Tanggal 14 Maret 2014 Jam 14.40 WIB yang lalu merupakan hari yang cukup mengejutkan bagi pasar modal Indonesia. Baru saja bapak Joko Widodo mengumumkan bahwa dia akan ikut pencalonan presiden, langsung saja IHSG melesat naik. Kenaikannya juga tidak tanggung2, dari negatif sekitar satu persen-an langsung menjadi positif tiga persen-an. Pertanyaannya, sampai kapan efek terhadap kenaikan saham ini akan bertahan?
Sebagai investor di pasar modal, kita perlu berpikir dan bertindak secara rasional. Pergerakan harga saham memang merupakan kombinasi dari fundamental dan sentimen. Artinya jika fundamental baik harga saham akan baik dan sebaliknya. Namun dalam perjalanannya, sentimen bisa bertindak sebagai anomali.
Terkadang perusahaan yang fundamentalnya baik, namun karena sentimen pasar sedang negatif, harga saham turun. Biasanya momen ini menjadi kesempatan untuk membeli di harga murah. Sebab dalam jangka panjang, harga saham akan kembali naik mencerminkan fundamental perusahaan.
Sebaliknya, ada juga saat ketika fundamental perusahaan sedang kurang baik, namun terdapat sentimen positif yang luar biasa, harga saham malah naik. Ketika harga sudah naik luar biasa tinggi, momen ini dimanfaatkan untuk profit taking. Harga saham yang naik terlalu tinggi, biasanya akan terkoreksi menyesuaikan kinerja fundementalnya.
Sentimen sendiri juga merupakan faktor yang bisa berubah dengan cepat. Berbeda dengan data fundamental yang dipublikasikan setiap 3 bulan, berita-berita yang mempengaruhi sentimen bisa berubah dengan sangat cepat dalam hitungan hari. Sumbernya tidak hanya dari dalam negeri tapi juga luar negeri.
Untuk menjawab pertanyaan sampai kapan Jokowi Effect ini akan bertahan, maka kita perlu menganalisa apakah Jokowi Effect yang merupakan sentimen sesaat ini bisa berubah menjadi sesuatu yang fundamental atau tidak. Kemudian, apakah fundamental dari IHSG sendiri sedang dalam kondisi baik atau tidak. Dan terakhir, apa saja sentimen lain yang mungkin akan muncul dalam tahun ini.
Apakah Jokowi Effect bisa menjadi faktor Fundamental?
Berbicara Pencapresan Joko Widodo, kita berbicara politik. Dalam politik tidak ada yang pasti. Joko Widodo baru mencalonkan jadi Presiden, bukan memenanginya. Sebelumnya hasilnya diumumkan, tidak ada jaminan dia yang pasti menang. Jangan dilupakan juga, PEMILU dibagi menjadi 2 yaitu Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli.
Pemilihan di atas belum termasuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilakukan sebelum dan sesudah PEMILU ini. Sebagai contoh, Pilkada Jakarta yang diadakan kurang dari 2 tahun sebelum saat ini. Apa implikasi dari Pileg dan Pilkada tersebut? Efisiensi dan Efektivitas penyelenggaraan negara.
Kita tentu sudah melihat dan membaca di media, betapa untuk mengurusi Jakarta saja sudah sedemikian ribetnya dalam pelaksanaan peraturan. Sebagai contoh, Rumah Susun yang disewakan kepada orang yang tidak berhak, pedagang yang kembali berjualan di jalan meskipun sudah dilarang, pengadaan busway yang bermasalah, pembangunan sodetan yang ditolak daerah lain, penolakan dalam kasus pembebasan lahan pembangunan waduk dan lain sebagainya. Hal di atas terjadi bukan lantaran Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta tidak cakap, namun karena berbagai hal mulai dari kemampuan pelaksana di lapangan, pembagian tugas dengan pemerintah pusat, diskusi anggaran tingkat DPRD dan penolakan dari kelompok masyarakat yang mangkok makannya terganggu.
Faktor-faktor di atas memang tidak bisa dihindari, namun yang paling vital menurut saya adalah kemampuan pelaksana yaitu kabinet yang terdiri dari menteri-menteri dan diskusi anggaran di tingkat DPR dan DPRD harus dikuasai dengan baik.
Apabila partai yang mengusung Jokowi tidak menang mayoritas, maka seandainya beliau menang dalam Pilpres sekalipum, tentu dia akan menghadapi kendala yang sama saat mengelola Jakarta. Oleh karena itu, fokus sebaiknya tidak hanya pada apakah dia akan menjadi presiden atau tidak, tapi apakah partai yang mengusungnya bisa menang mayoritas atau tidak.
Jadi Jokowi Effect bisa menjadi fundamental atau tidak, menurut saya tergantung hasil Pileg bukan Pilpres. Kemenangan pada Pileg akan menjadi faktor yang mendukung efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan nantinya. Setelah itu, adalah pembangunan yang akan dia lakukan, apakah mendukung pertumbuhan ekonomi atau tidak. Ini juga dengan asumsi juga bahwa dia yang menang ya. Sekali lagi dalam politik tidak ada yang pasti.
Bagaimana Dengan Fundamental IHSG saat ini?
Salah satu indikator yang paling baik dalam mencerminkan fundamental IHSG adalah tingkat pertumbuhan laba bersih perusahaannya. Baik buruknya fundamental biasanya dilihat dari 2 hal, apakah perusahaan membukukan pertumbuhan laba bersih dibandingkan tahun sebelumnya atau tidak dan apakah persentasenya lebih baik dibandingkan ekspektasi atau tidak.
Berdasarkan publikasi laporan keuangan yang dirilis dalam beberapa minggu terakhir ini, meski pertumbuhan ekonomi melambat dan suku bunga naik, ternyata kinerja perbankan Indonesia tetap kinclong selama 2013. Bahkan Net Interest Margin perbankan Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia, tidak heran banyak bank dari luar negeri berusaha menguasai bank di Indonesia.
Sektor perbankan selama ini merupakan kontributor utama dalam IHSG sehingga kinerja sektor perbankan yang baik merupakan pertanda bahwa kinerja fundamental IHSG tetap baik meski tidak semuanya. Baiknya laporan keuangan perbankan ini jugalah yang mendorong kenaikan IHSG sejak awal tahun. Jangan lupa, sebelum pengumuman Capres Jokowi, IHSG sudah naik 10 – 11%an sejak awal tahun.
Berdasarkan publikasi laporan keuangan ini, secara umum bisa dikatakan fundamental kita saat ini sudah cukup baik. Faktor fundamental lain yang berpotensi bisa mendongkrak kenaikan bursa ini adalah penurunan tingkat suku bunga. Apabila suku bunga ternyata bisa diturunkan pada semester II tahun ini, maka kenaikan IHSG akan semakin bertenaga. Tentu hal ini, amat tergantung pada besaran tingkat inflasi dan perkembangan defisit neraca perdagangan ke depannya.
Bagaimana dengan Faktor Sentimen Lainnya?
Berbicara sentimen, kita berbicara sesuatu yang tidak pasti. Namun terkadang bisa berdampak pada pergerakan IHSG dalam jangka pendek. Beberapa skenario sentimen yang saya rangkum, baik yang bersifat positif dan negatif antara lain:
- Sentimen kinerja historis yang diharapkan bisa terulang dimana IHSG selalu naik saat PEMILU. Partai apa dan siapapun yang menang, PEMILU menawarkan kepastian politik. Sesuatu yang selalu dinantikan oleh para pebisnis dan pemilik modal. Data historis juga mendukung, dimana Pemilu 1999 IHSG +70%, tahun 2004 IHSG +44% dan tahun 2009 IHSG +86%.
- Di tengah berita asap kebakaran hutan, potensi perang di Ukrania, tarif hotel untuk nonton Piala Dunia di Brazil yang harganya bisa mencapai Rp 7 juta per malam, dan pencapresan Jokowi telah membuat kita lupa bahwa tarif listrik dan gas dinaikkan secara bertahap tahun ini. Kenaikan tarif listrik dan gas bisa berpotensi menaikkan tingkat inflasi sehingga ada potensi penurunan BI rate bisa tidak terjadi tahun ini.
- Joko Widodo adalah sosok yang populer namun menurut saya tidak sepenuhnya populis. Beliau tegas dan tidak ragu untuk melakukan hal yang benar namun tidak populer seperti mengusir warga yang menduduki tanah milik pemerintah dan pedagang yang jualan sembarangan. Dalam konteks kenegaraan, impor BBM selama ini menjadi penyebab defisit neraca perdagangan dan anggaran negara, bukan tidak mungkin harga BBM akan dinaikkan untuk mengatasi hal tersebut. Dan kalau BBM naik, bisa jadi suku bunga naik lagi
Apakah saya pendukung Joko Widodo? Saya sangat menghormati kepiawaian beliau dalam menangani Jakarta. Namun, yang akan saya dukung untuk pencapresan adalah bapak Dahlan Iskan. Beliau merupakan sosok yang menginspirasi saya bahwa “Harapan” bisa dibuat di negeri ini melalui bukunya Manufacturing Hope dan bagaimana aksi nyatanya dalam membenahi BUMN. Yang paling saya suka adalah motonya “Kerja, Kerja, Kerja”.
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi Dan bukan merupakan ajakan untuk memilih calon presiden dan partai tertentu.
Sumber Gambar : idx.co.id, diolah
Sumber Data : Yahoo Finance
Melengkapi analisa poin 2: “Jokowi Effect” akan membuat Rp menguat secara cukup signifikan dan menekan laju inflasi (imported inflation). Terima kasih atas tulisannya, pak Rudyanto
LikeLike
Selamat sore Bpk. Rudiyanto,
Saya selalu mengikuti tulisan bapak untuk membantu saya memahami pasar modal, khususnya reksa dana.
Saat ini saya sedang mempelajari market timing, dan salah satu dalam buku Bapak, anda menjelaskan tentang window dressing. Saya tertarik dan kemudian banyak mempelajari artikel bapak berkaitan window dressing tersebut. salah satunya artikel “Memanfaatkan Window Dressing Reksa Dana Saham”, dimana bapak menjelaskan dengan menerapkan dua skenario, yakni skenario pertama ,membeli pada akhir Oktober menjual pada akhir desember dan skenario kedua membeli pada akhir November dan menjual akhir Desember. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan..
1. Bagaimana cara penghitungan return investasi yang bapak lakukan? Apakah dengan (Nilai Desember-Nilai Oktober/November) dibagi dengan Nilai Oktober/November?
2. Dengan skenario bapak yang pertama, saya mengartikan bahwa saya menahan investasi saya pada november dan menjual di desember? Mengapa penahanan tersebut bisa memberikan return yang lebih rendah dibanding skenario kedua?
Sekian pertanyaan saya.
Terima kasih Pak Rudi.
LikeLike
@edikustanto
Salam Edi Kustanto,
Kalau negara ibarat perusahaan, maka presiden ibarat CEO dan Rupiah ibarat harga sahamnya. Menurut teori investasi, harga saham akan mencerminkan fundamental perusahaan.
Sekarang kalau CEOnya bagus, tapi kinerja perusahaan memble, maka harga saham akan turun dan sebaliknya. Idealnya memang CEO bagus dan perusahaan juga bagus. Jadi fokus kita bukan pada CEOnya tapi kinerja perusahaannya.
Semoga bermanfaat.
LikeLike
@Intania
Salam Intania,
Terima kasih sudah membeli buku saya. Artikel tentang window dressing bisa anda baca di http://rudiyanto.blog.kontan.co.id/2011/10/11/window-dressing-harapan-akhir-tahun/
Memang yang dibuku datanya lebih update.
Mengenai pertanyaan anda:
1. Return 2 bulan sama dengan beli di akhir oktober dan jual di akhir desember. Return 1 bulan sama dengan beli di akhir november dan jual di akhir desember. Pembaginya tentu sesuai bulan pembelian.
2. Coba anda lihat returnnya. Lebih tinggi mana beli 2 bulan atau beli 1 bulan.
Semoga menjawab pertanyaan anda, terima kasih.
LikeLike
Siang pak rudiyanto,
seperti yang disampaikan dalam artikel bapak diatas bahwa momen pemilu selalu membawa dampak positif bagi kinerja IHSG.
Yang mau saya tanyakan bagaimana sebaiknya posisi kita sebagai investor reksadana saat ini menjelang pemilu, kalau kita beli sekarang ditengah kinerja IHSG yang tinggi takut nya setelah pemilu selesai IHSG turun akibatnya kita rugi atau kita tahan dulu menunggu setelah selesai pemilu baru kita membeli reksadana… Terimakasih
LikeLike
@roy tp
Siang Roy,
Pertanyaan tersebut sudah dipernah ditanyakan dan jawaban saya tetap sama.
Silakan anda lihat link di bawah
http://rudiyanto.blog.kontan.co.id/forum-diskusi/#comment-131502
LikeLike
Selamat siang pak rudiyanto,
mohon pencerahannya pak mengenai tekanan yang cukup kuat pd ihsg beberapa hr terakhir ini, apakah tekanan ini akan terus berlanjut, ataukah hanya krn faktor keputusan the FED itu, sehingga sbg investor reksadana perlu melakukan langkah switching, redemption, atau menunggu hingga pulih kembali??? trima kasih
LikeLike
Saya hanya membahas tentang korelasi antara Jokowi Effect (bukan sosok Jokowi) dan Imported Inflation (yang belum dibahas oleh pak Rudy), dan tidak / belum menghubungkannya dengan kinerja emiten. Terima kasih
LikeLike
@nanang
Malam Nanang,
IHSG berubah setiap harinya. Kalau karena keputusan the Fed investor reksa dana harus switching, redemption atau menunggu, maka sebaiknya saya sarankan kepada investor tersebut untuk berhenti menjadi investor reksa dana dan beralih menjadi spekulan saham saja.
Keputusan beli, jual, pindah dan tunggu, sebaiknya didasarkan pada tujuan investasi dan strategi investasi yang dicanangkan sejak awal. Semoga bermanfaat.
LikeLike
jokowi effect? hanya sekilas saja, kemudian kurs rupiah terhadap dollar kembali melemah perlahan sampai terakhir postingan ini saya buat.
untuk IHSG saya nggak memantau sih.
*balada ngecek barang ebay*
LikeLike
pak rudi saya mau nanya ada tidak pengaruh transisi pemerintahan dari Pak Sby ke Pak Jokowi dan pengaruhnya terhadap ihsg? dan kalau ia alat ukur pengaruh yang dapat dipakai apa yah pak
LikeLike
@shinta
Salam Shinta,
Untuk mengetahui pengaruh dari sesuatu yang tidak dapat dikuantifikasi itu selalu sulit.
Sebab kalau secara matematika, anda butuh variabel x dan variabel y. Yang jadi masalah kalau variabel y (IHSG) sebagai variabel dependen berbentuk angka, sementara variabel x (transaksi pemerintahan) sebagai variabel independen tidak berbentuk angka.
Mungkin ada banyak ahli, yang bisa bilang bagus, buruk atau tidak ada pengaruh, tapi tidak bisa di uji pengaruhnya.
Semoga bermanfaat.
LikeLike