Biasanya kenaikan suku bunga Amerika Serikat yang dikenal dengan suku bunga Federal Reserve Rate (Fed Fund Rate) diasosiakan sebagai sesuatu yang negatif untuk pasar modal Indonesia. Logikanya jika suku bunga di Amerika Serikat naik, maka investasi dalam bentuk USD akan memberikan imbal hasil yang menarik, akibatnya dana ditarik dari Indonesia dan pindah ke luar negeri. Akibatnya saham dan obligasi dijual sehingga harganya juga turun, demikian pula kinerja reksa dana.
Pada tanggal 15 Maret 2017 yang lalu, Bank Sentral AS mengumumkan kenaikan suku bunga the Fed. Namun bukannya turun, malahan harga saham dan obligasi pada tanggal 16 Maret 2017 meningkat cukup signifikan sebesar 1.58%. Mengapa fenomena ini bisa terjadi ? Dan apakah penurunan ini akan terus berlanjut atau hanya bersifat sementara saja?
Langkah pertama dalam memahami efek daripada perubahan suku bunga the Fed ini adalah mempelajarinya kenapa suku bunga ini bisa naik atau turun. Sebab yang menjadi perhatian dari pasar modal bukanlah kenaikan atau penurunannya tapi mengapa dia naik dan mengapa dia turun.
Secara teori, suku bunga adalah alat dari Bank Sentral untuk mengendalikan inflasi agar bisa mencapai target yang bisa ditetapkan. Belakangan, karena dampaknya sangat luar, suku bunga dari bank sentral juga bisa menjadi alat untuk mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Selain pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran juga ikut menjadi perhatian karena jika suku bunga rendah dan penyaluran kredit berjalan lancar, penyerapan tenaga kerja bisa meningkat.
Jika Bank Sentral AS menaikkan suku bunganya pada tahun 2016 lalu, dan berencana menaikkan hingga 3 kali pada tahun 2017, kita perlu mengetahui mengapa pada waktu lalu suku bunga diturunkan hingga ke 0.25%. Sangat jarang suatu negara menetapkan tingkat suku bunga yang begitu rendah karena serendah-rendahnya tingkat suku bunga, selalu diupayakan sedikit di atas tingkat inflasi. Inflasi untuk Amerika Serikat umumnya berkisar di angka 2-3%.
Jika anda mengikuti perkembangan pasar modal cukup lama, hampir 10 tahun yang lalu, tepatnya tahun 2008 ada krisis global yang menghantam bursa keuangan di seluruh dunia. Awal mula krisis ini berawal adalah gagal bayarnya hutang KPR di Amerika Serikat yang dikenal dengan krisis Subprime Mortgage.
Dampak dari krisis itu begitu parah hingga beberapa lembaga keuangan besar yang sudah berusia ratusan tahun terpaksa harus menutup usahanya. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang biasanya berkisar di antara 2%, turun menjadi negatif 4%. Tingkat pengangguran juga melonjak sangat tinggi.
Karena kondisi perekonomian yang demikian buruk, Bank Sentral pada waktu itu mengambil keputusan untuk menurunkan tingkat suku bunga hingga ke level 0.25% dan mempertahankannya untuk waktu yang cukup lama hingga akhirnya pertama kali dinaikkan pada tahun 2016 yang lalu.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa naiknya baru 2016? Amerika Serikat memang krisis yang ditandai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang negatif, tapi jika melihat gambar di atas, sebenarnya pada tahun 2010 juga tingkat pertumbuhan ekonomi sudah pulih ke level 2% dan cukup stabil sampai dengan sekarang ini. Kenapa harus menunggu hingga 2016 ?
Sebagaimana yang dikemukakan di atas, pertimbangannya dalam suku bunga bukan hanya 1 faktor tapi berbagai faktor. Salah satunya adalah tingkat pengangguran dan inflasi. Pada saat krisis ekonomi terjadi, tingkat pengangguran melonjak hingga mencapai 10%. Angka yang sangat tinggi untuk ukuran Amerika Serikat karena biasanya dipertahankan di level 5%.
Dari grafik di atas terlihat bahwa meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi sudah pulih di tahun 2010, pada kenyataannya penggangguran terus meningkat. Memang ketika kondisi ekonomi sedang memburuk, tentu perusahaan akan mencoba untuk terus bertahan. Namun ketika sudah melewati batas yang bisa ditahan dan kondisi tidak kunjung membaik, maka PHK merupakan salah satu pilihan. Apalagi untuk AS yang sangat efisien dan biaya tenaga kerja sangat tinggi.
Tingkat pengangguran memang berkurang secara bertahap, namun target yang ingin dicapai pemerintah AS pada waktu itu adalah di level 5%. Dan angka ini baru tercapai pada tahun 2016 dan bahkan ketika Donald Trump menjabat sebagai Presiden, terdapat peningkatan penyerapan tenaga kerja yang signifikan. Saat ini tingkat pengganguran di AS bahkan sudah dibawah 5% yaitu sekitar 4.7-4.8%
Kemudian salah satu pertimbangan yang sangat penting yaitu inflasi. Target dari pemerintah AS adalah inflasi di level 2%. Mengapa harus 2%, mengapa tidak sekalian 1 atau 0% saja? Dalam suatu perekonomian yang bertumbuh, inflasi adalah hal yang wajar sepanjang terkendali. Jika tidak ada inflasi, tentu perusahaan akan kesulitan karena harga barang sama sementara gaji karyawan terus naik. Agar bisa memberikan kenaikan gaji, maka penjualan juga harus meningkat salah satunya dalam bentuk kenaikan harga.
Pada grafik di atas, tingkat penggangguran sebenarnya sudah mencapai level 2% pada 2012 -2014. Namun pada saat itu tingkat pengangguran masih tinggi. Pada tahun 2015-2016, tingkat inflasi malahan di bawah 2% karena turunnya harga komoditas. Baru pada tahun 2016 akhir inflasi mulai meningkat kembali dan pada tahun 2017 ini kembali di atas 2% yaitu sekitar 2.1%.
Pada saat seluruh kondisi telah mencapai target yang ditetapkan the Fed yaitu :
- Pertumbuhan ekonomi di kisaran 2%
- Inflasi di kisaran 2%
- Penggangguran di bawah 5%
Maka keputusan untuk menaikkan suku bunga menjadi lebih bisa dijustifikasi. Oleh sebab itu, walaupun pada awal tahun diperkirakan kenaikan suku bunga AS pada tahun ini adalah 2 kali dengan bulan Juni dan Desember, begitu menjadi 3 kali, karena didukung data yang solid, pasar juga tidak merasa kaget.
Lantas kenapa kenaikan suku bunga the Fed malah menimbulkan efek positif di bursa?
Dengan mempelajari alasan mengapa Bank Sentral AS menurunkan suku bunga pada waktu itu, diketahui bahwa perekonomian AS terpuruk paska krisis subprime mortgage pada tahun 2008. Sekarang karena perekonomian AS sudah PULIH, maka suku bunga yang dipertahankan terlalu rendah pada waktu itu juga seharusnya sudah dinaikkan.
Fokus pasar modal kini berubah dari kenaikan suku bunga menjadi perekonomian AS yang pulih.
Alasan kedua, kenaikan suku bunga the Fed sudah didengungkan sejak lama. Yang tidak disukai pasar sebenarnya bukanlah kenaikan suku bunga the fed, tapi kepastian apakah dia akan naik atau tidak. Dengan adanya ketidakpastian, orang menjadi berspekulasi sehingga bursa saham juga sulit untuk naik. Namun setelah dinaikkan, pasar melihat kenaikan suku bunga sebagai suatu kepastian sehingga yang tadinya berspekulasi berubah menjadi investasi.
Kedua hal inilah yang menjadi alasan mengapa kenaikan suku bunga the Fed pada tahun 2017 ini direspon positif. Jadi meski akan naik lagi mungkin pada bulan Juni atau Desember nanti, bahasa pasar modalnya adalah sudah “price in” atau sudah diperhitungkan sehingga tidak akan menimbulkan gejolak yang berarti.
Di luar ini sebenarnya juga ada alasan lain yaitu bursa saham Indonesia memang ketinggalan. Pada awal tahun ini, rata-rata bursa saham dunia mengalami rally. Indonesia merupakan salah satu negara yang ketinggalan. Selain karena adanya ketidakpastian suku bunga the Fed, faktor politik Pilkada di dalam negeri juga ikut berkontribusi.
Sumber : Statistik Bursa Efek Indonesia
Apakah kenaikan ini akan terus berlanjut?
Kenaikan IHSG selain dipengaruhi oleh aliran dana asing, juga dipengaruhi oleh valuasi harga wajar. Pada tahun ini, harga wajar IHSG diperkirakan berada di level 6000. Jika memang valuasinya masih murah dan ada sentimen positif, maka dana asing akan masuk dan kenaikan ini akan berlanjut. Sementara jika valuasi sudah mahal, walaupun dana asing bisa masuk tapi jumlahnya juga akan lebih terbatas sehingga pergerakan IHSG akan cenderung fluktuatif.
Saat ini, faktor-faktor yang bisa menjadi sentimen positif untuk kenaikan IHSG dan masih belum terealisasi antara lain seperti
- Potensi Pilkada yang kondusif (Setelah 19 April)
- Potensi Perbaikan pada tingkat penjualan dan laba bersih yang membaik (publikasi laporan keuangan antara Mei – Juni untuk Kuartal I -2017)
- Potensi kenaikan rating S&P
Faktor di atas bisa terjadi, bisa juga tidak. Jika terjadi, akan menjadi alasan bagi dana asing untuk masuk dan meningkatkan IHSG secara signifikan. Jika tidak, mungkin hanya tingkat valuasi yang murah sajalah yang bisa menarik asing untuk masuk ke Indonesia, yang artinya kita harus menunggu adanya koreksi dalam. Apakah hal ini bisa terjadi? bisa saja, tapi untuk saat ini kebanyakan sentimen negatif sudah terealisasi. Tentu, yang namanya pasar modal biasanya selalu ada kejutan sehingga risiko penurunan juga perlu kita antisipasi.
Demikian sharing saya, semoga faktor-faktor positif yang dinantikan bisa terealisasi sehingga kenaikan IHSG bisa terus berlanjut. Semoga bermanfaat
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Semua data dan hasil pengolahan data diambil dari sumber yang dianggap terpercaya dan diolah dengan usaha terbaik. Meski demikian, penulis tidak menjamin kebenaran sumber data. Data dan hasil pengolahan data dapat berubah sewaktu-waktu tanpa adanya pemberitahuan. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.
Facebook : https://www.facebook.com/rudiyanto.blog
Twitter : https://twitter.com/Rudiyanto_zh
Belajar Reksa Dana : www.ReksaDanaUntukPemula.com
Sumber Gambar dan Data: Istock Photo, Yahoo Finance, Trading Economics dan Bursa Efek Indonesia
Bagaimana dengan reksadana obligasi mnrt pak Rudianto?, apakah berpeluang naik atau turun pak dengan aksi the fed ini?, trims
LikeLike
@Yosef
Salam pak Yosef,
Kalau misalkan rating S&P meningkat dari BB+ menjadi BBB-, peluang kenaikannya sangat besar bahkan berpotensi mengalahkan saham. Kalau misalkan tidak, efek suku bunga the fed harusnya tidak begitu berpengaruh, lebih ke inflasi dan BI Rate di dalam negeri.
Semoga bermanfaat
LikeLike
Trims pak atas wejangannya
LikeLike
yth pak rudiyanto,
pak saya mau tanya, katanya fed rate kan akan terus naik, akhir tahun ini katanya fed rate bisa naik menjadi 1.5-1.75%.
Saat ini saya masih punya obligasi indon 43 (kupon 4.625%/jatuh tempo 2043) yang saya beli pada saat harga sekitar 102.
Pertanyaan saya, langkah apa yang harus saya lakukan thd investasi indon 43 saya?
apakah saat fed rate naik lagi dan kedepannya harga indon43 akan terpengaruh menjadi semakin turun shg tidak ada kesempatan lagi utk dilepas sampai jatuh tempo?
Gimana baiknya apakah saya lepas sekarang, ato bisa dibiarkan saja?
Maksud tujuan saya dulu masuk ke indon yaitu untuk investasi jangka panjang dalam mata uang usd.
Atas perhatiannya saya ucapkan terimakasih.
LikeLike
@Susan
Salam Ibu Susan,
Boleh tahu harga obligasi Indon anda sekarang berapa ?
Dan anda sudah jawab sendiri, bahwa tujuannya memang jangka panjang dalam mata uang USD. Jadi mau harganya naik atau turun, sepanjang obligasi ini terus membagikan kupon seharusnya tidak ada pengaruhnya bagi anda.
Harga obligasi Indon memang akan terpengaruh dengan kebijakan suku bunga the Fed, tapi itu bukan satu-satunya faktor. Kalau sudah murah tentu akan naik dan jika sudah mahal bisa berpotensi turun.
Salah satu keuntungan obligasi adalah sekalipun harganya turun ke 80, pada tahun 2043 nanti harganya akan kembali ke 100 karena pemerintah Indonesia akan menjamin obligasi tersebut.
Semoga bermanfaat.
LikeLike
terima kasih mas rudi, sangat membantu artikelnya
LikeLike