Pada saat artikel ini ditulis, berita baik dan yang kurang baik mengenai kondisi makro ekonomi datang silih berganti. Dan pada kenyataannya IHSG sudah turun sekitar 7% jika dihitung dari awal tahun 2011 ini. Beberapa reksa dana dan saham bahkan mengalami penurunan yang lebih dalam. Sebagai investor, adalah sangat penting bagi kita untuk memahami kondisi yang ada sehingga tidak salah dalam mengambil keputusan investasi.
Berikut ini adalah perbandingan return dari return IHSG, LQ-45 (kumpulan 45 saham yang paling sering ditransaksikan di bursa saham) dan Indeks Reksa Dana Saham (yang mencerminkan rata-rata dari kinerja reksa dana saham)
Dari Kontan Online pada tanggal 24 Februari sore, diperoleh informasi bahwa Lembaga Rating Internasional, Fitch Rating, menaikkan rating Indonesia dari BB+ dengan Outlook Stabil menjadi BB+ dengan outlook Positif. Dengan perubahan ini, kemungkinan besar rating Indonesia akan berpotensi dinaikkan menjadi BBB yang berarti masuk kategori Investment Grade. Dan jika memang rating ini dinaikkan, maka rating Indonesia akan setara dengan Brazil dan India.
Kenaikan menjadi Investment Grade akan memiliki banyak manfaat. Sebagai contoh, dengan rating yang lebih tinggi, baik pemerintah maupun korporasi yang ada di Indonesia dapat menerbitkan obligasi dengan biaya yang lebih rendah sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan. Dengan investment grade, Indonesia akan semakin masuk dalam radar para investor dunia sehingga akan lebih banyak lagi dana asing yang mengalir masuk. Tidak hanya ke investasi pasar modal tapi juga ke investasi riil sehingga meningkatkan perekonomian secara keseluruhan.
Di sisi lain, konflik dan krisis politik yang melanda negara Afrika dan Timur Tengah telah menyebabkan kekhawatiran terhadap ketersediaan minyak. Akibatnya harga minyak internasional seperti Brent Crude dan WTI naik mendekati atau bahkan melebihi US$ 100 / barrel. Kenaikan harga minyak dapat berdampak luas. Contoh implikasi langsung dari kenaikan harga minyak adalah membengkaknya subsidi APBN terhadap harga minyak dan meningkatnya harga barang karena kenaikan biaya produksi.
Dalam kaitannya dengan investasi, kenaikan harga minyak dan harga barang akan menyebabkan pada kenaikan tingkat inflasi. Dalam investasi, indikator Inflasi merupakan indikator yang amat penting. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan kenaikan harga barang. Sebagai akibat dari inflasi yang tinggi, maka pemerintah akan menaikkan BI Rate untuk mengendalikan tingkat inflasi.
Kenaikan BI rate umumnya akan diiringi dengan kenaikan imbal hasil instrumen yang low risk seperti deposito dan obligasi. Dalam situasi dimana BI rate dan Inflasi mengalami kenaikan, umumnya pergerakan harga di bursa saham sangat fluktuatif. Dalam kondisi seperti ini, investor harus lebih berhati-hati dan selektif dalam memilih instrumen investasi. Sebab selain memiliki risiko fluktuasi yang tinggi, terdapat pula kesempatan bagi kita untuk mendapatkan instrumen investasi seperti saham dan reksa dana pada harga yang rendah.
Kondisi seperti ini sudah pernah kita alami seperti pada tahun 2005 dan 2008 yang lalu. Perbedaannya, pada tahun 2005, inflasi mengalami kenaikan karena kebijakan pencabutan subsidi BBM sehingga harga melonjak drastis. Namun setelah itu tingkat inflasi menjadi relatif terkendali dan dan kemudian turun secara bertahap. Pada saat itu (terjadi lonjakan inflasi), suku bunga juga dinaikkan hingga sempat mencapai 12%. Pada tahun tersebut, meskipun pergerakan IHSG amat berfluktuasi sepanjang tahun, pada penutupan akhir tahun masih ditutup positif dengan kenaikan sebesar 16,27%.
Sedangkan pada tahun 2008, kondisinya sedikit berbeda. Inflasi dan suku bunga juga melonjak tinggi. Perbedaannya, inflasi disebabkan oleh kenaikan harga komoditas karena tingginya permintaan Cina pada waktu itu sehingga relatif tidak terkendali. Kondisi itu diperburuk dengan krisis Subprime Mortgage sehingga pada penutupan akhir tahun IHSG mengalami penurunan hingga -50,68%.
Bagaimana dengan 2011 ?
Dalam jangka panjang, di satu sisi potensi kenaikan rating menjadi Investment Grade, solidnya pertumbuhan ekonomi, dan fundamental perekonomian yang kuat mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang prospek investasi baik di sektor riil maupun sektor pasar modal masih menjanjikan. Sementara dalam jangka pendek, kenaikan inflasi dan suku bunga dapat berpotensi menyebabkan pergerakan harga yang terlalu berfluktuasi.
Dalam pandangan kami, faktor yang sebaiknya menjadi perhatian dari investor saat ini adalah memperhatikan perkembangan inflasi dan suku bunga. Terkendali atau tidaknya inflasi dan suku bunga dapat dilihat dari tingkat kenaikan suku bunga. Saat ini konsensus para analis terhadap tingkat suku bunga yang tertinggi adalah pada level 7.5%.
Dengan kata lain, apabila tingkat suku bunga naik di atas 7,5%, maka dapat diinterprestasikan bahwa inflasi sudah di luar kendali. Inflasi yang tidak terkendali memiliki dampak yang tidak baik terhadap bursa saham dan obligasi. Jika terjadi, investor harus siap mental seandainya terjadi kerugian.
Sementara jika suku bunga bisa tertahan pada level tersebut hingga akhir tahun, maka dapat diinterprestasikan sebagai tingkat inflasi yang terkendali. Dalam kondisi tersebut, kami memperkirakan bahwa harga saham dan obligasi masih akan tetap sangat berflukutasi namun masih akan tetap memberikan keuntungan bagi investor.
Di luar indikator tersebut, faktor laporan keuangan yang baru dipublikasikan dalam beberapa waktu terakhir juga dapat memberikan indikator yang positif. Tercatat ada beberapa emiten yang mencatatkan pertumbuhan laba yang signifikan.
Bagaimanapun dengan adanya kenaikan suku bunga dan inflasi ini, menandakan era kondisi investasi yang kondusif ini sudah berakhir. Investor harus bersiap-siap menghadapi situasi pasar yang berubah-ubah. Mindset bahwa tahun lalu mendapatkan keuntungan besar, maka tahun ini juga, harus diperbaiki. Sebab kondisinya sudah berbeda.
Dalam kondisi demikian, ada beberapa alternatif yang dapat diambil oleh investor. Salah satunya adalah dengan melakukan Bargain Hunting. Akibat penurunan ini, ada harga saham dari beberapa emiten dengan kondisi fundamental yang bagus yang sudah turun di bawah harga wajarnya. Hal ini diindikasikan dengan tingkat PER (Price Earning Ratio) atau PBV (Price Book Value Ratio) yang sudah dibawah rata-rata 5 tahun terakhir. Dalam hal memilih untuk berinvestasi pada instrumen reksa dana, investor juga sebaiknya memilih reksa dana saham yang karakteristiknya lebih konservatif serta mencermati bagaimana kinerja historis reksa dana tersebut terutama pada saat kondisi pasar sedang kurang kondusif pada tahun 2008 dan 2005. Alternatif lain adalah melakukan investasi pada instrumen yang lebih low risk seperti Obligasi, Reksa Dana Terproteksi atau Deposito namun memberikan imbal hasil yang semakin tinggi karena kenaikan suku bunga. Selain itu, Investor juga bisa mempertimbangkan investasi alternatif di luar pasar modal seperti komoditas emas atau properti.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi anda semua. Selamat berinvestasi.
Penyebutan produk investasi di atas (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis.
“Melakukan copy & paste artikel berita ini dan atau mendistribusikan ulang melalui situs atau blog Anda tanpa izin tertulis adalah melanggar Hak Cipta / Copyright ©”





Tinggalkan Balasan ke Chrispinus Batalkan balasan