Pergerakan nilai tukar Rp terhadap USD yang beberapa kali sempat menyentuh Rp 15.000 dan harga saham obligasi yang menurun di tahun 2018 (sampai dengan awal September ini) menjadi perhatian bagi investor reksa dana. Banyak pertanyaan seperti sampai di level berapa IHSG dan Rp akan melemah, apakah sebaiknya dilakukan cutloss atau malah masuk kembali, dan berapa target IHSG di akhir tahun.
Terus terang, sampai di level berapa IHSG dan Rp dan kira-kira di akhir tahun nanti IHSG bisa ada di berapa, saya tidak tahu. Faktor-faktor yang memberikan sentimen negatif seperti rencana kenaikan suku bunga, perang dagang antara US dengan China, harga minyak yang tinggi (sehingga menyebabkan kebutuhan USD semakin besar), dan krisis mata uang yang menimpa negara berkembang lain seperti Turki, Argentina, Iran, dan terakhir Afrika Selatan kelihatannya masih belum akan berubah dalam waktu dekat.
Namun yang jelas, saya melihat adanya kehadiran dan upaya yang sangat keras dari pemerintah untuk menjaga situasi perekonomian. Mulai dari kenaikan suku bunga BI Rate, menurunnya cadangan devisa yang dipergunakan untuk intervensi nilai tukar, penggunaan biodiesel untuk bahan bakar solar, penetapan tarif impor untuk barang tertentu, dan berbagai himbauan untuk menukarkan USD dan menggunakan produk dalam negeri telah dilakukan.
Meskipun tidak serta merta dapat mengangkat nilai tukar, paling tidak bisa menahan agar nilainya tidak turun secara signifikan dibandingkan dengan negara lain. Nilai tukar mata uang yang melemah biasanya menjadi sentimen negatif bagi harga saham dan obligasi, sehingga berdampak pula terhadap kinerja reksa dana.
Bagi investor yang merasa sangat tidak nyaman dengan kondisi yang ada, sebagai pemilik dana adalah hak mutlak untuk melakukan pengalihan (switching) ke jenis reksa dana yang lebih konservatif seperti reksa dana pasar uang atau pendapatan tetap. Namun untuk investor yang masih sabar dan berorientasi jangka panjang, biasanya pada tahun politik dimana pemilihan Presiden dilakukan, kinerja IHSG selalu positif. Hal ini terlihat dari statistik IHSG di tahun 2004, 2009 dan 2014 yang masing-masing positif sebesar 44.56%, 86.98% dan 22.29%.
Yang menjadi pertanyaan, pada saat kapan kenaikan di IHSG terjadi? Apakah sebelum, pada saat atau sesudah pemilihan dilakukan? Bagaimana pula analisanya untuk tahun 2019 ini ? Berikut hasil data dan analisanya.
Secara timing, analisa dilakukan berdasarkan periode pemilihan Presiden karena hal tersebut kelihatannya yang menjadi perhatian masyarakat belakangan ini.
Pemilihan Presiden 2004 (IHSG Full Year 44.56%)
Tahun 2004 merupakan pertama kalinya pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat dilakukan. Karena merupakan pertama kali, bisa dikatakan sistem ini masih awam bagi masyarakat. Pasangan yang mengikuti juga cukup banyak yaitu 5 pasangan, dimana pada putaran pertama tidak ada pemenang mayoritas sehingga diselenggarakan pada putaran kedua yang dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.
Berikut ini adalah pergerakan IHSG pada tahun 2004
Putaran Pertama 5 Juli 2004, diumumkan 26 Juli 2004
Putaran Kedua 20 September 2004, diumumkan 4 Oktober 2004
Dari grafik di atas, bisa dilihat bahwa hingga Putaran 1 selesai, pergerakan IHSG cenderung fluktuatif. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sistem pemilihan yang relatif baru dan kandidat yang banyak sehingga memunculkan banyak ketidakpastian. Menjelang putaran kedua dimana koalisi sudah terbentuk dan hasil survey sudah menunjukkan keunggulan salah satu calon yang dikonfirmasi dengan hasil pemilihan, diinterprestasikan sebagai berkurangnya risiko ketidakpastian. Hal ini mungkin yang membuat IHSG menguat terus hingga akhir tahun (politik bukan satu-satunya yang penyebab naik turunnya IHSG).
Pemilihan Presiden 2009 (IHSG Full Year 86.98%)
Pada tahun 2009, masyarakat telah cukup familiar dengan metode pemilihan Presiden secara langsung. Pasangan yang ikut juga lebih sedikit yaitu hanya 3 pasangan. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai petahana pada saat tersebut memiliki basis dukungan yang cukup kuat sehingga pemilihan hanya berlangsung 1 putaran.
Berikut ini adalah pergerakan IHSG pada tahun 2009.
1 Putaran Langsung, diselenggarakan 8 Juli 2009, diumumkan 25 Juli 2018
Proses pemilihan yang lebih ringkas dan dominasi legislatif yang mendukung pasangan pasangan petahana membuat ketidakpastian politik sangat kecil di tahun 2009. Didukung dengan kondisi IHSG yang terkoreksi dalam pada tahun 2008 sehingga valuasi aset sudah relatif murah, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap positif di tengah krisis yang menimpa negara lain, menyebabkan IHSG mengalami rally yang cukup signifikan baik sebelum maupun sesudah pemilihan.
Pemilihan Presiden 2014 (IHSG Full Year 22.29%)
Pilpres 2014 hanya diikuti 2 pasangan calon yang dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Meskipun hasil survey sudah menunjukkan keunggulan salah satu pasangan calon sejak awal karena tingginya popularitas Joko Widodo pada saat tersebut, namun menjelang pemilihan survey menunjukkan popularitas Prabowo Subianto semakin meningkat. Dengan selisih yang cukup ketat, pemilihan diselesaikan dalam 1 putaran.
Berikut ini adalah pergerakan IHSG di tahun 2014.
Pemilihan dilaksanakan pada 9 Juli dan diumumkan pada 23 Juli
IHSG mengalami rally pada sebelum penyelenggaraan pilpres dilakukan. Paska pilpres, malah pergerakannya cenderung stagnan. Terdapat kemungkinan secara politik justru setelah pemilihan presiden selesai malah belum stabil karena adanya gugatan ke MK dan koalisi pendukung pemerintah yang belum solid pada awal pemerintahan.
Hal ini menunjukkan bahwa selain Presiden dan Wakil Presiden, kestabilan politik juga ditunjukkan dari dukungan legislatif (DPR) terhadap pemerintahan yang terbentuk. Tanda dukungan dari legislatif, ada persepsi bahwa kondisi politik masih belum stabil.
Bagaimana dengan Pilpres 2019 ?
Sesuai dengan informasi dari KPU, pemilihan secara serentak akan diselenggarakan pada tanggal 17 April 2019 dengan masa kampanye yang akan dimulai dari periode 13 Oktober 2018 – 13 April 2019. Artinya bulan depan, secara resmi bulan depan sudah memasuki masa kampanye.
Tahun 2019 merupakan tahun yang bersejarah bagi Indonesia karena pertama kalinya pada tahun ini, Pemilihan Umum Legislatif (PEMILU) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) dilakukan secara serentak. Proses ini tidak hanya menghemat biaya dan waktu, tapi juga memperkecil faktor ketidakpastian.
Karena dilakukan bersamaan, maka calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan berdasarkan suara legislatif pada tahun 2014. Demikian pula untuk Pilpres di tahun 2024, akan ditentukan berdasarkan perolehan partai di tahun 2019 nanti. Hal ini akan membuat partai berhitung tidak hanya untuk tahun 2019 – 2024 tetapi untuk 2024 dan seterusnya.
Berdasarkan informasi terakhir:
- Bakal Pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin diusung oleh PDI-P, PKB, PPP, Partai Nasdem, Partai Golkar, Partai Hanura dan didukung 3 partai non parlemen yaitu PKPI, Perindo dan PSI.
- Bakal Pasangan Prabowo Subianto – Sandiaga S Uno diusung oleh Partai Gerindra, PKS, PAN dan Partai Demokrat
Distribusi suara pada Pilpres 2014 yang lalu berdasarkan Wikipedia dan KPU adalah sebagai berikut
Jika perolehan suara tetap sama, secara individu, partai di pihak oposisi berpeluang mendapat suara lebih banyak karena hanya dibagi untuk 4 partai, sementara di partai petahana ada 9 partai. Untuk itu, pemilihan pada 2019 juga berfokus pada bagaimana menarik suara dari pendukung pihak yang sebelumnya berseberangan.
Kondisi politik yang stabil di 2019 tidak hanya ditentukan pada pemenang Pilpres, tetapi juga persentase suara legislatif yang mendukung pemerintahan yang terpilih. Untungnya karena dilakukan secara serentak, koalisasi partai yang mendukung pemerintahan terpilih bisa dilihat sejak awal. Namun namanya politik, jangan aneh kalau dukungan berubah tiba-tiba di tengah jalan.
Apabila pemilihan pada tahun 2019 berjalan damai dan demokratis dan pasangan yang menang didukung koalisi partai yang solid, pergerakan IHSG berpeluang membukukan kinerja positif sebagaimana dari data historis. Valuasi harga yang cukup murah karena koreksi di tahun 2018 ini juga berpeluang menambah tenaga rally di tahun depan.
Artikel ini bukan himbauan untuk memilih pasangan tertentu. Sebagai Warga Negara, tentu saya juga sangat berharap pemilihan tahun depan dapat berjalan dengan lancar dan menghasilkan wakil eksekutif dan legislatif yang fokus pada kemajuan bangsa.
Demikian artikel ini semoga bermanfaat.
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Semua data dan hasil pengolahan data diambil dari sumber yang dianggap terpercaya dan diolah dengan usaha terbaik. Meski demikian, penulis tidak menjamin kebenaran sumber data. Data dan hasil pengolahan data dapat berubah sewaktu-waktu tanpa adanya pemberitahuan. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.
Facebook : https://www.facebook.com/rudiyanto.blog
Twitter : https://twitter.com/Rudiyanto_zh
Belajar Reksa Dana : www.ReksaDanaUntukPemula.com
Sumber Gambar : Istockphoto.
Referensi Berita : Wikipedia
Saya nasabah panin pendapatan berkala. Mengalami persis apa yg pak rudi tulis. Mau diambil kok rugi. Ga diambil kok turun terus takut nya malah habis. Mau nanya ya bingung tanya ke siapa. Akhirnya saya tanya marketing. Dia bilang mending switch aja. Saya akhirnya switch ke panin liquid sebagian besar. Saya sisain jml minimal di panin berkala soalnya sayang uda nunggu setahun.
LikeLike
@Fenny
Selamat pagi Ibu Fenny,
Secara teori, suku bunga yang naik akan membuat harga obligasi turun dan sebaliknya. Biasanya suku bunga ditetapkan melihat besaran inflasi, dimana target pemerintah adalah lebih besar dari inflasi.
Namun belakangan, acuan dalam penetapan suku bunga tidak hanya inflasi tetapi juga melihat kestabilan kurs nilai tukar. Dimana jika kurs semakin tidak stabil (melemah dibandingkan USD), maka Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga untuk menjaga agar tidak melemah lebih lanjut.
Inflasi Indonesia sampai dengan Agustus 2018 ini baik-baik saja di angka 3.2% atau masih dalam target pemerintah sebesar 3.5% plus minus 1%. Yang menjadi masalah adalah nilai tukar Rp terhadap USD yang terus bergejolak sehingga Bank Indonesia terpaksa harus menaikkan suku bunga untuk mengimbangi.
Dalam kondisi ini, reksa dana pendapatan tetap yang isinya obligasi (terutama obligasi pemerintah) seperti halnya Panin Dana Pendapatan Berkala akan mengalami penurunan harga. Hal ini memang tidak dapat dihindari.
Apabila anda merasa tidak nyaman, memang silakan dilakukan pengalihan. Namun perlu diketahui bahwa pembayaran dividennya masih tetap berjalan baik.
Semoga kondisi pasar modal Indonesia bisa cepat membaik.
Terima kasih kepada ibu Fenny, telah menjadi nasabah Panin Asset Management.
LikeLike
Terima kasih Pak untuk analisanya. Memberikan gambaran bagaimana sebaiknya ke depannya. 🙂
LikeLike
selamat siang
Saya ingin bertanya mengapa IHSG bisa tidak berpengaruh trhadap NAB reksadana syariah ?
soal nya saya sdg menyelesaikan tugas akhir dan hasil olah data saya IHSG nya tidak berpengaruh sig
mohon penjelasan nya pak
trmksh
LikeLike
@Kiki Yulianti S
Selamat sore,
Mengenai interprestasi dari hasil pengolahan yang anda lakukan, menurut saya paling baik didiskusikan dengan dosen pembimbing. Sebab sumber data, cara pengolahan dan teori yang digunakan, tentu lebih dipahami oleh dosen dibandingkan saya.
Terima kasih
LikeLike