Artikel ini merupakan lanjutan dari seri tulisan sebelumnya yang membahas tentang risiko dan return. Pada tulisan seri ketiga, pembahasan berfokus pada risiko Unquantified Risk. Dalam kesempatan kali ini saya ingin membahas tentang risiko yang bisa dihitung atau dinyatakan dalam angka atau notasi. Keunggulan dari risiko ini adalah dapat kita gunakan untuk membandingkan produk yang satu dengan produk lainnya.
Berbeda dengan Unquantified Risk yang sifatnya operasional dan sangat subjektif (interprestasi bisa berbeda antara orang yang satu dengan yang lain), quantified risk (Risiko yang bisa dihitung), karena sifatnya notasi atau angka, maka kemungkinan perbedaan interprestasi amat minim. Secara umum, ada 2 risiko yang diukur disini yaitu Risiko Gagal Bayar (Kredit) dan Risiko Fluktuasi Harga (Kerugian)
Risiko Gagal Bayar (Credit Risk)
Risiko gagal bayar adalah risiko yang menunjukkan seberapa besar kemungkinan suatu instrumen mengalami gagal bayar baik bunga / kupon dan pokok utangnya. Risiko Gagal Bayar umumnya bisa dijumpai pada obligasi. Risiko ini dinyatakan dalam bentuk rating dan diukur oleh suatu perusahaan pemeringkat. Untuk kasus di Indonesia, perusahaan pemeringkat harus mendapat izin dari pemerintah. Risiko Gagal Bayar obligasi sebelumnya juga pernah dibahas dalam artikel Rating Obligasi. Sebagai informasi, Risiko Obligasi dalam bentuk rating adalah sebagai berikut:
- Investment Grade (Obligasi Peringkat Layak Investasi)
- AAA atau Aaa
- AA+, AA dan AA- atau Aa1, Aa2 dan Aa3
- A+, A, dan A- atau A1, A2 dan A3
- BBB+, BBB dan BBB- atau Baa1, Baa2 dan Baa3
- Non Investment Grade (junk Bond / Obligasi Peringkat Tidak Layak Investasi) dengan rating di bawah BBB atau Baa
- BB+, BB dan BB- atau Ba1, Ba2, dan Ba3
- B+, B dan B- atau B1, B2 dan B3
- CCC+, CCC dan CCC- atau Caa1, Caa2, dan Caa3
- CC+, CC dan CC- atau Ca11, Ca2 dan Ca3
- C+, C dan C- atau C1, C2 dan C3
- Default
Tahukah anda? ternyata risiko gagal bayar juga ada di reksa dana. Hal ini sangat wajar karena ada jenis reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap dan reksa dana terproteksi yang sebagian besar portofolionya berada di Obligasi. Sama seperti obligasi, Risiko Gagal Bayar reksa dana juga dinyatakan dalam rating sebagaimana obligasi. Di Indonesia, lembaga pemeringkat PEFINDO (Pemeringkat Efek Indonesia) merupakan lembaga yang mempelopori pemeringkatan risiko gagal bayar reksa dana terutama pada reksa dana pasar uang dan reksa dana pendapatan tetap. Latar belakang pemeringkatan dan Contoh rating reksa dana dapat diakses pada link sebagai berikut:
- Latar Belakang http://new.pefindo.com/scfr_index.php?pid=6
- Daftar Reksa Dana yang Di Rating http://new.pefindo.com/scfrr_index.php?
- Contoh Rating Reksa Dana http://new.pefindo.com/files/mutualfund/dnim-mpus-rr-1104.pdf
Sayang sekali, perkembangan akan rating risiko gagal bayar di Indonesia sepertinya tidak terlalu menggembirakan hal ini bisa dilihat dari sedikitnya reksa dana yang dirating dalam website, tapi bisa saja ada lebih banyak lagi namun tidak ditampilkan seluruhnya. Jenis rating ini sangat diperlukan terutama di reksa dana pendapatan tetap yang berbasis obligasi korporasi. Dengan adanya rating risiko gagal bayar ini, jenis reksa dana yang rentan akan risiko gagal bayar dapat diketahui dengan jelas risikonya, selain itu, rating risiko gagal bayar juga dapat meningkatkan keterbukaan dalam suatu reksa dana.
Risiko Fluktuasi Harga (Market Risk)
Risiko pasar adalah risiko yang paling umum dibahas dalam seluruh mata kuliah investasi dan keuangan. Sebab dengan asumsi proses administrasi berjalan sempurna dan kemungkinan gagal bayar kecil, maka yang menjadi risiko terbesar yang dihadapi oleh investor adalah risiko turunnya harga. Standar Deviasi dan Beta adalah indikator risiko yang paling umum dan banyak digunakan pada saham maupun reksa dana. Sebagai informasi PEFINDO baru-baru ini menerbitkan informasi Beta Saham sebagai salah satu referensi informasi bagi investor. http://new.pefindo.com/files/beta_saham.pdf.
Salah satu kesalahan umum dalam pengukuran risiko pasar adalah menyamaratakan antara saham dan reksa dana dengan obligasi. Sebagai contoh, karena sama-sama memiliki harga historis, maka perhitungan standar deviasi dan beta yang umumnya dilakukan pada saham dan reksa dana dilakukan juga pada obligasi. Hal ini kurang tepat karena nature daripada saham dan reksa dana dengan obligasi amat berbeda. Perbedaan utama adalah obligasi memiliki jatuh tempo sehingga kenaikan harga obligasi terbatas karena pasti kembali ke 100 pada saat jatuh tempo, sementara saham dan reksa dana tidak memiliki jatuh tempo sehingga harganya bisa naik terus hingga tidak terbatas selama perusahaan / Manajer Investasi masih eksis. Dengan demikian, meski data tersedia dan bisa dihitung secara matematis, sebenarnya cara perhitungan risiko pasar di saham dan reksa dana tidak berlaku di obligasi.
Berdasarkan tabel yang saya tunjukkan di atas, ada 3 jenis risiko pasar yaitu:
- Modified Duration and Convexity pada Obligasi
- Beta pada Saham dan Reksa Dana
- Standar Deviasi dan Value At Risk
Modified Duration dan Convexity –> Konsep tentang Duration telah pernah saya bahas dalam artikel http://rudiyanto.blog.kontan.co.id/2012/03/11/mengenal-cara-kerja-obligasi-2-analisa-risiko-obligasi/. Konsep tentang Convexity akan saya jelaskan dalam kesempatan yang lain.
Raw Beta dan Adjusted Beta
Beta adalah suatu indikator yang menunjukkan risiko sistematik dari suatu saham / reksa dana. Perhitungan Beta dilakukan dengan cara membagi antara covarian antara saham / reksa dana dan IHSG dengan varian IHSG. Hasil pembagian di atas disebut juga Raw Beta atau Beta berdasarkan data historis. Berdasarkan teori investasi, nilai beta dalam jangka panjang akan menuju ke 1 sehingga perlu disesuaikan. Penyesuaian beta dilakukan dengan cara mengalikan Raw Beta dengan 2/3 ditambah 1/3. Sebagai contoh perhitungan beta berikut rumus excel yang digunakan:
Beta ASII adalah 1,15 artinya jika IHSG (pasar / market) naik 10% maka kenaikan ASII diperkirakan sekitar 11.5%, demikian pula jika IHSG turun 10%, maka ASII bisa turun sekitar 11.5%. (Perhitungan yang lebih pasti menggunakan konsep CAPM – Capital Asset Pricing Model). Cara yang sama juga dapat dipergunakan pada reksa dana dengan menggunakan cara yang sama. Dalam praktek, semakin besar beta, maka semakin besar pula risiko suatu saham / reksa dana.
Penggunaan beta dalam reksa dana menurut saya sangat luas dan tidak terbatas pada reksa dana saham saja, namun juga pada reksa dana campuran, pendapatan tetap bahkan pasar uang. Namun pada jenis non saham, terkadang indeks yang dijadikan sebagai acuan dalam hal ini IHSG terkadang menjadi perdebatan. Sebagai contoh, penggunaan IHSG sebagai indikator pasar / market pada reksa dana pendapatan tetap dirasakan kurang afdol karena reksa dana tersebut berbasis obligasi sementara pasar uang dijadikan acuan adalah indeks saham. Sebagian ahli berpendapat bahwa indeks yang lebih tepat adalah indeks obligasi untuk reksa dana pendapatan tetap dan pasar uang, dan kombinasi indeks obligasi dan indeks saham untuk reksa dana campuran.
Meski demikian, menurut saya, konsep tersebut tepat secara teori namun tidak praktis. Sebagai contoh ada reksa dana saham A, yang setelah dihitung Beta dengan IHSG sebagai pasar adalah 1,2. Kemudian ada reksa dana pendapatan tetap B yang dihitung beta dengan Indeks Obligasi sebagai pasar menghasilkan angka 1,5. Apakah artinya Reksa Dana Pendapatan Tetap B lebih berisiko dibandingkan Reksa Dana Saham A? Jika hanya mengacu ke beta tentu jawabannya benar, namun jika dibandingkan kedua produk tersebut jelas reksa dana saham lebih berisiko dibandingkan reksa dana pendapatan tetap. Hal ini bisa terjadi karena perhitungan beta didasarkan pada 2 indeks yang berbeda.
Menurut saya, tidak menjadi masalah, bahwa IHSG digunakan sebagai benchmark dalam perhitungan beta di semua jenis reksa dana yang ada di Indonesia. Sebagai contoh jika reksa dana pendapatan tetap B di atas jika dihitung dengan IHSG, beta yang dihasilkan adalah 0,2. Jika kita membandingkan 1,2 dan 0,2 tentu kita bisa mendapatkan gambaran secara jelas bahwa reksa dana saham dengan beta 1,2 lebih berisiko dibandingkan reksa dana pendapatan tetap dengan beta 0,2.
Contoh tersebut juga sudah pernah saya bahas dalam artikel terdahulu di http://rudiyanto.blog.kontan.co.id/2011/05/16/mengenal-metode-evaluasi-kinerja-reksa-dana/. Secara internasional, penggunakan IHSG sebagai benchmark perhitungan beta untuk jenis reksa dana non saham juga sudah umum sebagai contoh Panin Dana Utama Plus 2 yang dihitung beta berdasarkan perbandingannya dengan JCI di Bloomberg http://www.bloomberg.com/quote/PTPDUP2:IJ
Demikian sharing saya kali ini, mohon maaf jika terlalu teknis untuk anda yang masih awam. Pembahasan tentang standar deviasi dan Value At Risk akan saya bahas dalam kesempatan yang akan datang. Semoga artikel ini bermanfaat bagi anda.
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.
Makasih sharingnya pak.
Pak saya mau nanya yg nyambung-nyambung gak nyambung, tentang perbedaan resiko antara reksadana (untuk selanjutnya saya singkat RD) campuran dan saham. Sering disebut bahwa RD campuran punya resiko yang lebih kecil dari saham. Ini kemudian diartikan bahwa RD campuran fluktuasinya lebih kecil, atau betanya lebih kecil dari RD saham. Hal ini masuk akal mengingat RD campuran dia boleh investasi non saham maksimum 70%, sehingga kalau pasar modal sedang anjlok mestinya dia bisa switch ke pasar uang. Lain dengan RD saham dimana dia 80% harus invest di saham.
Apa pengertian saya benar?
Tapi kemudian kalau kita bandingkan, misalnya (maaf saya sebut saja produknya biar lebih jelas) Panin Dana Maksima vs Panin Dana Bersama Plus. Kenapa pergerakan NAV nya kok hampir sama persis, termasuk ketika market anjlok pada awal bulan Juni 2012 kemarin? Bukannya harusnya RD campuran anjloknya lebih sedikit?
Mohon pencerahan. Terima kasih sebelumnya.
LikeLike
@Benny
Salam Benny,
Terima kasih untuk pertanyaannya. Perlu saya informasikan, untuk berikutnya mohon untuk pertanyaan yang sifatnya dirasakan tidak nyambung bisa disampaikan melalui forum diskusi yang saya sediakan. http://rudiyanto.blog.kontan.co.id/forum-diskusi/
Terkait pertanyaan anda, pertama-tama, saya ingin menjelaskan bahwa sesuai dengan alokasi yang diperbolehkan yaitu maksimum 79% pada saham, obligasi dan pasar uang, memang dimungkinkan bagi Manajer Investasi utk melakukan market timing dengan memindahkan portofolio ke saham / obligasi apabila dirasakan market akan bullish atau bearish. Akan tetapi, kalau boleh jujur saya yakin tidak ada Manajer Investasi yang mampu menebak arah pasar secara konsisten (benar) dalam jangka waktu panjang, sebab kalau ada, tentunya sudah ada pula reksa dana yang tidak pernah rugi barang seharipun sejak hari pertama penerbitan reksa dana tersebut.
Oleh karena tidak ada Manajer Investasi (menurut saya) yang mampu melakukan market timing secara sempurna, maka seyogianya reksa dana campuran tersebut seharusnya bermain di komposisi saham dan obligasi. Misalkan dengan komposisi saham seperti contoh anda 70% sehingga ketika saham turun, maka tentu penurunannya lebih sedikit dibandingkan reksa dana saham yang komposisinya 80% – 100% di saham. Jadi penekanannya adalah pada komposisi saham dan obligasi bukan kemampuan swithcingnya meskipun jika ada Manajer Investasi atau Agen Penjual yang mengklaim hal tersebut, sah-sah saja karena memang diperbolehkan. Cuman pertanyaannya apakah mampu atau tidak mampu.
Kemudian terkait pertanyaan anda, terus terang saya melihat banyak investor yang terjebak dalam pergerakan NAB/Up dan return harian dalam jangka pendek. Perlu kita ketahui, market itu tidak selamanya hanya naik dan turun. Terkadang ada sideways. Kalau naik, RD Saham lebih tinggi daripada RD Campuran dan sebaliknya saat turun. Namun pada kondisi sideways, ketentuan di atas terkadang tidak berlaku 100% dalam jangka pendek.
Jika anda melihatnya dalam jangka yang lebih panjang, misalkan 1 tahun, di link ini http://www.panin-am.co.id/FundsAndPerformance.aspx. Anda akan menyadari bahwa ketika market dalam kondisi naik, teori yang saya jelaskan di atas berlaku. Dimana data per 5 April 2013, Return 1 tahun Panin Dana Maksima adalah 22.33% bandingkan dengan Panin Dana Bersama Plus 17.72%. Jika dalam suatu kesempatan, dalam hitungan hari atau minggu, dimana kinerja Panin Dana Bersama Plus lebih baik atau hampir sama dibandingkan Panin Dana Maksima dimana kondisinya pasarnya sedang bagus, bisa saja itu memang kebetulan komposisi saham pada kedua reksa dana tersebut mendekati.
Sebagai informasi, reksa dana campuran sendiri, karena permintaan investor yang agak beragam, maka juga dibagi lagi sesuai profil risikonya. Di Panin Asset Management, reksa dana campuran yang dikelola antara lain:
Panin Dana Bersama Plus target alokasi hingga 79% pada saham – Moderat Agresif
Panin Dana Unggulan target alokasi 60% – 70% pada saham – Moderat Agak Agresif
Panin Dana Syariah Berimbang target alokasi 50% pada saham – Moderat
Panin Dana Prioritas target alokasi 30% pada saham – Moderat Konservatif
Ada lagi Panin Dana USD yang komposisinya sama dengan Panin Dana Prioritas, namun mata uang dari reksa dana ini adalah USD, sehingga ada risiko kurs yang harus diperhatikan oleh investor.
Demikian penjelasannya, semoga dapat menjawab pertanyaan anda, terima kasih.
LikeLike
pak rudy, dalam mengitung value at risk dalam sekala tahunan..
close price yg di ambil pada bulan apa ? apa harus cari dulu rata2 close price dalam setahun.
kasus saya analisis risiko melalui var pd lq45 2010-2014.
makasih pak..
LikeLike
@haren tambi
Salam Pak Haren,
Mungkin bisa ditanyakan dengan dosen pembimbing anda mengenai harga rata-rata tersebut.
Kalau pada contoh saya di atas, tidak ada penggunaan harga rata-rata.
Semoga bermanfaat.
LikeLike
Selamat sore bpk Rudi,
Untuk konsep convexity dan value at risk blum dibahas ya pak?
LikeLike
Selamat sore Ratna,
Convexity itu utk obligasi, meskipun namanya keren dan ada rumusnya, biasanya kurang relevan dalam praktek krn itu seperti semacam error saja dalam persamaan.
Untuk Value At Risk sepertinya sudah pernah, mungkin bisa cari di artikel yang lain
Thanks
LikeLike