Secara umum, tahun 2015 bisa dikatakan sebagai tahun yang tidak menyenangkan bagi investor pasar modal. Apalagi penyebabnya jika bukan karena kinerja saham dan reksa dana saham yang negatif pada tahun tersebut. Penyebabnya? Sepanjang tahun 2015 memang penuh dengan kegaduhan, akibatnya penyerapan anggaran tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ketidakpastian juga mempengaruhi keyakinan investor swasta sehingga cenderung menunda ekspansi investasinya.
Dari sisi eksternal, perlambatan ekonomi China dan persaingan Arab Saudi untuk tetap menjadi penghasil minyak utama di tengah penemuan teknologi shale gas membuat harga komoditas sulit naik. Kemudian ketidakjelasan akibat suku bunga The Fed yang baru bisa diputuskan pada akhir tahun lalu membuat pasar dihinggap ketidakpastian.
Kombinasi dari semua hal di atas menyebabkan laba bersih perusahaan menurun, bahkan ada juga yang mengalami kerugian. Prinsip dari pasar modal, harga saham mencerminkan fundamental perusahaan. Jika laba bersih (fundamental) turun, maka adalah wajar jika harga sahamnya juga ikut turun.
Berikut ini adalah rekapitulasi kinerja pasar modal dan juga komoditas sepanjang 2015.
IHSG dan Reksa Dana 2015
Sepanjang tahun 2015, IHSG mengalami penurunan sebanyak -12.13%. Dalam periode yang sama, reksa dana juga mengalami penurunan meskipun tidak seluruhnya. Indeks reksa dana yang dikeluarkan oleh http://www.infovesta.com adalah indeks yang merepresentasikan rata-rata kinerja reksa dana di Indonesia. Dengan menggunakan indeks tersebut, rata-rata reksa dana pasar uang naik 6.44%, reksa dana pendapatan tetap naik 3%, reksa dana campuran turun -7.07% dan reksa dana saham -14.54%.
Secara umum, target return dari masing-masing jenis reksa dana adalah 5-6% untuk pasar uang, 7-10% untuk pendapatan tetap, 11-15% untuk campuran dan 16-20% untuk saham. Praktis, hanya reksa dana pasar uang yang berhasil memenuhi bahkan melebihi ekspetasinya di tahun 2015. Sisanya tidak berhasil bahkan membukukan kerugian.
Reksa dana pasar uang yang isinya deposito dan obligasi yang jatuh temponya kurang dari 1 tahun memang relatif tidak terpengaruh dengan kondisi pasar. BI Rate yang dipertahankan sepanjang 2015 untuk mengantisipasi kebijakan suku bunga The Fed dan menjaga Rupiah berkontribusi terhadap kinerja reksa dana ini karena bank menawarkan tingkat deposito yang relatif tinggi untuk menjaga dana nasabahnya.
Kebijakan BI Rate yang berdampak positif terhadap reksa dana pasar uang justru berdampak negatif terhadap harga obligasi. Akibatnya sepanjang 2015, penurunan harga obligasi lebih besar daripada tingkat kupon yang diberikannya. Hal ini bisa dilihat dari tingkat return reksa dana pendapatan tetap yang hanya 3% sepanjang 2015.
Untuk reksa dana campuran dan saham, kinerja yang negatif disebabkan kombinasi antara kinerja IHSG dan harga obligasi yang mengalami penurunan. Dengan asumsi jika harga saham turun -12% dan harga obligasi naik 3%, dengan komposisi 50 : 50 harusnya kinerja reksa dana campuran di kisaran -4.5%. Besaran -7.07% sepanjang 2015 menunjukkan bahwa rata-rata reksa dana campuran memiliki menempatkan dana yang lebih banyak pada instrumen saham dibandingkan obligasi.
Untuk reksa dana saham sepanjang 2015 mencatat kerugian yang lebih besar dibandingkan IHSG. Dalam dunia pengelolaan dana, manajer investasi dianggap underperform karena tidak mampu mencetak return yang mengalahkan IHSG. Jika diperhatikan, memang ketika IHSG sedang dalam tren bearish, rata-rata manajer investasi mencatat kinerja di bawah IHSG dan sebaliknya ketika dalam tren bullish.
Unit Link 2015
Sebelumnya kinerja unit link agak sulit untuk diketahui karena belum adanya indeks yang mencerminkan kinerja instrumen tersebut. Belum lagi ada unit link yang menggunakan harga tunggal seperti reksa dana, namun ada juga unit link yang menggunakan sistem bid offer. Pada tahun 2015, http://www.infovesta.com menerbitkan Indeks Unit Link sehingga bisa dibandingkan dengan kinerja reksa dana.
Hasilnya memang sepanjang 2015, kinerja unit link tidak begitu berbeda jauh dengan reksa dana sejenis dimana rata-rata Unit Link Pendapatan Tetap membukukan 1.91%, Unit Link Campuran turun -6.06% dan Unit Link Saham turun -13.61%. Agak berbeda dengan reksa dana yang jika turun tidak ada kewajiban terhadap investornya, turunnya unit link dapat menyebabkan pemegang unit link diminta melakukan top up agar pertanggungan asuransinya terus berjalan.
Dollar, Minyak dan Emas 2015
Kenaikan US Dollar yang dihitung dengan menggunakan Kurs Tengah BI mencapai 10.92% pada tahun 2015. Berdasarkan statistik historis, kinerja US Dollar cenderung positif pada saat bursa saham mengalami penurunan sehingga bisa dijadikan instrumen hedging yang baik. Hanya saja dalam jangka panjang, Return yang dihasilkan US Dollar sangat kecil, sehingga kalaupun dijadikan portofolio, sebaiknya porsinya tidak terlalu besar.
Harga minyak mengalami penurunan sebesar -32.67% sepanjang tahun 2015. Penurunan harga minyak ikut menyeret harga komoditas lain seperti batu bara dan kelapa sawit. Dan yang paling heran tentunya adalah harga BBM kita tidak turun sebesar persentase tersebut.
Harga emas yang dihitung dengan menggunakan USD/Troy Ounce menunjukkan penurunan -10.23%. Anggapan bahwa emas menjadi safe haven terpatahkan di tahun 2015 ini, buktinya ketika harga saham turun, harga emas yang diasumsikan menjadi pengaman juga ikut turun. Bahkan ketika ada peperangan dengan ISIS dan ancaman teroris secara nyata sekalipun harga emas juga tidak naik.
Bagaimana dengan harga emas yang dihitung dengan menggunakan Rupiah / Gram ? Untuk menunjukkan tren ini, telah tersedia data harga emas yang cukup komprehensif di website Kontan. Dengan menggunakan harga emas per gram untuk emas 1 kg dan harga buy back emas Antam selama 2015, diperoleh informasi sebagai berikut :
Harga emas per gram pada akhir tahun 2014 adalah Rp 489.000 dan pada akhir tahun 2015 adalah Rp 505.000. Dengan demikian, terdapat kenaikan 3.27%. Sementara untuk harga buy back emas ANTAM pada akhir tahun 2014 dan 2015 adalah masing-masing Rp 477.000 dan Rp 470.000, artinya ada penurunan -1.47%. Namun berapa sebetulnya return emas?
Sebenarnya kalau mau menggunakan cara yang sesuai pasaran adalah belinya menggunakan harga emas yaitu Rp 489.000 dan jualnya menggunakan harga buyback yaitu Rp 470.000, sehingga return investor emas pada tahun tersebut adalah -3.8%. Tetap rugi meskipun tidak sedalam kerugian emas dalam USD yang mencapai -10%.
Properti Residensial 2015
(Klik Untuk Perbesar)
Sumber : Survei IHPR Bank Indonesia
Harga pasar properti merupakan harga yang sangat sulit untuk diketahui karena datanya tidak tersedia dan harga transaksinya bisa sangat bervariasi tergantung pada ketersediaan dana, selera pembeli, fasilitas pembiayaan yang digunakan dan lokasinya. Untuk itu, dalam mengukur kinerja properti saya menggunakan Indeks Harga Properti Residensial yang merupakan hasil survei dari Bank Indonesia.
Metode yang dilakukan oleh Bank Indonesia, sebagaimana saya kutip adalah sebagai berikut :
Berdasarkan data perkiraan BI di atas (grafik warna abu-abu TW IV 2015), kenaikan harga properti di tingkat developer pada tahun 2015 adalah sebagai berikut :
- Harga Properti secara keseluruhan 4.27%
- Harga Properti Tipe Kecil (s/d 36 Meter Persegi) 6.29%
- Harga Properti Tipe Menengah (36 – 70 Meter Persegi) 3.56%
- Harga Properti Tipe Besar (> 70 Meter Persegi) 2.98%
Berdasarkan pembahasan di atas, Rekapitulasi instrumen yang menghasilkan keuntungan dan kerugian pada tahun 2015 adalah sebagai berikut:
Rekapitulasi Kinerja Investasi 2015
Bagaimana dengan 2016?
Setelah membahas kinerja tentang 2015, tentu pertanyaannya adalah bagaimana dengan 2016? Apakah kinerja yang kurang baik pada tahun 2015 masih akan terus bertahan hingga 2016 atau malahan lebih buruk lagi? Ataukah 2016 merupakan titik balik sehingga kinerja investasi bisa positif kembali?
Analisa saya untuk prospek investasi di 2016 adalah sebagai berikut :
Minyak Bumi
Harga minyak tergantung pada permintaan dan penawaran. Saat ini tingkat permintaan yang bisa berdampak secara substansial sehingga mengangkat harga minyak adalah permintaan dari China. Sayangnya saat ini perekonomian global dan China sedang dalam tren perlambatan. Meskipun ada upaya untuk menggenjot pertumbuhan, rasanya perekonomian dunia belum akan pulih dengan cepat di tahun 2016 ini sehingga tingkat permintaan belum akan terlalu tinggi.
Dari sisi penawaran, berarti kita mengacu pada produksi minyak. Agar harga naik, berarti produksi harus diturunkan supaya permintaan lebih besar dari penawaran. Kenyataannya persaingan antara Arab Saudi (OPEC) dan Amerika Serikat sebagai negara penghasil minyak serpih (Shale Gas) masih sedang berlangsung. Untuk itu, produksi minyak kelihatannya akan terus dipertahankan.
Karena permintaan sulit naik dan penawaran sulit turun, sepertinya harga minyak masih akan sulit untuk naik pada tahun 2016. Efek negatifnya adalah harga komoditas sulit naik, namun di satu sisi, bagi negara yang fokus pada konsumsi domestik, itu berarti untuk produksi barang dan jasa serta membangun infrastruktur murah. Tinggal apakah bisa dimaksimalkan peluang tersebut atau tidak.
Reksa Dana Pasar Uang
Meski suku bunga berpeluang diturunkan tahun depan, umumnya tingkat bunga deposito yang ditawarkan masih sangat kompetitif. Dengan dana kelolaan mencapai puluhan hingga ratusan miliar, seharusnya reksa dana pasar uang tetap berpeluang mempertahankan pencapaian 5- 6% pada tahun mendatang.
Obligasi, Reksa dana dan unit link berbasis obligasi (Pendapatan Tetap dan Campuran)
Agak berbeda dengan instrumen saham yang memperhitungkan banyak aspek mulai dari fundamental hingga sentimen, kinerja obligasi relatif lebih mudah diprediksikan karena lebih mengandalkan pada ekspektasi inflasi dan suku bunga. Tahun 2015 seharusnya merupakan tahun dimana suku BI diturunkan. Namun kenyataannya suku bunga hanya diturunkan 25 Bps pada Februari 2015 dan tetap bertahan hingga kini.
Penundaan tersebut ditambah dengan ketidakpastian kebijakan suku bunga The Fed membuat harga obligasi mengalami penurunan. Untuk tahun 2016, kinerja obligasi akan kembali ditentukan oleh kebijakan Bank Indonesia tentang BI Rate. Skenario positifnya tentu saja adalah BI Rate turun, Yield Obligasi turun dan pada akhirnya menyebabkan kenaikan harga obligasi. Saat ini Yield 10 tahun Indonesia berada di kisaran 8.9%, jika BI Rate turun berpeluang membuat yield Indonesia di bawah 8%. Jika skenario ini terjadi, kinerja reksa dana pendapatan tetap tahun 2016 bisa berpeluang di antara 12% – 14%.
Namun jika ternyata kurs Indonesia kembali melemah dan BI kembali menunda penurunan suku bunga dan Yield Obligasi tetap, maka kemungkinan return kinerja reksa dana pendapatan tetap berkisar di 7% – 9%. Sebaliknya jika suku bunga BI Rate ternyata naik, maka kinerja reksa dana pendapatan tetap bisa mengulang kembali kinerja tahun ini yang hanya tumbuh sekitar 3% atau bahkan negatif.
Untuk unit link berbasis obligasi, seharusnya tidak akan terlalu berbeda jauh dengan reksa dana pendapatan tetap. Demikian pula untuk reksa dana campuran dengan unit link campuran.
Saham dan Reksa Dana Berbasis Saham
Secara bisnis, titik dasar dari perlambatan pertumbuhan ekonomi diperkirakan sudah terjadi pada kuartal III – kuartal IV 2015. Untuk tahun 2016, seharusnya kalaupun naik, peluang untuk kembali turun sudah cukup terbatas. Hal ini ikut ditopang dengan belanja pemerintah yang sudah gencar sejak awal tahun.
Mengenai outlook saham 2016, menurut saya sangat tergantung kepada realisasi pertumbuhan ekonomi tahun depan. Secara historis, setiap kali pertumbuhan ekonomi mengalami percepatan dibandingkan tahun sebelumnya, IHSG mengalami masa bullish. Sebaliknya ketika terjadi perlambatan, kinerja IHSG akan kurang baik bahkan negatif.
Pertumbuhan Ekonomi dan IHSG
Untuk kasus tahun 2015, sebenarnya sejak awal tahun banyak yang memprediksikan bahwa akan terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi termasuk saya sendiri sehingga beranggapan tahun 2015 akan terjadi periode Bullish pada pasar saham. Namun kenyataannya, target pertumbuhan yang ditetapkan pemerintah tidak berhasil dan bahkan jauh lebih rendah dari target.
Untuk tahun 2016, peluang bahwa target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah gagal tercapai masih ada. Apalagi jika kegaduhan politik makin menjadi-jadi ditambah dengan keluarnya peraturan-peraturan yang tidak pro bisnis. Berita baiknya adalah pemerintah menyadari hal tersebut dan sejak akhir tahun lalu sudah bermunculan paket ekonomi yang bertujuan untuk melakukan deregulasi yang lebih pro bisnis.
Jika skenario percepatan pertumbuhan ekonomi terjadi, bukan tidak mungkin kinerja saham bisa di atas 20% per tahun, sebab rata-rata pertumbuhan IHSG ketika terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi mencapai di atas 50%. Sebaliknya jika target pemerintah kembali gagal, kinerja saham berpeluang negatif kembali.
Saya pribadi beranggapan bahwa tahun 2016 merupakan momentum titik balik, sehingga pertumbuhan ekonomi meskipun tidak mencapai target yang ditetapkan pemerintah, tetap bisa lebih tinggi dibandingkan 2015 sehingga akan terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi.
Emas dan Properti
Untuk emas, terus terang saya tidak begitu memahami karena kesulitan dalam melakukan analisa fundamentalnya. Dengan demikian, saya tidak memiliki analisa untuk instrumen ini.
Untuk properti, saya juga tidak ahli. Namun melihat tren yang saat ini berkembang di masyarakat, harga properti ukuran besar tampaknya akan berada di daerah karena harga tanah yang masih relatif murah. Untuk kota besar, kemungkinan yang lebih prospektif adalah ukuran kecil dan menengah, hal ini juga terlihat dari tren pembangunan properti yang semakin lama semakin kecil ukuran unitnya.
Hal lain yang menjadi perhatian antara lain:
Tax Amnesty
Menurut saya, paket yang cukup signifikan memberikan angin segar adalah Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty. Kinerja saham, obligasi dan bahkan properti yang turun tidak semata-mata karena penurunan fundamental. Tapi juga karena investor yang cenderung menunda investasi karena khawatir akan dikenakan pajak. Jika kebijakan ini benar-benar diberlakukan, tidak hanya secara sentimen berdampak positif, akan terdapat pula peningkatan permintaan produk investasi yang bisa berdampak pada kenaikan harganya.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Ulasan mengenai MEA telah dibahas cukup lengkap dalam Liputan Khusus tentang MEA oleh Kontan. Menurut saya, MEA tidak terlalu berdampak terhadap kinerja saham dan obligasi di Indonesia. Dampak utama MEA terhadap produk pasar modal adalah pada ketersediaan tenaga ahli. Saya membayangkan dengan berlakunya MEA, perusahaan sekuritas dan manajer investasi di Indonesia memiliki opsi yang lebih luas dalam perekrutan tenaga kerja. Memang, tenaga kerja tersebut mungkin baru terbatas pada tenaga ahli dan level manajerial ke atas, namun untuk beberapa perusahaan yang bertaraf besar gaji awalnya sudah cukup bersaing di level ASEAN.
Untuk produk, karena industri keuangan merupakan industri yang highly regulated, tampaknya penawaran produk antar negara belum dapat diwujudkan dalam 1-2 tahun ke depan. Perusahaan tetap diwajibkan untuk membuka kantor cabang di negara tujuan sehingga ada ataupun tanpa MEA, jumlah perusahaan Manajer Investasi masih akan terus bertambah.
Demikian, semoga artikel ini bermanfaat.
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Semua data dan hasil pengolahan data diambil dari sumber yang dianggap terpercaya dan diolah dengan usaha terbaik. Meski demikian, penulis tidak menjamin kebenaran sumber data. Data dan hasil pengolahan data dapat berubah sewaktu-waktu tanpa adanya pemberitahuan. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.
Facebook : https://www.facebook.com/rudiyanto.blog
Twitter : https://twitter.com/Rudiyanto_zh
Sumber Gambar : http://www.panin-am.co.id dan Microsoft Power Point
Dear pak rudy,, saya menemukan kejanggalan pada kalimat berikut
Agar harga turun, berarti produksi harus diturunkan supaya permintaan lebih besar dari penawaran.
Mungkin maksudnya “Agar harga naik”
Kemudian bagaimana dengan kegaduhan politik pak?
Menurut saya jika politik masih gaduh seperti saat ini, maka investor juga akan berfikir ulang untuk investasi. Faktor utamanya adalah pak presiden belum memiliki pendukung politik yang solid
Terimakasih
LikeLike
@anisa
Selamat Malam Ibu Anisa,
Anda benar, terima kasih atas koreksinya. Sudah saya perbaiki kesalahan tersebut.
Mengenai kegaduhan politik, menurut saya yang namanya politik sejak zaman reformasi selalu gaduh sampai sekarang. Bedanya jika dulu kegaduhan hanya di internal, sekarang karena keterbukaan pers, sosial media dan adanya kepentingan dari pihak politik juga sehingga kegaduhan tersebut dipertontonkan ke publik seperti sekarang ini. Sebab jika anda melihat media seperti Majalah Tempo dan Metro TV ketika mengupas intrik politik dengan begitu detailnya, darimana mereka bisa sedetail itu jika tidak mendapat insider information dari politikus itu sendiri?
Pemandangan ini menurut saya hanya terjadi di Indonesia, bayangkan jika hal yang sama terjadi di negara ASEAN lainnya, pasti yang bersangkutan sudah diciduk atau izin usahanya dicabut, bahkan bukan tidak mungkin pihak yang dianggap berbuat onar di eksekusi oleh pemerintah. Langkah pemerintah yang memulai penertiban komentar di media sosial menurut saya tepat karena beberapa memang sudah agak kebablasan.
Point saya, kegaduhan politik harus dianggap sebagai new normal. Mengapa bisa gaduh? Menurut saya sederhana saja, pembagian kue kekuasaan dianggap tidak adil serta kesempatan korupsi semakin berkurang.
Kalau tidak gaduh, malah saya khawatir. Jangan2 sudah pada kenyang dengan korupsi dan dapat kesempatan mengerogoti uang negara sehingga pada adem ayem saja.
Yang bisa meyakinkan investor adalah pemimpin yang bersih. Sosok seperti Pak Ahok dan Jokowi, menurut saya pribadi adalah sosok yang bersih dan bisa dipercaya. Urusan didukung atau tidak, lihat saja Jakarta, meski diserang dari segala penjuru dan tidak ada dukungan politik, pak Ahok tetap jalan dan hasil kerjanya kelihatan. Itupun tidak instan, karena butuh beberapa tahun juga.
Untuk level Indonesia, menurut saya yang dilakukan pak Jokowi juga sama, tapi karena skalanya lebih besar, mungkin butuh waktu lama baru akan kelihatan hasilnya. Tax Amnesty menurut saya adalah kebijakan yang sangat pro bisnis, tinggal kita lihat saja apakah benar-benar bisa terealisasi atau tidak. Sebab jika bisa, hal itu berarti undang-undang yang pro bisnis tidak harus mendapat dukungan politik solid untuk bisa diwujudkan.
Buat investor, menurut saya uang akan selalu mengalir ke tempat yang menguntungkan. Jika profitabilitas perusahaan kembali naik di 2016 ini, maka investasi pasti akan berjalan kembali. Sebab yang namanya permasalahan politik bukan hanya masalah Indonesia juga tapi juga negara lainnya dari negara berkembang sampai dengan negara maju.
Semoga bermanfaat
LikeLike
terimakasih atas ulasannya yang begitu jelas pak rudy
semoga 2016 lebih cerah dan berkah
amiin
LikeLike
Selamat siang pak Rudy,
Menurut analisa & rekomendasi pak Rudy untuk tahun 2016 ini RDS (Reksa Dana Saham) apa yang akan memberikan keuntungan (return) maximal.Mohon informasinya.Terima kasih sebelumnya saya ucapkan.
LikeLike
@Halomoan
Selamat Siang Pak Halomoan,
Kalau rekomendasi yang pasti 100% tepat, anda bisa melihatnya di http://www.infovesta.com tanggal 30 Desember 2016 nanti. Pokoknya yang paling maksimal adalah yang nanti return 1 tahunnya paling tinggi.
Terima kasih
LikeLike
Dear pak Rudi
Terima kasih pak atas tanggapan, maksudnya saya kalau menurut analisa (ramalan ilmiah) bapak untuk tahun 2016 RDS apa yang akan memberikan return maximal.Terima kasih.
LikeLike
@Halomoan
Salam Pak Halomoan,
Kalau berdasarkan ramalan ilmiah anda baca ini http://rudiyanto.blog.kontan.co.id/2016/02/10/yesterday-champion-tomorrow-winner/
Semoga bermanfaat
LikeLike