Donald Trump resmi akan mulai menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) sekitar bulan Januari 2017 nanti. Meski demikian, spekulasi tentang kebijakan ekonomi yang akan diambilnya sudah membuat seluruh dunia mulai bertanya-tanya dan menyiapkan diri.
Salah satu pertanyaan dan sekaligus kekhawatiran adalah seberapa jauh US Dollar akan menguat terhadap Rupiah? Apakah penguatan ini disebabkan karena Donald Trump atau sebab lainnya ? Berapa perkiraan nilai wajar USD terhadap IDR yang wajar berdasarkan fundamental untuk tahun 2017?
Sebagaimana diketahui Rp yang selama ini adem di 13.000an, per tanggal 22 November 2016 berdasarkan Kurs BI mencapai Rp 13.424 per 1 USD.
Sumber : Bank Indonesia
Sebelumnya, mata uang Rupiah diperkirakan akan terus menguat jika melihat data fundamental seperti transaksi dagang yang surplus, pertumbuhan ekonomi yang positif dan inflasi yang rendah. Belum lagi ada dana repatriasi sekitar Rp 140an Triliun yang akan masuk secara bertahap hingga akhir tahun 2016 ini. Dengan dasar di atas, seharusnya baik secara fundamental maupun sentimen, seharusnya semua hal positif untuk penguatan Rupiah. Mengapa yang terjadi sekarang malah sebaliknya?
Sebenarnya yang terjadi tidak sesuai logika tidak hanya di Indonesia saja tetapi juga di Amerika Serikat. Sebagai contoh, pada awalnya Donald Trump dianggap negatif terhadap pasar modal, namun anehnya paska dia terpilih, justru saham di US terus menerus mencetak rekor baru.
Rekor Baru di S&P 500
Dasar mengapa saham di US terus menguat ini adalah anggapan bahwa ternyata pasar modal AS di era negatif justru tidak benar. Sebagai Presiden yang berlatar belakang pengusaha, diperkirakan kebijakan yang diambil akan menguntungkan pengusaha. Sebagai contoh, beberapa calon menteri keuangan yang dipilih berasal dari kalangan investment banker di Wall Street. Kemudian ada pembangunan infrastruktur dan wacana pengurangan tarif pajak bagi korporasi dan masyarakat. Semua hal tersebut, jika benar-benar diwujudkan memang akan berdampak positif bagi pasar modal.
Namun di satu sisi, AS juga memiliki jumlah utang yang sudah teramat besar. Dengan pendapatan pajak yang diperkirakan akan berkurang, tentu sumber dana yang diharapkan bisa digunakan untuk membiayai seluruh proyek infrastruktur akan lebih banyak berasal dari hutang. Untuk itu, ada anggapan bahwa pemerintah AS harus bersiap-siap membayar bunga pinjaman yang lebih mahal. Hal ini menyebabkan harga obligasi AS turun dan Yieldnya naik.
Yield obligasi 10 tahun merupakan salah satu indikator prediksi suku bunga bank sentral dalam jangka panjang. Kenaikan Yield obligasi ini memicu spekulasi bahwa suku bunga the fed akan dinaikkan lebih cepat. Selanjutnya jika suku bunga the fed dinaikkan, maka akan ada pengalihan dana investasi dari negara berkembang (emerging market) seperti Indonesia ke US.
Apakah kenaikan Yield ini merupakan kejadian karena Donald Trump saja? Tidak juga. Jika kita tarik grafik selama 10 tahun terakhir. Kenaikan yield ini sudah terjadi beberapa kali. Dan dalam jangka panjang, sebenarnya trennya terus mengalami penurunan.
Kenaikan Yield obligasi yang terjadi pada tahun 2016 sebenarnya sudah berulang beberapa kali sejak tahun 2010 hingga 2015 dengan berbagai alasan yang berbeda mulai dari kebijakan spekulasi kebijakan suku bunga, kekhawatiran akan hutang yang terlalu besar, lanjut atau tidaknya program Quantitative Easing hingga tapering yang terjadi pada tahun 2015. Jadi sebenarnya Yield naik bukan karena Donald Trump saja, sebelumnya juga sudah pernah terjadi bahkan pada saat suku bunga terus mendatar atau turun sekalipun Yield Obligasi AS tetap bisa naik.
Dengan kata lain, kenaikan Yield AS tidak selalu berarti bunga the Fed akan naik. Bisa saja pasar yang berspekulasi tapi kenyataannya bisa tetap dan sebagainya. Untuk akhir tahun 2016 dan tahun 2017 nanti, diperkirakan memang akan terjadi 1 hingga 2 kali kenaikan Fed Fund Rate. Namun saya melihat positif hal tersebut, karena dengan Fed Fund Rate yang wajar (selama ini Fed Fund Rate AS sudah terlalu rendah untuk waktu yang lama), seandainya diperlukan the Fed bisa menurunkannya kembali.
Apakah dalam jangka panjang, perubahan Yield US bisa berdampak terhadap nilai tukar Rupiah seperti yang terjadi belakangan ini ? Dalam jangka pendek, kenaikan Yield AS memang akan membuat Rp melemah dan sebaliknya. Untuk jangka panjang, kita bisa melihat grafik sebagai berikut :
Dengan mengacu pada grafik tersebut bisa dilihat :
- Tahun 2006 – 2008 : Yield obligasi turun dari 5% menjadi 3.5%, Rupiah stabil di Rp 9.000 an
- Tahun 2008 – 2009 : Yield obligasi turun dari 4% ke 2%, Rp melemah dari Rp 9.000 an ke Rp 12.000 an
- Tahun 2010 – 2012 : Yield obligasi bergerak fluktuatif naik turun, Rp menguat dan stabil di level Rp 8.500 an
- Tahun 2012 – 2016 : Yield oblgiasi bergerak fluktuatif dengan kecendrungan turun, Rupiah melemah dari level Rp 9.000 an ke Rp 13.000 an sempat menembus Rp 14.000
Berdasarkan grafik tersebut, saya menyimpulkan dalam jangka panjang, ternyata efek naik atau turunnya Yield dan harga obligasi di AS, apapun alasannya, tidak bisa digunakan sebagai alat untuk memprediksi pergerakan Rupiah.
Jika demikian, bagaimana caranya jika kita ingin mengetahui seberapa jauh Rp akan bergerak ? Berdasarkan diskusi dengan tim riset di Panin Asset Management, ternyata mereka melihat mata uang sama seperti melihat saham. Jika di saham ada fundamental, maka demikian pula di mata uang. Cara untuk mengukur menggunakan metode yang disebut Real Effective Exchange Rate (REER)
Cara baca angka REER cukup sederhana, jika dibawah 100 berarti secara fundamental suatu mata uang sudah terlalu murah sehingga diperkirakan akan menguat, sebaliknya jika di atas 100 maka secara fundamental terlalu mahal dan diperkirakan akan melemah. Jika 100, maka artinya nilai mata uang tersebut sudah mencerminkan fundamentalnya.
Angka REER untuk berbagai mata uang adalah sebagai berikut :
Berdasarkan grafik REER di atas, Indonesia (yang berwarna hitam), per Oktober 2016, REERnya sudah berada dikisaran 100. Artinya hingga Oktober dimana Rp yang selalu berada dikisaran Rp 13.000 an merupakan level fundamental yang wajar.
Karena REER menggunakan asas pendekatan, maka nilai wajar untuk tahun 2016 berada di kisaran Rp 13.000 – Rp 13.500. Jika diambil nilai tengah berarti di level Rp 13.200. Selanjutnya nilai REER ini bisa berubah berdasarkan fundamentalnya. Salah satu indikator yang sering dijadikan acuan adalah perbedaan tingkat inflasi.
Misalkan untuk tahun 2017 jika diperkirakan inflasi Indonesia 4% dan inflasi AS adalah 2%, maka terdapat selisih sekitar 2%. Untuk itu jika berdasarkan REER 2016, tingkat kurs yang wajar menurut fundamental adalah di Rp 13.200 maka untuk tahun 2017 adalah di Rp 13.200 + 2% = Rp 13.454. Dengan menggunakan basis pendekatan, maka harga wajar Rp terhadap USD untuk 2017 adalah di kisaran Rp 13.500 – Rp 13.700.
Apakah dana repatriasi amnesti pajak bisa berdampak terhadap penguatan Rp? Sama seperti efek naik turunnya Yield AS, seharusnya dampak amnesti pajak hanya bersifat sentimen sementara juga. Untuk itu, mungkin akan membuat menguat secara sementara, namun pada akhirnya harga akan kembali ke fundamentalnya.
Kesimpulannya, jika mengacu pada fundamental, siapapun Presiden AS, suku bunga mereka naik atau tidak, dana repatriasi masuk ke Indonesia atau tidak, harga wajar Rp terhadap USD di 2017 adalah di Rp 13.500 – Rp 13.700. Yang bisa membuat ini berubah adalah jika inflasi Indonesia pada 2017 di bawah 4% dan inflasi AS di atas 2%.
Demikian artikel ini, semoga bermanfaat
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Semua data dan hasil pengolahan data diambil dari sumber yang dianggap terpercaya dan diolah dengan usaha terbaik. Meski demikian, penulis tidak menjamin kebenaran sumber data. Data dan hasil pengolahan data dapat berubah sewaktu-waktu tanpa adanya pemberitahuan. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.
Facebook : https://www.facebook.com/rudiyanto.blog
Twitter : https://twitter.com/Rudiyanto_zh
Sumber Gambar : Istock Photo
Sumber Data : Panin Asset Management, Trading Economics, dan Bank Indonesia
yang menarik pada periode ronald reagan ditahun 81 – 89 strategi hampir serupa dilakukan, melebarkan defisit fiskal dan cut tax gila – gilaan, tapi nyatanya itu berhasil mengeluarkan AS dari stagflasi, perlahan – lahan inflasi menurun
walaupun secara teori apa yang akan dilakukan trump dapat memacu inflasi, namun prakteknya dapat jauh dari itu
LikeLike