingga membuka kesempatan bagi investor value untuk masuk ketika harga sedang relatif murah.
Demikian, semoga bermanfaat.
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Semua data dan hasil pengolahan data diambil dari sumber yang dianggap terpercaya dan diolah dengan usaha terbaik. Meski demikian, penulis tidak menjamin kebenaran sumber data. Data dan hasil pengolahan data dapat berubah sewaktu-waktu tanpa adanya pemberitahuan. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.
Facebook : https://www.facebook.com/rudiyanto.blog
Twitter : https://twitter.com/Rudiyanto_zh
Sumber Gambar : Istockphoto



Tinggalkan Balasan ke bijeh Batalkan balasan