
New Normal adalah kebijakan membuka kembali aktivitas ekonomi, sosial dan kegiatan publik secara terbatas dengan menggunakan standar kesehatan yg sebelumnya tidak ada sebelum pandemi. Penyesuaian ini tentunya akan berdampak terhadap perekonomian. Bagaimana dampaknya terhadap strategi pengelolaan reksa dana oleh Manajer Investasi?
Secara sederhana, ketika masyarakat berinvestasi pada reksa dana, manajer investasi selaku pengelola akan menempatkan pada 3 instrumen yaitu Deposito, Obligasi dan Saham.
Dalam melakukan penempatan, Manajer Investasi perlu memperhatikan kesesuaian dengan peraturan OJK sehingga tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan. Misalnya penempatan di 1 perusahaan tidak lebih besar dari 10% jumlah dana kelolaan, di instrumen luar negeri tidak lebih dari 15% jumlah dana kelolaan, investasi pada pihak terafiliasi maksimal 20%, dan batasan lainnya yang bisa dilihat pada prospektus reksa dana.
Kemudian dalam pemilihan nama-nama perusahaan, Manajer Investasi perlu memastikan bahwa prospek ke depannya akan baik. Dalam bahasa yang sederhana, kalau menempatkan pada deposito dan obligasi, bank dan perusahaan penerbit diharapkan bisa membayar bunga dan pokok tepat waktu. Untuk penempatan pada saham, diharapkan ada kenaikan harga.
Untuk obligasi dan saham, Manajer Investasi juga perlu mengantisipasi adanya risiko fluktuasi harga. Meskipun tidak ada masalah dengan perusahaannya, terkadang karena situasi eksternal, perubahan suku bunga dan inflasi, dan sekarang ditambah wabah COVID-19, bisa menyebabkan gejolak harga.
Bentuk antisipasi dapat dilakukan dengan kombinasi saham – deposito atau saham – obligasi – deposito dengan batasan bobot sesuai ketentuan dan diversifikasi pada beberapa sektor / saham. Harapannya ketika pasar secara umum turun, masih ada instrumen / sektor saham tertentu yang naik sehingga risiko fluktuasinya bisa diminimalkan.
Apakah New Normal ini berdampak pada pertimbangan Manajer Investasi dalam mengelola reksa dana? Itu sudah pasti. Namun efeknya berbeda-beda untuk setiap jenis instrumen.
Deposito
Dalam mengelola reksa dana pasar uang yang melakukan penempatan di deposito, besarnya tingkat bunga yang ditawarkan memang menjadi pertimbangan tapi bukan yang utama. Faktor likuiditas atau kemudahan mencairkan juga menjadi pertimbangan penting.
Deposito yang memberikan bunga tinggi, umumnya mensyaratkan masa penempatan yang lebih lama. Sementara yang bisa dicairkan kapan saja, atau disebut on call, biasanya menawarkan bunga yang lebih kecil.
Dalam situasi perekonomian sedang kurang baik, Manajer Investasi juga siap-siap seandainya ada investor melakukan redemption atau switching dari reksa dana pasar uang ke jenis yang lebih agresif seperti reksa dana saham dalam jumlah besar.
Idealnya kombinasi antara deposito berbunga tinggi, deposito yang mudah dicairkan serta obligasi jangka pendek (<1 tahun). Bobot idealnya tergantung seberapa aktif investor reksa dana tersebut melakukan transaksi.
Pada reksa dana yang investornya aktif, bobot deposito yang mudah dicairkan relatif lebih besar. Sementara pada reksa dana yang investornya cenderung pasif dan long term, bobot deposito atau obligasi jangka pendek dengan bunga / kupon tinggi bisa lebih besar.
Era new normal, membuat Manajer Investasi perlu lebih selektif dalam memilih bank. Apakah bank tersebut memiliki potensi atau kredit macet yang tinggi? Bagaimana dengan komitmen dari pemegang sahamnya?
Hingga saat ini memang belum ada bank umum yang bermasalah terkait COVID-19. Dan diharapkan akan terus demikian.
Peraturan pemerintah terkait kewenangan bagi BI, OJK dan LPS dalam stabilitas sektor keuangan serta aturan pemberian pinjaman kepada perbankan melalui Bank Jangkar (Anchor Bank), dan relaksasi ketentuan pembukuan perbankan, cukup mumpuni dalam melindungi risiko kolapsnya perbankan.
Kredit macet di perbankan memang meningkat, namun tidak sampai pada level yang membahayakan. Adanya opsi pinjaman likuiditas diharapkan diharapkan juga membantu kondisi keuangan perbankan.
Kecuali PSBB diperpanjang, semakin ketat dan mengakibatkan kredit macet meningkat dan lumpuhnya aktivitas ekonomi, seharusnya strategi penempatan pada deposito tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Obligasi
Dalam mengelola reksa dana pendapatan tetap dan reksa dana campuran, manajer investasi akan melakukan penempatan pada instrumen surat hutang yang disebut obligasi.
Pada dasarnya obligasi mirip dengan deposito. Hanya saja jatuh temponya lebih panjang, mulai dari 2 tahun hingga 30 tahun. Penerbitnya ada perusahaan swasta dan juga pemerintah.
Umumnya perusahaan swasta jatuh temponya lebih singkat yaitu 2, 3, 5 dan 7 tahun. Untuk obligasi pemerintah bisa lebih panjang hingga 30 tahun.
Dalam menempatkan obligasi, ketika memilih perusahaan swasta risiko yang diwaspadai oleh Manajer Investasi adalah risiko gagal bayar dan risiko likuiditas.
Risiko gagal bayar mengacu pada kemampuan dan komitmen perusahaan dalam melunasi kupon dan pokok pada saat jatuh tempo. Sementara risiko likuiditas mengacu pada kemudahan untuk menjual obligasi untuk membayar perintah pencairan.
Untuk obligasi pemerintah, pada dasarnya tidak ada risiko gagal bayar. Risiko likuiditas juga relatif kecil karena relatif mudah untuk menjual obligasi pemerintah di pasar. Yang biasanya lebih diwaspadai adalah risiko fluktuasi harga.
Karena periode jatuh temponya yang lebih panjang, harga obligasi pemerintah terkadang bisa sangat fluktuatif. Terutama pada saat suku bunga berubah. Dalam kondisi ekstrem, turun hingga 2-3% atau lebih dalam 1 hari juga dimungkinkan.
Untuk obligasi swasta, risiko fluktuasi harga malah relatif kecil karena periode jatuh tempo yang lebih pendek dan kupon yang relatif besar sehingga perubahan harganya bisa ditutup dari kupon yang dibayarkan.
Secara teori, ketika suku bunga naik maka harga obligasi akan turun dan sebaliknya jika suku bunga turun maka harga obligasi akan naik.
Dalam era new normal, penempatan pada obligasi swasta lebih menjadi perhatian utama. Manajer Investasi harus benar-benar yakin bahwa penerbit obligasinya memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan kewajibannya.
Jangan sampai ada moral hazard, dimana perusahaan sebenarnya masih mampu, tapi aji mumpung mendeklarasikan gagal bayar dan menyalahkan semuanya pada COVID-19. Padahal bisa saja, karena kegagalan dalam berbisnis dan atau spekulasi yang berlebihan.
Jadi dalam memilih obligasi korporasi, biasanya Manajer Investasi akan lebih selektif. Tidak hanya pada prospek bisnis, tapi juga pada kepada siapa pemegang sahamnya. Sebab pada akhirnya adalah keputusan pemegang saham untuk memilih membayar sesuai komitmen atau tidak.
Keunggulan obligasi korporasi adalah imbal hasil yang relatif tinggi, namun karena kurang likuid, perlu dikombinasikan dengan obligasi pemerintah. Investor juga perlu diedukasi dengan tidak melakukan transaksi jual beli secara aktif pada reksa dana pendapatan tetap.
Untuk strategi penempatan pada obligasi pemerintah, secara umum relatif tidak berubah. Manajer Investasi akan memperhatikan arah tren suku bunga.
Dalam kondisi perekonomian tertekan, arah bunga kelihatannya akan tetap atau turun untuk waktu 2-3 tahun mendatang. Sehingga penempatan pada obligasi pemerintah akan lebih agresif dengan memilih yang jatuh temponya lebih panjang.
Saham
Ada 2 pendekatan dalam mengelola reksa dana saham yaitu pendekatan pasif yang sering digunakan dalam reksa dana indeks dan pendekatan aktif yang terdapat pada reksa dana saham secara umum.
Untuk pendekatan pasif, strategi pengelolaan berfokus bagaimana kinerja reksa dana menyamai daripada indeks acuannya. Sementara untuk pendekatan aktif, strategi pengelolaan berfokus pada bagaimana mengalahkan pasar (umumnya IHSG)
Pada reksa dana pasif, biasanya kinerja reksa dana akan sama atau kurang lebih sama dengan indeks acuan. Sementara pada reksa dana aktif, bisa ada 3 kemungkinan, lebih baik daripada pasar, lebih buruk dari pasar, dan terkadang secara kebetulan sama dengan pasar.
Penempatan pada saham dengan strategi pengelolaan aktif merupakan bagian yang paling menguras pikiran. Sebab dari jumlah saham dalam IHSG sangat banyak (hampir 700), Manajer Investasi biasanya Cuma memilih puluhan (biasanya kurang dari 50 saham) untuk dijadikan dalam portofolio.
Dengan hanya menempatkan hanya memilih kurang dari 10% dari seluruh saham yang ada, tentu saja kinerjanya juga bisa berbeda dari pasar. Kemampuan manajer investasi untuk mengalahkan kinerja pasar secara konsisten inilah yang menjadi pembeda antara reksa dana yang satu dengan reksa dana yang lainnya.
Investor bisa memilih atau melakukan diversifikasi pada reksa dana saham yang strateginya aktif dan pasif.
Di era new normal, pengelolaan reksa dana saham terutama dengan pendekatan aktif akan mengalami perubahan terutama dalam cara Manajer Investasi memilih saham. Sebab dengan berubahnya perilaku, tentu bisnis juga berubah.
Sebagai contoh, kebijakan Work From Home (WFH). Saat ini ada pemikiran dari pelaku bisnis di kawasan perkantoran mengenai kebutuhan ruangan. Sebab untuk sebagian sektor, ternyata pekerjaan juga bisa diselenggarakan secara efektif dari rumah.
Dampaknya kebutuhan akan ruang perkantoran berkurang. Sebaliknya fleksibilitas WFH ini meningkatkan permintaan untuk hunian di kawasan luar kota karena tidak perlu mudik setiap hari.
Penularan COVID-19 dan Orang Tanpa Gejala (OTG) juga akan mempengaruhi prospek bisnis rumah sakit, wisata, hotel, penerbangan, penyelenggaraan event. Dimana orang takut ke rumah sakit, melakukan perjalanan wisata / dinas, dan atau menghadiri event sehingga berdampak ke bisnis tersebut.
Sektor otomotif dan aksesoris / spare part bisa saja mengalami kenaikan permintaan karena khawatir akan penyebaran sehingga orang lebih memilih untuk membawa kendaraan sendiri atau naik taksi / ojek yang tidak ramai seperti kendaraan umum.
Munculnya aplikasi e-commerce di sektor kesehatan yang lebih banyak menawarkan obat generik dan semakin banyak orang yang menjalankan pola hidup sehat juga berpotensi berdampak pada industri farmasi, dimana permintaan akan suplemen kesehatan lebih besar dari obat-obatan.
Tambahan protokol kesehatan tentunya akan meningkatkan biaya operasional bagi sektor manufaktur dan perdagangan. Sebab yang namanya hand sanitizer, pengukur suhu, wastafel, masker, dan Alat Pelindung Diri lainnya tetap membutuhkan biaya.
Belum lagi, karena 1 orang karyawan / pengunjung yang positif bisa menyebabkan operasional terganggu selama beberapa hari karena dilakukan karantina dan pembersihan.
Untuk itu, diperkirakan akan terjadi percepatan proses otomatisasi menggunakan mesin pada proses produksi dan digitalisasi pada proses penjualan. Pemanfaatan sosial media dan teknologi virtual reality sebagai media pemasaran juga akan menjadi tren baru.
Untuk sektor keuangan, penggunaan uang elektronik, dompet elektronik, kartu kredit atau ATM dengan fitur cardless juga akan semakin berkembang. Sebab orang akan mengurangi penggunaan uang kertas. Penjualan produk keuangan melalui e-commerce / fintech juga akan menjadi tren.
Untuk sektor perkebunan dan pertambangan, perubahan akan terjadi terutama dalam hal mencari pangsa pasar baru. Sebab jika hanya tergantung pada 1-2 negara, ketika terjadi penutupan pelabuhan / bandara bisa menjadi risiko tersendiri.
Seberapa lama dan seberapa ketat PSBB akan mempengaruhi perubahan di atas. Bagi sektor yang terdampak negatif juga bukan berarti akan dihindari. Sebab bisnis adalah sesuatu yang hidup.
Selalu ada jalan keluar bagi para pelaku bisnis untuk beradaptasi terhadap perubahan. Hal ini, ditambah dengan prospek bisnis menjadi perhatian Manajer Investasi dalam mengelola reksa dana berbasis saham di era new normal ini.
Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.
Artikel ini juga dimuat di Kompas Online 28 Mei 2020 dengan link https://money.kompas.com/read/2020/05/28/121200526/strategi-pengelolaan-reksa-dana-di-era-new-normal
Penyebutan produk investasi (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, ataupun rekomendasi jual beli atau tahan untuk instrumen tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis. Kinerja Masa Lalu tidak menjadi jaminan akan kembali terulang pada masa yang akan datang. Semua data dan hasil pengolahan data diambil dari sumber yang dianggap terpercaya dan diolah dengan usaha terbaik. Meski demikian, penulis tidak menjamin kebenaran sumber data. Data dan hasil pengolahan data dapat berubah sewaktu-waktu tanpa adanya pemberitahuan. Seluruh tulisan, komentar dan tanggapan atas komentar merupakan opini pribadi.
Facebook : https://www.facebook.com/rudiyanto.blog
Twitter : https://twitter.com/Rudiyanto_zh
Belajar Reksa Dana : www.ReksaDanaUntukPemula.com
Halo pak Rudy,
Semoga sehat selalu
Membaca artikel ini, saya teringat ada beberapa Reksadana Pendapatan Tetap berisi Obligasi Korporasi yang menarik perhatian
Misalnya sejenis RDPT Danamas Stabil, RDPT Syailendra Pendapatan Tetap Premium, RDPT Sucorinvest Stable Fund, menurut pak Rudy mengapa nilai NAVnya bisa sangat stabil menyerupai Reksadana Pasar Uang ya pak?
Padahal kalau melihat RDPT lain yang mayoritas isinya sama2 obligasi Korporasi seperti : Manulife Obligasi Unggulan Kelas A dan BNI AM Pendapatan Tetap Makara Investasi, NAVnya sangat fluktuatif.
Menurut pak Rudy, apa yang menyebabkan hal ini terjadi?
Apakah karena harga pasarnya tidak tersedia secara harian sehingga penyesuaian harga pasar hanya dilakukan pada periode tertentu?
Ataukah ada perbedaan pada sistem akuntansinya?
Terima kasih sebelumnya, semoga sehat selalu pak 😊
LikeLike
Selamat siang pak Kevin,
Panin AM juga memiliki reksa dana yang bobot obligasi korporasinya besar. Panin Dana Pendapatan Berkala dgn bobot korporasi sekitar 50-70% dan ada bagi hasil setiap bulan, serta Panin Dana Pendapatan Utama yang bobot obligasi korporasi di atas 80%.
Meskipun lebih stabil, tetap ada volatilitas.
Pada dasarnya dalam menghitung nab sehingga bisa diketahui persentase naik turunnya, dilakukan oleh Bank Kustodian menggunakan harga yang ditetapkan oleh Manajer Investasi.
Dalam menetapkan harga, Manajer Investasi berpedoman pada batasan harga IBPA. Untuk setiap seri obligasi, sepanjang investment grade, maka IBPA akan memberikan referensi harga setiap hari.
Misalkan Low 98, Medium 99, dan Hi 100
Manajer Investasi dapat menentukan harga obligasi pada hari itu sepanjang dalam range 98-100.
Tidak ada aturan baku, boleh hari ini pakai low, besok pakai hi, lusa pakai tengah, atau di antara angka tersebut. Bisa juga angka yg sama setiap hari sepanjang dalam range. Tapi kalau di luar range, maka melanggar aturan dan berpotensi mendapat sanksi dari regulator.
Dengan menetapkan harga misalkan di 99, maka harga tersebut akan dipakai untuk menghitung nab, dan dasar perhitungan utk transaksi pembelian, penjualan dan pengalihan.
Artinya ketika nasabah melakukan redemption, manajer investasi gang menetapkan harga 99, itu berarti dia yakin bisa menjual obligasi pada harga tersebut.
Jangan sampai dia tetapkan harga 99, tapi kenyataannya ditransaksi di harga 98 atau lebih rendah, hal ini akan membuat nab tidak2 anjlok.
Harga range ibpa bukanlah harga mati. Ada kondisi tertentu dimana transaksi sedang sepi, fundamental emiten diragukan, atau terjadi net sell asing yang besar, harga transaksi bisa lebih kecil dari low ibpa.
Harga range ibpa menjadi kewajiban, apabila obligasi ditransaksikan antar reksa dana dari MI yang sama atau dgn pihak afiliasinya. Misalkan dari reksa dana pendapatan tetap A jual ke reksa dana pendapatan tetap B yang MI sama.
Kalau jual ke market, harga IBPA memang menjadi referensi tapi tidak suatu keharusan. Sebagai contoh high IBPA 100, tapi bisa dijual 105. Bukankah menguntungkan reksa dana ?
Penetapan NAB reksa dana itulah yang akhirnya menyebabkan seberapa fluktuasinya harga reksa dana.
Teorinya seperti itu, mengenai mengapa ada reksa dana yang tidak volatil alias garis lurus, bisa ditanyakan langsung dgn pengelolanya.
Semoga bermanfaat
LikeLike