IHSG dan Saham kembali membuktikan dirinya sebagai instrumen yang High Risk. Setelah mencapai titik tertinggi dalam sejarah yang baru, hanya dalam 1 bulan (Mei 2012), harga saham kembali terkoreksi dengan dalam bahkan lebih rendah dibandingkan harga penutupan akhir tahun sebelumnya dan Indonesia merupakan bursa dengan penurunan paling parah dibandingkan negara lainnya. Namun entah memang diluar dugaan, atau memang sudah diduga sebelumnya IHSG rebound dengan cepat. Hanya dalam waktu 2 hari, naik lebih dari 5%, bukan tidak mungkin akan kembali ke level 4000 dalam waktu dekat. Sebetulnya apa yang terjadi? Apakah dana asing yang keluar sudah berbalik masuk? Apakah sudah ada penyelesaian dalam krisis Eropa? Atau yang terkadang pertanyaan ini sering muncul dalam benak saya – “Apakah Dunia Berubah Dalam 2 Hari?”
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya mencoba mencari beberapa informasi indikator ekonomi yang saya anggap reliabel. Ada 2 fakta menarik yang saya temukan…
Bad News is Good News. Yang dimaksud dengan istilah tersebut menurut saya yang awam tentang jurnalistik dan media massa ini adalah bahwa media lebih banyak mempublikasikan berita kurang baik dibandingkan berita baik karena berita kurang baik lebih menjual dibandingkan berita baik (bisa dikoreksi jika definisi ini kurang tepat). Paling tidak inilah yang saya rasakan dari berita harga minyak dan inflasi. Sebagai contoh: Sampai dengan beberapa bulan yang lalu, tingginya harga minyak menjadi kekhawatiran global. Inflasi tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia diperkirakan akan meningkat sebagai efek tingginya harga minyak. Ditambah dengan krisis di Eropa, harga minyak yang tinggi ibarat buah simalakama. Sudah banyak berutang, masih harus membeli minyak dengan harga mahal. Sampai-sampai Indonesia harus mencanangkan gerakan penghematan BBM untuk menjaga agar stok minyak dan keuangan negara tidak defisit terlalu besar. Kesan yang saya dapat – Harga Minyak Tinggi – Inflasi Tinggi – Tidak Baik Bagi Ekonomi – Investor Takut Berinvestasi
Namun apa yang terjadi? Seolah dunia berubah dalam 2 hari, harga minyak sudah turun sekitar 20 an% dari titik tertingginya. Inflasi Indonesia pada bulan Mei diluar dugaan analis karena terlalu rendah. Inflasi Month on Month Mei 2012 Hanya 0.07%, lebih rendah dari ekspektasi yang sekitar 0.2% – 0.3%. Yang di luar dugaan saya, bukannya berita tentang bagaimana efek turunnya harga minyak dan inflasi ini dibahas dari sudut pandang bagaimana efek positifnya perekonomian negara dan keleluasaan BI untuk tidak menaikkan suku bunga. Malahan fokus utama pada Harga Minyak yang turun karena Perlambatan Ekonomi di China yang menjadi dugaan bahwa permintaan akan turun. Padahal kalau kita lihat lebih dalam, China bukannya mengalami pertumbuhan negatif, akan tetapi hanya melambat dari yang biasanya 9% menjadi 8%an. Padahal angka ini, jelas sudah lebih tinggi dibandingkan proyeksi pertumbuhan Indonesia yang sekitar 6.1%. Kesan yang saya dapat Harga Minyak Turun – Perlambatan Ekonomi Dunia – Sentimen Negatif – Investor Takut Berinvestasi
Jadi mau harga minyak naik atau harga minyak turun, angle pemberitaan lebih fokus pada hal negatif dibandingkan positifnya. Apalagi berita tersebut mulai muncul ketika IHSG sedang asik2nya terkoreksi, tentunya hal ini malah menambah ketakutan investor.
2. Aliran Dana Asing.
Karena sudah pernah dibahas dalam tulisan sebelumnya di sini, maka saya lebih menampilkan data yang diperbaharui saja. Informasi ini diambil dari http://www.infovesta.com.
Berikut ini adalah data per tanggal 15 Mei (Artikel Aliran Dana Asing dan IHSG)
Berikut adalah aliran dana asing hingga 8 Juni 2012
Dari analisis tersebut, tampak jelas bahwa analisa saya yang sebelumnya meleset (he he). saya memperkirakan akumulasi bisa mencapai hingga +20 T (atau +12.5 dalam grafik akumulasi sebab dihitung dari -7.5 ke 12.5) baru akan mengalami jenuh jual. Namun pada kenyataannya dana asing ternyata sudah jenuh jual dan terus menerus mengalami net outflow dari posisi sekitar +6 T menjadi negatif beberapa ratus milliar. Selain itu, dalam analisis sebelumnya, saya memperkirakan bahwa penurunan di IHSG kalaupun terjadi, seharusnya tidak signifikan. Masalahnya, definisi “signifikan” itu bisa berbeda setiap orang. Menurut saya, penurunan IHSG yang sempat ke level yang lebih rendah dari nilai penutupan akhir tahun sebelumnya dan sekarang sudah rebound ke level 3825 masih saya katakan “belum signifikan“. Tapi tentu setiap orang bisa punya pendapat yang berbeda-beda.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan yang akan datang? Sebetulnya pendapat saya masih belum terlalu berubah. Meski saat ini ada analisis yang cenderung agak pesimis dengan keadaan yang ada, saya tetap optimis. Optimisime saya karena fakta antara lain:
- Valuasi PE Ratio sudah di bawah rata-rata. Jadi kalau mau dibilang beli saham saat murah, sekarang sudah bisa dikatakan murah. Meski demikian, harga yang murah tidak menjadi jaminan tidak akan turun lebih dalam. Masalahnya saya tidak tahu berapa bottomnya. Tinggal sekarang anda mau beli di harga “murah” atau “murah sekali” ?
- Harga minyak dan komoditas yang sudah turun, mengurangi kekhawatiran inflasi yang akan meningkat (pada awal tahun). Akibatnya pemerintah akan memiliki kebebasan untuk tidak menaikkan BI Rate. BI rate yang rendah akan menyebabkan pemerintah dan korporasi bisa mendapatkan akses dana murah (kupon obligasi tidak perlu dipatok terlalu tinggi) untuk mendukung pembiayaan perusahaan melalui pasar obligasi. Jadi pertumbuhan laba bersih masih bisa dipertahankan perusahaan. Meski demikian, sektor saham yang fokus pada komoditas mungkin mengalami hantaman yang cukup dalam.
- Dana asing memang masih net outflow, namun perlu diingat bahwa tidak semua investor asing itu memiliki horison investasi yang pendek. Ada yang memang untuk spekulasi, ada pula investor yang investasi untuk jangka panjang. Jadi, ada kemungkinan dana asing tidak perlu turun sampai -7.5 atau lebih untuk kemudian berbalik arah. Pada akhirnya dana asing akan kembali masuk ke Indonesia, hanya kita perlu bersabar dan menunggu waktunya saja.
Kembali, investasi itu mengandung risiko. Pendapat saya hanya merupakan salah referensi yang bisa anda pertimbangkan. Kalau dimungkinkan, berdiskusilah dengan perencana keuangan atau penasihat investasi terpercaya anda. Semoga bermanfaat.
Oh ya, saya juga sudah membuat account twitter. Saat ini memang masih belum aktif, namun akan saya aktifkan di masa yang akan datang. Mohon dukungannya dengan menfollow account twitter saya di link ini.
Penyebutan produk investasiĀ (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.
Menarik sekali artikelnya Bpk Rudiyanto. Menurut saya pribadi, jika ingin berinvestasi dalam reksadana saham memang time horisonnya harus jangka panjang. Terutama disiplin berinvestasi secara dollar cost averaging. Atau setidaknya berinvestasi secara disiplin dan teratur setiap market turun tanpa perlu melihat peluang seberapa dalam dasar/bottoming nya. Karena tidak pernah ada yang bisa meramal pasti kapan dasarnya akan terjadi.
LikeLike
selamat siang pak Rudiyanto,
kalau boleh tahu, grafik net sell (buy) asing selama beberapa tahun terakhir (ditampilkan perbulan) dimanakah bisa saya lihat? sebab melihat dari artikel bapak, saya mencoba untuk mencari di infovesta.com, namun hanya menemukan grafik untuk beberapa hari terakhir saja.
terimakasih banyak atas infonya pak. Semoga sukses selalu
LikeLike
Salam
Pak Chrispinus : Terima kasih atas masukan dan komentarnya.
Pak Budi : Untuk itu harus berlangganan pak. Semoga sukses juga.
LikeLike
@Chrispinus
hati2 istilah “jangka panjang” tanpa melihat fundamenyal atau valuasi saham itu sendiri. misal: apa mau bilang 20 tahun atau 10 tahun kurang panjang? lihat aja nasib indeks Nikkei Jepang dan S&P Amerika. coba cek saham2 internet di Amerika (Indonesia juga) yg saat ini mungkin banyak yg sudah bangkrut atau belum balik ke titik tinggi 1999. sama nasib buat saham bank/properti yg bubble di era 1996-1997 untuk kasus Indonesia dan 2000-an untuk kasus Amerika.
LikeLike
@rizal
Apa kabar Pak Rizal? Rasanya sudah lama sekali sejak percakapan kita yang terakhir. Mengenai tanggapan akan return investasi jangka panjang, kebetulan juga ada artikel yang pernah saya buat yaitu http://rudiyanto.blog.kontan.co.id/2011/04/02/apakah-investasi-saham-jangka-panjang-pasti-menguntungkan/
Semoga bisa menjadi salah satu referensi. Semoga sukses untuk anda juga pak. Btw, tulisan anda di kompasiana sangat menginsipirasi pak.
LikeLike
@rizal
Bro Rizal,
Eh ini Rizal yang di Asset Management itu kan? Memang menurut saya pribadi, tidak ada yang kekal termasuk saham itu sendiri. Pasar saham Indonesia pun rasanya akan mencapai titik jenuhnya, namun saya tidak tahu pastinya di angka berapa.
Ngomong-ngomong banyak lho financial planner dan pegawai asset management yang terus-terusan membrainwash para nasabah reksadana dengan iming-iming jangka panjang, tanpa menjelaskan lebih detail. Anyway keep writing Pak Rizal, saya senang sekali banyak kontribusi para pakar di Kompasiana.
LikeLike