Mahal dan Murah adalah istilah yang sangat relatif di pasar modal. Mengutip istilah bapak Warren Buffet, “Value is what you get dan Price is what you pay”. Maksudnya nilai adalah apa yang anda dapatkan dan harga adalah apa yang anda bayarkan. Mahal adalah ketika anda membayar lebih tinggi dibandingkan dengan nilai suatu saham, dan sebaliknya Murah adalah ketika anda membayar lebih rendah dibandingkan nilai suatu saham.
Meski pada saat artikel ini ditulis, IHSG mengalami rebound 2% lebih, sejak awal tahun penurunan IHSG telah mencapai lebih dari 14%. Dengan kata lain, “Price”nya sudah terdiskon 14% sejak awal tahun dan jika dibandingkan titik tertinggi pada tahun ini, berarti bisa lebih besar lagi. Pertanyaannya, apakah saat ini Value sudah lebih tinggi daripada Price sehingga menjadi kesempatan bagi investor untuk membeli di harga murah?
Berikut ini adalah pergerakan IHSG hingga 12 Agustus 2015
Penyebab Terjadinya Penurunan
Jika mau dirunut dari awal tahun, penjelasan mengapa kinerja IHSG negatif hingga semester I 2015 sudah pernah saya bahas di Refleksi 6 Bulan Industri Reksa Dana. Di semester II ini, sebagaimana yang banyak anda baca di Media adalah aksi Devaluasi mata uang Renmimbi (RMB) oleh Bank Sentral China. Kebijakan ini mengakibatkan gejolak di seluruh dunia dan disebut sebagai penyebab penurunan IHSG sebesar 5% dalam 2 hari.
Banyak pendapat dan analisa yang beredar. Ada yang mengatakan hal ini merupakan aksi China dalam meningkatkan daya saing ekspor. Sebab dengan membuat mata uangnya melemah, maka barang China semakin murah, sehingga permintaan akan meningkat. Ada juga yang mengatakan ini merupakan aksi pembalasan terkait dengan ditundanya mata uang China masuk ke dalam kategori SDR (Special Drawing Rights) yang saat ini terdiri dari US Dollar, Euro, Yen Jepang dan GBP Inggris.
Berdasarkan diskusi dengan tim riset Panin Asset Management, kami memiliki pendapat yang agak berlainan. Pertama-tama kami mempelajari laporan dari IMF yang berisi penundaan dimasukkannya RMB dalam SDR. Ternyata dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa salah satu alasan pengunduran hingga ke Oktober 2016 adalah anggapan bahwa kendali pemerintah terhadap mata uang RMB masih sangat kuat. Sementara untuk bisa menjadi mata uang acuan utama di dunia, dibutuhkan mata uang yang nilainya mengikuti mekanisme pasar.
Dalam bahasa finansialnya disebut liberalisasi mata uang. Artinya mata uang suatu negara akan naik dan turun berdasarkan kondisi fundamentalnya. Misalkan saat ini Rupiah mengapa terus turun? Karena selain mata uang AS yang terus menguat karena berencana menaikkan suku bunga, negara kita juga dalam kondisi defisit (impor lebih besar dari ekspor) sehingga kebutuhan dollar cukup besar. Kebetulan di China, kondisi neraca perdagangannya sedang surplus sehingga harusnya menguat, tapi karena dilemahkan maka mengundang kecaman dari banyak negara terutama AS yang menjadi mitra dagang utamanya.
Yang paling dikhawatirkan adalah terjadinya Currency War. Dimana supaya industri dalam negeri kompetitif terhadap produk ekspor China, maka mata uangnya akan dibuat melemah. Padahal, sejak rencana kenaikan suku bunga the Fed, mata uang banyak negara sudah cukup melemah. Tapi logikanya jika mata uang RMB menguat paska dimasukkannya sebagai SDR ataupun mengikuti mekanisme pasar, maka perang mata uang bisa saja tidak terjadi.
Perlu kita bedakan antara Devaluasi dengan Depresiasi, meski pada akhirnya sama-sama nilai mata uang turun. Kalau Devaluasi itu berarti dilakukan oleh pemerintah, sementara kalau Depresiasi itu karena mekanisme pasar. Dengan melakukan devaluasi mata uang, selanjutnya pemerintah China akan membiarkan mata uangnya bergerak sesuai mekanisme pasar. Dengan kata lain, sebenarnya ini bukan merupakan aksi yang secara sengaja untuk memperkuat ekspor tapi lebih kepada memenuhi ketentuan IMF agar mata uangnya bisa diakui sebagai bagian dari SDR.
Namun karena skala perdagangan China begitu masif dan kejadian devaluasi mata uang bukanlah sesuatu yang sering kita lihat setiap hari, maka pasar kaget dan bereaksi secara negatif. Namun hal ini seharusnya hanya akan bersifat sementara karena merupakan reaksi sesaat. Tadinya kita berpikir jika tidak ada sentimen buruk lainnya, penurunan IHSG paling hanya akan berjalan 1-2 hari lagi, tapi ternyata hari ini sudah kembali naik dan bahkan naiknya cukup tinggi.
Apakah ada sisi positif dari kebijakan ini ? Meski devaluasi China memberikan kejutan pada seluruh dunia, namun terdapat juga sisi positifnya. Pertama, Amerika Serikat bukanlah lagi satu-satunya negara yang menjadi penentu arah kebijakan ekonomi dunia. Kedua, devaluasi mata uang China akan membuatnya semakin kompetitif. Di satu sisi, pemerintah Amerika Serikat saat ini berencana menaikkan suku bunga. Dalam teori ekonomi, kenaikan suku bunga berarti biaya bisnis naik dan secara tidak langsung membuatnya menjadi tidak kompetitif.
Hal di atas tentu tidak diinginkan oleh pemerintah Amerika Serikat sehingga sedikit banyak akan berpengaruh pada keputusan kebijakan suku bunga. Ada kemungkinan walaupun naik, persentase kenaikannya bisa lebih rendah dari ekspektasi yang selama ini pasar yang sebesar 25 Bps. Jika nantinya dinaikkan 10 atau 15 bps, maka hal ini akan berdampak positif terhadap pasar. Tapi hal ini baru bisa dibuktikan pada bulan September nanti.
Mengukur Value
Ada banyak cara dan pendekatan dalam mengukur “value” suatu saham. Bisa menggunakan Price Earning Ratio (PER), Price Book Value Ratio (PBV), Price to Earning Growth (PEG), Enterprise Value (EV) dan seiring waktu semakin banyak bermunculan metode analisa yang baru. Cara yang paling umum adalah Price dan PER.
Meski demikian, walaupun menggunakan cara yang sama, bisa saja investor memiliki kesimpulan yang berbeda. Khususnya untuk PER yang menggunakan Earning, ada yang menggunakan earning tahun ini, earning tahun depan, ada pula yang menggunakan earning 5 atau 10 tahun ke depan karena ingin berinvestasi jangka panjang. Namun karena adanya perbedaan inilah terjadi transaksi. Kalau penilaian semua orang akan suatu saham adalah sama tentu tidak akan ada transaksi bukan?
Saya sendiri juga suka menggunakan PER. Pada dasarnya Price adalah harga saham atau IHSG dan Value adalah laba bersih perusahaan. Saat ini Price sudah turun 14%, berarti jika laba bersih tetap atau bahkan naik maka sekarang sudah bisa dikatakan “Murah”. Namun jika laba bersih dan harga sama-sama turun, belum tentu bisa dikatakan murah. Untuk itu, saya mengumpulkan laporan keuangan publikasi Semester I 2015 dan mendapatkan informasi sebagai berikut :
Sumber : http://www.infovesta.com, diolah
Berdasarkan analisa tersebut, selama semester I 2015 tingkat penjualan stagnan hanya tumbuh 4%. Beberapa sektor membukukan pertumbuhan yang positif beberapa tidak. Artinya perlambatan ekonomi memang terjadi, tapi penjualan secara keseluruhan belum turun. Namun untuk laba bersih secara keseluruhan menunjukkan penurunan hingga 15%. Hanya ada 2 sektor yang laba bersihnya naik yaitu sektor Industri Barang Konsumsi dan sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi.
Dalam manajemen perusahaan, jika penjualan tetap tapi laba bersih turun berarti ada peningkatan dari sisi biaya. Penguatan US Dollar dan kenaikan harga BBM merupakan penyebab meningkatkan komponen biaya perusahaan. Ada yang berasal dari peningkatan biaya impor, ada pula yang berasal dari peningkatan beban bunga dan kerugian kurs karena tidak melakukan hedging (lindung nilai).
Dari sisi valuasi, jika IHSG menurun 14% sementara laba bersih menurun 15%, bisa dikatakan bahwa jika menggunakan acuan laba bersih semester I 2015, IHSG baru mencerminkan value yang wajar. Artinya belum bisa dikatakan murah, paling disebut wajar. Hal ini juga direfleksikan rasio PER LQ-45 yang jika anda cek di infovesta.com yang berkisar di angka 17 kali meskipun IHSG sudah mengalami koreksi yang cukup dalam.
Mahal atau Murah ?
Jika anda menggunakan acuan laba bersih 2015, bisa dikatakan valuasi IHSG sekarang masih dalam kondisi yang wajar. Tidak mahal memang, tapi juga tidak murah-murah amat. Perhitungan ini bisa berubah jika anda adalah investor jangka panjang yang tidak melihat laba bersih tahun ini tapi laba bersih tahun mendatang atau bahkan lebih jauh hingga 5 – 10 tahun ke depan.
Selain itu, ada satu hal yang harus diperhatikan oleh investor adalah bahwa tidak berarti mahal itu pasti akan turun dan tidak selalu juga bahwa murah itu nanti pasti akan naik. Dan dalam pasar modal, pergerakan IHSG juga bisa sangat dipengaruhi oleh sentimen.
Sentimen itu bisa positif ataupun negatif. Saat ini hampir semua sentimen negatif baik yang diperkirakan maupun tidak sudah terjadi dan terefleksi pada harga sekarang. Apabila kebijakan The Fed pada bulan September nanti sesuai atau bahkan lebih baik dari perkiraan pasar dan kinerja pemerintahan membaik paska reshuffle cabinet sehingga kepercayaan industri riil mulai pulih, maka ada kemungkinan sentimen positif kembali ke bursa.
Demikian sharing kali ini, semoga bermanfaat.
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Semua data dan hasil pengolahan data diambil dari sumber yang dianggap terpercaya dan diolah dengan usaha terbaik. Meski demikian, penulis tidak menjamin kebenaran sumber data. Data dan hasil pengolahan data dapat berubah sewaktu-waktu tanpa adanya pemberitahuan. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.
Facebook : https://www.facebook.com/rudiyanto.blog
Twitter : https://twitter.com/Rudiyanto_zh
Sumber Gambar : Istockphoto
Sumber Data : Infovesta


Tinggalkan Balasan ke Nik Batalkan balasan